Belum lama ini saya bergabung dengan sebuah perusahaan eksportir fashion
ternama di kotaku. Dan anak gadis pemilik perusahaan itu, Dewi
namanya, baru lulus sekolah dari Singapore, umurnya sekitar 23 tahun,
cantik dan waktu masih SMA sempat berprofesi sebagai model lokal. Nah,
Dewi itu ditugaskan sebagai asisten GM (yaitu saya), jadi tugasnya
membantu saya sambil belajar.
Singkat cerita, Dewi semakin dekat dengan saya dan sering bercerita.
“Nico, cowok tuh maunya yang gimana sih. Ehm.., kalo di ranjang maksud gue..”
“Nic, kamu kalo lagi horny, sukanya ngapain?”
“Kamu suka terangsang enggak Nic, kalo liat cewek seksi?”
Yah seperti itulah pertanyaan Dewi kepadaku.
Terus terang percakapan-percakapan kita selang waktu kerja semakin intim dan seringkali sensual.
“Kamu pernah gituan nggak, Wi..?, tanyaku.
“Ehm.. kok mau tau?”, tanyanya lagi.
“Iya”, kataku.
“Yah, sering sih, namanya juga kebutuhan biologis”, jawabnya sambil tersipu malu.
Kaget juga saya mendengar jawabannya seperti itu. Nih anak, kok berani terus terang begitu.
Pernah ketika waktu makan siang, ia kelepasan ngomong.
“Cewek Bali itu lebih gampang diajakin tidur daripada makan siang”, katanya sambil matanya menatap nakal.
“Kamu seneng seks?”, tanya saya.
“Seneng, tapi saya enggak pandai melayani laki-laki”, katanya.
“Kenapa begitu?”, tanya saya lagi.
“Iya, sampe sekarang pacarku enggak pernah ngajak kimpoi. Padahal aku sudah kepengen banget.”
“Kepengen apa?”, tanyanku.
“kimpoi”, katanya sambil tertawa.
Suatu
ketika ia ke kantor dengan pakaian yang dadanya rendah sekali. Saya
mencoba menggodanya, “Wah Dewi kamu kok seksi sekali. Saya bisa lihat
tuh bra kamu”. Ia tersipu dan menjawab, “Suka enggak?”. Saya tersenyum
saja. Tapi sore harinya ketika ia masuk ruangan saya, bajunya sudah
dikancingkan dengan menggunakan bros. Rupanya dia malu juga. Saya
tersenyum, “Saya suka yang tadi.”
Suatu ketika, setelah makan siang Dewi mengeluh.
“Kayaknya cowokku itu selingkuh.”
“Kenapa?”, tanyaku.
“Habis udah hampir sebulan enggak ketemu”, katanya.
“Terus enggak.. itu?”, tanyaku.
“Apa?”
“Itu.. seks”, kataku.
“Yah enggak lah”, katanya.
“Kamu pernah onani enggak?”, tanyaku.
Dia kaget ketika saya tanya begitu, namun menjawab.
“Ehm… kamu juga suka onani?”
“Suka”, jawabku.
“Kamu?”, tanyaku.
“Sekali-sekali, kalo lagi horny”, jawabnya jujur namun sedikit malu.
Pembicaraan
itu menyebabkan saya terangsang, Dewi juga terangsang kelihatannya.
Soalnya pembicaraan selanjutnya semakin transparan.
“Dewi, kamu mau gituan enggak.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
Dia
tidak menjawab, namun menelan ludah. Saya berpendapat ini artinya dia
juga mau. Well, setelah berbulan-bulan flirting, sepertinya kita
bakalan just do it nih.
Kubelokkan mobil ke arah motel yang memang dekat dengan kantorku.
“Nic, kamu beneran nih”, tanyanya.
“Kamu mau enggak?”
“Saya belum pernah main sama cowok lain selain pacarku.”
“Terakhir main kapan?”
“Udah sebulan.”
“Trus enggak horny?”
“Ya
onani.. lah”, jawabnya, semakin transparan. Mukanya agak memerah,
mungkin malu atau terangsang. Aku terus terang sudah terangsang. This is
the point of no return. Aku sadari sih, ini bakalan complicated. But…
nafsuin sih.
“Terus, kapan kamu terakhir dapet orgasme”
“Belum lama ini.”
“Gimana?”
“Ya sendirilah.. udah ah, jangan nanya yang gitu.”
“Berapakali seminggu kamu onani?”, tanyaku mendesaknya.
“Udah ah… yah kalo horny, sesekali lah, enggak sering-sering amat. Lagian kan biasanya ada Andree (cowoknya-red).”
“Kamu enggak ngajak Andree.”
“Udah.”
“Dan..?”
“Dia bilangnya lagi sibuk, enggak sempet. Main sama cewek lain kali. Biasanya dia enggak pernah nolak.”
Siapa
sih yang akan menolak, bersenggama sama anak ini. Gila yah, si Dewi
ini baru saja lulus kuliah, tapi soal seks sepertinya sudah terbiasa.
“Nic, enggak kebayang main sama orang lain.”
“Coba aja main sama saya, nanti kamu tau, kamu suka selingkuh atau enggak.”
“Caranya?”
“Kalo
kamu enjoy dan bisa ngilangin perasaan bersalah, kamu udah OK buat
main sama orang lain. Tapi kalo kamu enggak bisa ngilangin perasaan
bersalah, maka udah jangan bikin lagi”, kataku.
“Kamu nanti enggak bakal pikir saya cewek nakal.”
“Enggaklah, seks itu normal kok. Makanya kita coba sekali ini. Rahasia kamu aman sama saya”, kataku setengah membujuk.
“Tapi saya enggak pintar lho, mainnya”, katanya. Berarti sudah OK buat ngeseks nih anak.
Mobilku
sudah sampai di kamar motel. Aku keluar dan segera kututup pintu
rolling door-nya. Kuajak dia masuk ke kamar. Tanpa ditanya, Dewi
ternyata sudah terangsang dengan pembicaraan kita di mobil tadi. Dia
menggandengku dan segera mengajakku rebahan di atas ranjang.
“Kamu sering main dengan cewek lain, selain pacar kamu, Nic?”
“Yah sering, kalo ketemu yang cocok.”
“Ajarin saya yah!”
Tanganku
mulai menyentuh dadanya yang membusung. Aku lupa ukurannya, tapi cukup
besar. Tanganku terus menyentuhnya. Ia mengerang kecil, “Shh.. geli
Nic.” Kucium bibirnya dan ia pun membalasnya. Tangannya mulai berani
memegang batang kemaluanku yang menegang di balik celanaku.
“Besar
juga…”, katanya. Matanya setengah terpejam.
“Ayo, Nic aku horny nih.”
Kusingkap perlahan kaos dalamnya, sampai kusentuh buah dadanya, branya
kulepas, kusentuh-sentuh putingnya di balik kaosnya. Uh.. sudah
mengeras. Kusingkap ke atas kaosnya dan kuciumi puting susunya yang
menegang keras sekali, kuhisap dan kugigit pelan-pelan, “Ahh.. ahh..
ahh, terus Nic.. aduh geli… ahh.. ah.”
Dewi, yang masih muda
ternyata vokal di atas ranjang. Terus kurangsang puting susunya, dan ia
hampir setengah berteriak, “Uh.. Nic… uh.” Aku sengaja, tidak mau main
langsung. Kuciumi terus sampai ke perutnya yang rata, dan pusarnya
kuciumi. Hampir lupa, tubuhnya wangi parfum, mungkin Kenzo atau Issey
Miyake. Pada saat itu, celanaku sudah terbuka, Aku sudah telanjang, dan
batang kemaluanku kupegang dan kukocok-kocok sendiri secara
perlahan-lahan. Ah.. nikmat. Bibirnya mencari dan menciumi puting
susuku.
“Enak.. enak Dewi”. Rangsangannya semakin meningkat.
“Aduuhh..
udah deh.. enggak tahan nih”, ia menggelinjang dan membuka rok
panjangnya sehingga tinggal celana dalamnya, merah berenda. Bibir dan
lidahku semakin turun menjelajahi tubuhnya, sampai ke bagian liang
kenikmatannya (bulu kemaluannya tidak terlalu lebat dan bersih).
Kusentuh perlahan, ternyata basah. Kuciumi liang kenikmatannya yang
basah. Kujilat dan kusentuh dengan lidahku. liang kenikmatan Dewi
semakin basah dan ia mengerang-erang tidak karuan. Tangannya terangkat
ke atas memegang kepalanya. Kupindahkan tangannya, dan yang kanan
kuletakkan di atas buah dadanya. Biar ia menyentuh dirinya sendiri. Ia
pun merespon dengan memelintir puting susunya.
Kuhentikan
kegiatanku menciumi liang kenikmatannya. Aku tidur di sampingnya dan
mengocok batang kemaluanku perlahan. Dia menengokku dan tersenyum,
“Nic.. kamu merangsang saya.”
“Enak..”
“Hmm…”, matanya terpejam,
tangannya masih memelintir putingnya yang merah mengeras dan tangan
yang satunya dia letakkan di atas liang kenikmatannya yang basah. Ia
menyentuh dirinya sendiri sambil melihatku menyentuh diriku sendiri.
Kami saling bermasturbasi sambil tidur berdampingan.
“Heh.. heh.. heh.. aduh enak, enak”, ceracaunya.
“Gile, Nic, gue udah kepengin nih.”
“Biar gini aja”, kataku.
Tiba-tiba
dia berbalik dan menelungkup. Kepalanya di selangkanganku yang tidur
telentang. Batang kemaluanku dihisapnya, uh enak banget. Nih cewek sih
bukan pemula lagi. Hisapannya cukup baik. Tangannya yang satu masih
tetap bermain di liang kenikmatannya. Sekarang tangannya itu
ditindihnya dan kelihatan ia sudah memasukkan jarinya.
“Uh… uh… Nic, aku mau keluar nih, kita main enggak?”
Kuhentikan kegiatannya menghisap batang kemaluanku. Aku pun hampir klimaks dibuatnya.
“Duduk di wajahku!”, kataku.
“Enggak mau ah.”
“Ayo!”
Ia
pun kemudian duduk dan menempatkan liang kenikmatannya tepat di
wajahku. Lidah dan mulutku kembali memberikan kenikmatan baginya.
Responnya mengejutnya, “Aughhh…” setengah berteriak dan kedua tangannya
meremas buah dadanya. Kuhisap dan kujilati terus, semakin basah liang
kenikmatannya.
Tiba-tiba Dewi berteriak, keras sekali, “Aahhh…
ahhh”, matanya terpejam dan pinggulnya bergerak-gerak di wajahku.
“Aku.. keluar”, sambil terus menggoyangkan pinggulnya dan tubuhnya
seperti tersentak-sentak. Mungkin inilah orgasme wanita yang paling
jelas kulihat. Dan tiba-tiba, keluar cairan membanjir dari liang
kenikmatannya. Ini bisa kurasakan dengan jelas, karena mulutku masih
menciumi dan menjilatinya.
“Aduh… Nic.. enak banget. Lemes deh”, ia terkulai menindihku.
“Enak?”, tanyaku.
“Enak banget, kamu pinter yah. Enggak pernah lho aku klimaks kayak tadi.”
Aku
berbalik, membuka lebar kakinya dan memasukkan batang kemaluanku ke
liang kenikmatannya yang basah. Dewi tersenyum, manis dan malu-malu.
Kumasukkan, dan tidak terlalu sulit karena sudah sangat basah. Kugenjot
perlahan-lahan. Matanya terpejam, menikmati sisa orgasmenya.
“Kamu pernah main sama berapa lelaki, Dewi..?, tanyaku.
“Dua, sama kamu.”
“Kalo onani, sejak kapan?”
“Sejak di SMA.”
Pinggulnya sekarang mengikuti iramaku mengeluar-masukkan batang kemaluan di liang kenikmatannya.
“Nic,
Dewi mau lagi nih.” Uh cepat sekali ia terangsang. Dan setelah kurang
lebih 3 menit, dia mempercepat gerakannya dan “Uhh… Nic.. Dewi keluar
lagi…” Kembali dia tersentak-sentak, meski tidak sehebat tadi.
Akupun
tak kuat lagi menahan rangsangan, kucabut batang kemaluanku dan
kusodorkan ke mulutnya. Ia mengulumnya dan mengocoknya dengan cepat. Dan
“Ahhh…” klimaksku memuncratkan air mani di wajah dan sebagian masuk
mulutnya. Tanpa disangka, ia terus melumat batang kemaluanku dan
menjilat air maniku. Crazy juga nih anak.
Setelah aku berbaring dan berkata, “Dewi, kamu bercinta dengan baik sekali.”
“Kamu juga”, mulutnya tersenyum.
Kemudian ia berkata lagi,
“Kamu enggak nganggap Dewi nakal kan Nic.”
Aku tersenyum dan menjawab,
“Kamu enjoy enggak atau merasa bersalah sekarang.”
Dia ragu sebentar, dan kemudian menjawab singkat, “Enak..”
“Nah kalau begitu kamu emang nakal”, kataku menggodanya.
“Ihh… kok gitu..” Aku merangkulnya dan kita tertidur.
Setelah
terbangun, kami mandi dan berpakaian. Kemudian kembali ke kantor.
Sampai sekarang kami kadang-kadang masih mampir ke motel. Aku sih
santai saja, yang penting rahasia kami berdua tetap terjamin.
TAMAT