ANAK PETANI
03. Belajar mencium Ibunya
Kegiatan Arjuna mengintip Ibunya mandi sekarang
menjadi aktivitas harian yang tidak akan dilewatkannya. Arjuna kini sudah hafal
bentuk tubuh Ibunya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dari bagian belakang
maupun bagian depan. Apalagi kedua buah dada Ibunya yang besar dan ranum itu,
yang dihiasi oleh puting indah bagaikan buah yang ditaruh di atas es krim
sebagai penghias. Bentuk payudara Ibunya terekam dengan begitu jelas sehingga
seakan meninggalkan jejak di benaknya yang tak dapat dihilangkan. Arjuna
tinggal memejamkan mata, maka kedua payudara itu akan muncul di benaknya. Lekuk
lingkar buah dada itu, jurang yang terjadi antara dua buah payudara itu, warna
kulitnya yang kuning langsat, dan kilauan kulitnya yang basah ketika terkena sinar
neon.
Kemudian ilham kedua datang saat Arjuna sedang asyik mengintip Ibunya yang
mandi pagi. Arjuna ingin sekali melihat Ibunya dan ayahnya melakukan hubungan
suami isteri. Ilham ini membuat Arjuna ejakulasi lebih cepat dari biasanya.
Namun Arjuna tidak kecewa, malah menjadi asyik memikirkan bagaimana rencana
selanjutnya akan dilakukan.
Setelah matang rencananya, Arjuna menjalankan niatnya hari itu juga. ketika ia
pulang sekolah dan Ibunya sedang keluar mengantarkan makanan kepada ayahnya,
maka Waluyo masuk kamar orang tuanya yang letaknya persis di sebelah kamar
tidurnya sendiri untuk menyelidiki keadaan. Rumah mereka adalah rumah kayu
tanpa langit-langit. Tipikal rumah petani sederhana. Membolongi kayu tidaklah
mungkin, karena pasti akan terlihat, namun karena rumah mereka tidak memiliki
langit-langit, maka ada jalan lain untuk dapat mengintip.
Arjuna dapat melongok dari atas dinding kamarnya secara langsung, hanya saja
tempat itu banyak debunya sehingga sangat kotor, lagian letaknya cukup jauh.
Maka mulailah Arjuna mendekorasi ulang kamarnya. Ia menempatkan lemari
pakaiannya pada dinding kamarnya yang tepat di sebelah kamar orangtuanya. Meja
belajarnya – yang dIbuat ayahnya, yang sebenarnya hanya sebilah papan dipaku
pada empat buah kaki, buatannya kasar namun sangat kokoh – ditaruhnya disamping
lemari pakaiannya. Berhubung lemari itu tidak begitu tinggi, melainkan hanya
setengah dinding, maka pas sekali kalau ia jongkok di atas lemari dan melongok.
Dewi, Ibunya, sempat melihat ke dalam kamar dan menyaksikan Arjuna sedang
membersihkan bagian atas lemari itu. Ibunya malah senang melihat anaknya
mendekorasi ulang kamarnya dan membersihkannya juga. Dewi tidak tahu bahwa
anaknya begitu rajin justru karena memiliki otak yang kotor dan ingin mengintip
kedua orangtuanya ngemprut! Dewi tidak melihat ketika Arjuna juga membersihkan
bagian atas dinding penyekat kedua kamar itu dan juga tiang di tengahnya, agar
nanti tangan Arjuna tidak kotor.
Ketika tengah malam datang, Arjuna yang tidak tidur, mulai beraksi. Dipanjatnya
meja belajarnya, kemudian dengan hati-hati dipanjatnya lemari pakaiannya dengan
perlahan. Ketika ia sudah berjongkok di atas lemari itu, di pegangnya ujung
atas dinding pembatas itu lalu mulai melongokkan kepalanya untuk melihat ke kamar
sebelah.
Arjuna kecewa karena yang dilihatnya hanya Ibunya yang tidur dengan kain, namun
ayahnya tidak terlihat. Arjuna bingung, karena jadwal ronda ayahnya masih jauh.
Maka dengan perlahan ia turun dari lemari itu lalu keluar kamar dan mencari
ayahnya. Ayahnya ternyata tidur di bale-bale di depan rumah. Hari itu Arjuna
gagal. Namun Arjuna tidak patah semangat, mungkin saja hari ini ayahnya begitu
letih sehingga tertidur di depan. Maka, Arjuna berencana untuk melihat
keesokkan harinya.
Namun, ayahnya tidak tidur di kamar tidur bersama Ibunya keesokkan harinya,
atau esoknya lagi, atau besoknya lagi, bahkan selama seminggu ini Arjuna tidak
pernah melihat kedua orang tuanya tidur bersama. Bahkan pada hari sabtu,
ayahnya justru tidak ada di rumah sama sekali. Padahal malamnya mereka makan
bersama, namun pada tengah malam ayahnya tidak dapat ditemukan di mana-mana.
Anehnya, ketika sepanjang minggu depannya lagi, hal yang sama terjadi. Arjuna
menjadi bingung dan menjadi sangat ingin tahu kenapa kedua orang tuanya tidak
tidur sekamar.
Paginya setelah mandi, ketika sarapan pagi, Arjuna bertanya pada Ibunya.
Seperti biasa ayahnya sudah berangkat ke sawah ketika Arjuna mandi.
“Bu, minggu lalu Arjuna bangun malam-malam. Terus Arjuna mau ke kamar mandi,
tapi karena masih ngantuk Arjuna malah keluar ke serambi. Eh Bapak tidur di
bale-bale. Arjuna pikir Bapak kecapekan. Tapi tadi malam waktu Arjuna bangun
lagi, eh Bapak kok masih tidur di sana ya? Ibu sama Bapak lagi marahan ya?”
Dewi tampak terkejut dengan perkataan Arjuna.
“Hush… kamu kok ngurusin orangtua? Bapakmu sama Ibu enggak marahan, kok.”
“Bukan ngurusin Bu, tapi Arjuna takut. Temen Arjuna si Arjuna itu dulu
orangtuanya marahan, eh tahu-tahu cerai. Jangan cerai ya, Bu?!”
Dewi hanya menghela nafas sambil menggeleng,
“Bapak sama Ibumu ini ga bakalan cerai. Kamu tenang saja. Bapak memang dari
dulu tidak tidur di kamar. Soalnya panas. Bapak lebih senang tidur di luar
karena sejuk dan dingin. Kamu ga usah takut, Jun.”
Arjuna mengangguk saja. Namun ia jadi tambah heran. Menurut Harun temannya itu,
ngemprut itu kegiatan paling enak. Jadi, pasti hampir tiap hari suami isteri
itu ngemprut. Kecuali kalau perempuannya haid atau datang bulan. Tapi biasanya
datang bulan itu hanya seminggu. Nah, kedua orangtua Arjuna tidak puasa
ngemprut hanya seminggu, tapi sudah dua minggu. Pasti ada sesuatu yang aneh.
Maka, Arjuna tetap mengintip kamar Ibunya selama sebulan. Jadi dalam sehari, ia
mengintip Ibunya dua kali. Sekali waktu mandi pagi, kedua kali waktu Ibunya
tidur. Dan Arjuna menyadari bahwa kedua orangtuanya tidak pernah tidur bersama!
Setelah mengetahui hal ini, Arjuna yang adalah anak pintar mulai dapat melihat
bahwa sebenarnya hubungan ayah dan Ibunya tidaklah harmonis. Ada sesuatu
masalah dalam keluarganya yang ia sendiri tidak tahu apakah itu. namun
dihadapan Arjuna, kedua orangtuanya tetap berbicara santai seperti biasa. Hanya
saja kini Arjuna dapat menilai bahwa perhubungan mereka bukanlah hubungan yang
intim dan romantis. Lebih seperti seorang kakak dan adik. Mereka saling
menyayangi, namun tidaklah saling mencintai selayaknya pasangan suami isteri.
Dan Harun pernah mengatakan kepada Arjuna, bahwa lelaki dan perempuan itu sama
saja. Dua-duanya butuh melakukan hubungan suami isteri. Karena contohnya, Mbak
Sari yang suaminya, Mbah Bejo yang sudah kakek-kakek itu pernah ketahuan warga
melakukan hubungan terlarang dengan pemuda dari dusun seberang. Saat itu heboh
sekali. Arjuna juga mendengar bahwa Mbak Sari itu selingkuh, hanya saja waktu
itu Arjuna tidak mengerti, dan kedua orangtuanya ketika ditanya malah menyuruh
Arjuna diam. Barulah dari Harun Arjuna mengerti bahwa selingkuh itu berarti
melakukan hubungan suami isteri bukan dengan pasangannya, melainkan dengan
orang lain. Dan Mbak Sari selingkuh, karena ia butuh melakukan hubungan seks
sedangkan Mbah Bejo sudah tidak sanggup lagi melakukan itu.
Kini, Arjuna menjadi curiga. Apakah dengan ini Ibunya juga selingkuh? Untuk
beberapa lama, Arjuna akhirnya berusaha mengikuti Ibunya kemana-mana, tentunya
ketika sudah pulang sekolah. Namun Ibunya tidak pernah keluar rumah kalau tidak
perlu. Ibunya hanya pergi mengantar makanan pada ayahnya. Sesekali mampir di
tetangga untuk bertamu, namun bertamu kepada Ibu-Ibu yang lain. Kalau begitu,
kalau perempuan butuh tapi tak pernah melakukannya bagaimana jadinya?
Harun yang tahu banyak itu malah berkata,
“Kalalu kamu ketemu perempuan yang sudah menikah dan dia sudah tidak lama
begituan sama suaminya, kamu kasih tahu aku, Jun. biar aku dekati. Perempuan
seperti itu pasti gampang dirayu karena nafsunya sudah lama ditahan-tahan. Kamu
kenal perempuan jablay seperti itu?”
Arjuna buru-buru berbohong dan berkata,
“Belum sih. Cuma mau tahu aja, kalau ada perempuan seperti itu harus
bagaimana?”
“Ya dirayu donk. Pasti mau deh!”
“Kamu kok tahu sih? Umur kita kan sama!”
“Aku ini kenal sama Zainal. Itu loh, selingkuhannya Mbak Sari. Nah, Zainal itu
pernah cerita tentang perempuan yang jarang dibelai, atau jablay. Yang penting
dideketin, dipuji-puji sama dirayu-rayu deh. Itu katanya.”
Arjuna mengangguk-angguk. Ia simpan hal ini dalam hatinya baik-baik. Apakah
Ibunya bisa dirayu-rayu sama dia? Berhubung Arjuna masih kecil, ia belum bisa
berfikir baik dan buruk. Orang dewasa tentu tahu bahwa merayu Ibu sendiri
adalah sesuatu yang absurd dan tidak mungkin dilakukan. Namun, bukanlah salah
Arjuna bahwa ia tidak tahu, namun keadaan lingkunganlah yang membuat Arjuna
dewasa pada saat yang tidak tepat.
Maka keesokkan harinya, Arjuna mulai beraksi. Ia kini tidak malas di rumah. Ia
bantu Ibunya untuk mencuci piring bahkan pakaian sendiri. Kamar tidurnya selalu
rapi bahkan kamar mandi dan dapur dibersihkannya seminggu sekali. Ibunya tentu
senang Arjuna membantunya karena selama ini untuk merapikan tempat tidur
sendiri saja Arjuna malasnya bukan main. Ketika ditanya Ibunya, Arjuna
menjawab,
“Arjuna baru sadar, Ibu capek sekali merawat rumah, anak dan ayah. Arjuna baru
sadar Ibu sayang sama keluarga. Nah, Arjuna memutuskan untuk membalas kebaikan
dan rasa sayang Ibu. Arjuna akan bantu Ibu dan akan menyayangi Ibu.”
Dewi yang tidak mengetahui intensi dari anaknya, menjadi berkaca-kaca dan
terharu. Dipeluknya anak tunggalnya itu lalu berkata,
“Kamu memang anak Ibu yang pintar.”
Sementara Arjuna bagaikan diberikan kado sebelum hari ulangtahun. Baru kali ini
setelah ia mengetahui mengenai seks, Ibunya merangkulnya. Arjuna tak ingat
kapan terakhir kali dipeluk Ibunya, mungkin kelas satu SD atau dua SD. Tapi
kini Ibunya merangkulnya.
Arjuna balas merangkul dengan kencang sambil berkata,
“Arjuna sayang Ibu. Arjuna akan selalu menyenangkan Ibu, jangan sampai Ibu
capek atau sedih. Arjuna akan menjaga Ibu selamanya.”
Dewi tambah terharu dan mempererat rangkulannya. Sementara, Arjuna bagaikan di
awang-awang. Saat itu sudah sore hari. Ia membantu Ibunya mencuci banyak
perabotan dan piring. Berhubung mereka cuci piring di kamar mandi, maka
keduanya jongkok sambil mencuci. Suasana hari itu panas sekali, mungkin karena
hujan tidak turun selama berminggu-minggu. Keduanya berkeringat saat mencuci
dan membilas perabotan itu. setelah selesai, maka barulah kedua Ibu dan anak
itu berangkulan.
Kepala Arjuna masih setinggi mulut Ibunya. Ketika Ibunya memeluknya, hidung
Arjuna hinggap di bagian atas dada Ibunya, karena Dewi menarik kepala Arjuna
sehingga dagu Dewi menempel pada ubun-ubun anaknya. Arjuna dapat mencium bau
tubuh Ibunya yang berkeringat itu. Bau tubuh perempuan dewasa yang belum mandi.
Baunya lumayan jelas dan menyengat hidung, namun bukan bau yang membuat mual,
namun justru bau yang membuat gairah kelelakian bangkit, membangkitkan si rudal
scud untuk bersiap-siap mencari sarang beludru di mana bau itu sangat jelas
memancar, selain dari dua buah ketiak yang jauh di atas.
Kulit Ibunya licin di wajah Arjuna karena keringat. Baik keringat Arjuna
sendiri dan Ibunya kini berbaur. Dapat dirasakan Arjuna, buah dada Ibunya
menekan dadanya sendiri. Ingatan akan bentuknya membuat burung Arjuna kini
menegak sampai seratus persen dan tidak dapat bertambah panjang lagi. Maka
Arjuna membenamkan wajahnya di dada Ibunya, dapat dirasakan bibirnya menempel
di bagian atas kedua payudara Ibunya dan sedikit bibirnya menempel di sela-sela
buah dada itu yang seakan adalah jurang pemisah kedua gundukan indah.
Tiba-tiba Dewi membeku. Lalu mendorong tubuh anaknya sambil berkata,
“Jun, sekarang kamu mandi dulu. Badan kamu keringetan.”
Arjuna kecewa. Namun ia harus sabar. Ia tahu bahwa usahanya tidak akan langsung
berhasil melainkan keberhasilan akan datang bila ia sabar. Maka Arjuna bergegas
bangkit untuk mandi, sesuai dengan perintah Ibunya.
Untuk selanjutnya, Arjuna terus membantu di rumah. Bahkan tanpa disuruh ia
membantu. Ketika atap bocor, maka Arjuna tanpa diminta membetulkannya. Ketika
pagar perlu diperbaiki, ia segera membetulkannya. Untuk sebulan kemudian,
Arjuna menjadi anak yang berbakti sekali, menjadikannya tidak hanya disayang
Dewi, melainkan bahkan mulai dipuji oleh Waluyo.
Selama sebulan itu ia tidak pernah berpelukan lagi dengan Ibunya. Maka Arjuna
berpikir apa yang akan menjadi aksinya berikut, karena usahanya tampak tidak
berhasil menambah kedekatannya dengan Ibunya. Akhirnya ia menemukan suatu akal.
Saat itu Arjuna akan pergi sekolah. Ia telah sarapan dan sudah berseragam dan
menyandang tasnya. Ibunya sedang membereskan bale. Karena mereka selalu sarapan
di sana, berhubung tidak punya meja makan. Arjuna menghampiri Ibunya dan
mencium tangannya seperti kebiasaannya selama ini. Namun setelah itu ia
bertanya kepada Ibunya,
“Bu, kenapa ya, orang indonesia cium tangan orangtuanya ketika mau pergi?”
“Mmmm….. sudah tradisi dari dulu, Jun.”
“Iya, tradisi ini memang bagus, karena menunjukkan rasa hormat pada orang tua.
Namun sepertinya tetap memberikan jarak. Sepertinya susah sekali untuk menjadi
dekat dengan orangtua.”
“Maksud kamu apa sih, Jun?”
“Iya, Bu. Waktu itu Arjuna nonton film barat di kelurahan. Itu loh yang hari
minggu. Film tentang keluarga yang harmonis di Amerika sana.”
“Terus?”
“Di sana mereka bukan cium tangan, lho Bu.”
“Lah? Terus bagaimana?”
“Mereka itu cium pipi kanan kiri. Kalau dilihat, keluarga mereka dekat sekali.
Banyak masalah dalam keluarga diselesaikan dengan mudah dengan saling berbicara
bukan seperti orangtua dan anak, tapi seperti sederajat begitu. Mungkin itu
karena mereka sangat dekat satu sama lain.”
“Itu kan orang Amerika, Jun. kita kan orang Indonesia.”
“Iya sih. Tapi selama sebulan ini, Arjuna bantu Ibu di rumah, Arjuna merasa
kita menjadi semakin dekat. Ga kayak dulu-dulu. Sekarang kita banyak ngomong,
deket sekali, Bu. Nah, Arjuna pikir, Ibu dan Arjuna sudah mulai berbicara
dengan nyaman, seperti sederajat, sudah kayak orang Amerika itu dan terbukti
hubungan kita lebih dekat lagi. Benar kan, Bu?”
“Betul. Terus?”
“Nah, bagaimana kalau selain cium tangan, Arjuna juga cium pipi Ibu, siapa tahu
nanti kita bisa lebih dekat lagi, Bu. Supaya nanti Ibu lebih sayang Arjuna, dan
Arjuna lebih sayang Ibu?”
Dewi berpikir sebentar. Namun, berhubung Dewi tidak tahu niat Arjuna
sebenarnya, maka akhirnya ia memutuskan untuk memperbolehkan Arjuna.
Segera Arjuna mencium kedua pipi Ibunya dengan cepat, agar tidak menimbulkan
curiga. Lalu Arjuna segera berangkat sekolah. Akhirnya, kegiatan ini menjadi
rutinitas setiap pagi. Arjuna akan cium tangan Ibunya, lalu mencium kedua pipi
Ibunya. Minggu-minggu pertama ciuman Arjuna hanya sekejap. Namun makin lama,
ciuman itu sedikit dilamakan oleh Arjuna. Dari hanya sepersekian detik, pada
akhir minggu ketiga ciuman itu menjadi satu detik.
Dewi senang juga dalam hatinya. Anaknya menunjukkan kasih sayang padanya.
Arjuna selalu membantu di dalam rumah, selain itu Dewi juga merasa bahwa
perkataan Arjuna benar, bahwa dengan mencium pipi, mereka menjadi lebih dekat
satu sama lain. Dewi menjadi lebih banyak bercerita kepada Arjuna mengenai
rumah dan permasalahannya. Tentu saja bukan permasalahan seks dengan suaminya
yang sudah lama tak pernah menafkahi secara batin, namun mengenai permasalahan
rumah lainnya. Terkadang pula Dewi curhat bila ada permasalahan dengan tetangga.
Makin lama mereka seakan menjadi teman yang dekat.
Suatu hari, sekitar dua bulan setelah ciuman pertama Arjuna, Dewi memutuskan
untuk membelikan baju baru untuk Arjuna dari uang tabungannya selama ini.
Walaupun tidak menghabiskan tabungan, namun cukup mahal juga kalau dalam ukuran
petani kecil. Arjuna gembira sekali, dipeluknya Ibunya, lalu diciumnya pipi
Ibunya, kali ini sekitar dua detik dan ciuman Arjuna ketika dilepas terdengar
suara kecupan. Dewi kaget, namun ketika dilihatnya wajah Arjuna sangat gembira,
Dewi tidak curiga apa-apa. Mulai saat itu Arjuna mencium Ibunya dengan
memberikan kecupan saat melepaskan bibirnya. Dan mereka menjadi lebih dekat
lagi.
Beberapa hari kemudian, saat hari minggu dan banyak orang desa menonton disana,
Dewi memutuskan untuk menonton juga. Kali ini film barat mengisahkan tentang
perjuangan seorang Ibu membesarkan keluarganya tanpa suami. Dan yang lucu, anak
lelaki perempuan itu yang berusia sekitar enam tahunan, mencium bibir Ibunya
ketika akan pergi bermain.
Ketika mereka pulang, mereka membahas hal ini. Saat itu mereka sudah selesai
cuci piring dan telah selesai pula menaruh perabotan dan piring di rak piring
di dapur. Waluyo entah pergi ke mana, karena biasanya hari minggu ia pergi
sampai waktu makan malam.
“Tuh, kan bu. Orang Amerika cium anaknya juga. bagaimana kalau kita juga cium
seperti mereka, di bibir? Boleh kan, Bu?”
Hanya Waluyo yang pernah mencium Dewi di bibir. Namun itu ciuman yang penuh
nafsu dan lama. Dewi berfikir kalau hanya sebentar apalagi dengan anak sendiri
tentunya tak masalah. Malah hubungan mereka mungkin bertambah kental. Maka Dewi
menjawab dengan mengangguk.
Arjuna lalu mengecup kedua pipinya seperti biasa lalu mengecup bibir Dewi.
Entah kenapa Dewi merasakan sesuatu yang aneh. Bibir Arjuna begitu hangat
ketika menempel pada bibirnya. Nafas Arjuna tercium bersih, beda dengan nafas
perokok Waluyo. Hanya 2 detik dan Dewi tiba-tiba saja merasa bahagia. Mungkin
Arjuna benar, pikir Dewi. Karena ia merasa menjadi sangat dekat dengan anaknya
itu.
Sementara itu Arjuna berteriak senang dalam hatinya. Rupanya aksi dia berhasil.
Tentunya bila ia tetap sabar, maka apapun bisa dilakukan. Arjuna memegang
tangan kiri Ibunya, lalu menariknya sambil berkata,
“Aku punya hadiah untuk Ibu. Aku mau kasih Ibu sekarang…”
Ia menarik Ibunya ke dalam kamarnya. Selama ini Arjuna menabung selama beberapa
bulan ini. Selama usahanya dalam merayu Ibunya. Pada hari sabtu kemarin, ia
bertemu dengan ped****g keliling yang menjual pakaian. Kebetulan ia melihat
daster. Daster itu jenisnya menggunakan karet sehingga dapat melar, namun
ukurannya lebih kecil satu nomer untuk Ibunya yang lumayan tinggi itu, bila
dipakai Ibunya tentu akan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah tanpa
menyebabkan robek. Dibelinya daster itu, dikatakan Arjuna bahwa ia mau beli
kado untuk teman sekolah. Padahal untuk Ibunya.
Arjuna mengambil daster itu dari lemari sambil berkata,
“Ibu kan ga pernah punya daster kayak tetangga. Selama ini Arjuna perhatikan
Ibu Cuma pakai kain kalau mau tidur. Nah, Arjuna bela-belain beli ini dengan
menyisihkan uang jajan Arjuna. Arjuna ga jajan selama empat bulan, lho bu.”
Ibunya menjadi terharu. Dicobanya daster itu dengan menempelkannya didepan
tubuhnya, dan ternyata tidak sama dengan ukuran tubuhnya. Daster itu bermodel
rok di atas lutut, namun karena ukurannya kecil, jatuhnya tepat di tengah
antara pantat dan lututnya. Untung saja ada karetnya sehingga bila dipaksa
dipakai tidak akan robek.
“Ibu ga suka, ya?” tampak wajah Arjuna menjadi sedih. Dewi berfikir mungkin
karena Arjuna melihat reaksi dari dirinya yang terkejut.
“Oh, Ibu suka,” katanya untuk menghIbur Arjuna.
“Ibu pakai ya nanti malam? Udah Arjuna cuci tuh…”
Dewi hanya mengangguk. Namun ia menjawab,
“Ibu pakai, nanti kalau Bapakmu sudah selesai makan.”
Itu berarti kalau Bapak tidak masuk rumah lagi, pikir Arjuna. Tentunya Ibunya
takut kalo Bapaknya melihat Ibunya memakai daster kecil sehingga membuat tubuh
menjadi seksi.
“Arjuna boleh lihat ya? Soalnya Arjuna bangga kalau Ibu memakai pemberian
Arjuna.”
Dewi hanya mengangguk pelan.
Malamnya, ketika Waluyo telah merebahkan diri di bale-bale, Dewi masuk kamarnya.
Arjuna sudah siap di atas lemari mengintip Ibunya. Ibunya membuka kainnya
sehingga hanya memakai kutang dan celana dalam. Lalu dipakainya daster itu.
Daster itu tidak bertali dan menunjukkan sedikit bagian dada dan agak banyak
bagian punggung. Ketika bercermin, Dewi melihat bahwa tali BH nya menyembul
keluar, dan di bagian punggung Bhnya terlihat sehingga tampak tidak begitu enak
untuk di lihat.
Dengan cekatan tanpa membuka daster, Dewi membuka Bhnya dan menaruhnya di
tempat tidur. Barulah dapat dilihat seorang perempuan seksi memakai daster,
dengan pentil terlihat menyembul dari balik kain dasternya. Dewi merasa sedikit
malu, karena yang dilihat di cermin tampak seperti bukan perempuan baik-baik,
namun di lain pihak ia merasa amat seksi sehingga ia cukup lama bercermin dan
melihat keadaannya dari berbagai sudut.
Arjuna yang tak sabar segera turun dari lemari dan mendatangi kamar Ibunya.
Dewi terkejut ketika didengarnya pintu kamar diketuk. Apakah suaminya mau
masuk? Namun didengarnya Arjuna memanggilnya perlahan, maka Dewi membuka pintu.
“Wah….. Ibu cantik sekali,” kata Arjuna ketika melihat Dewi, “ dan Arjuna
bangga Ibu menjadi cantik karena pemberian Arjuna. Kok Arjuna baru tahu ya,
kayaknya Ibu ini wanita tercantik di desa kita.”
Dewi merasa jengah namun bahagia juga. Ia tidak curiga maupun heran, karena
dipikirnya anaknya memuji dia karena sayang saja. Maka Dewi memeluk Arjuna
sambil mencium pipi kirinya.
“Terimakasih ya, Jun.”
“Ibu, kok Cuma pipi? Kan kita cium bibir.”
Dewi kemudian mencium bibir Arjuna.
“pipi kanan belum.”
Dewi mencium pipi kanan Arjuna.
“sekarang giliran Arjuna, karena Ibu mau memakai pemberian Arjuna, maka Arjuna
juga sangat berterima kasih.”
Arjuna mencium kedua pipi Ibunya. Kali ini sudah tiga detik. Lalu diciumnya
bibir Ibunya. Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik.. Dewi merasakan
tubuhnya hangat karena ciuman bibir Arjuna yang hangat seakan menjalar ke
seluruh badannya. Setelah lima detik Arjuna melepaskan bibirnya.
“Bu?”
“Ya?” jawab Dewi dengan suara sedikit serak.
“Arjuna sayang banget sama Ibu. Boleh kan kalo Arjuna mencium Ibu kapan saja?”
“Maksud kamu?”
“Maksudnya ga hanya waktu pamit saja. Soalnya Arjuna pengen kasih liat bahwa
Arjuna sayang sama Ibu.”
“Boleh saja.”
Arjuna kemudian mencium bibir Ibunya lagi. Mereka berangkulan semakin erat.
Lalu setelah lima detik, Arjuna melepaskan bibirnya dan rangkulannya dan pamit
untuk tidur. Sebenarnya ia buru-buru pergi karena tidak mau membuat Ibunya
curiga dan selain itu ia ingin masturbasi di kamar.
Ketika Arjuna bangun, Ibunya sedang menata piring untuk sarapan di bale-bale.
Tubuhnya membungkuk ke depan. Arjuna menyapa Ibunya, lalu mencium pundak Ibunya
selama lima detik. Ia mencium bau ketiak Ibunya secara jelas.
“Ih ngapain kamu cium pundak Ibu? Lagian Ibu kan belum mandi.”
“Katanya Arjuna boleh cium kapan aja. Dan biar Ibu belum mandi tetap aja wangi,
kok.”
“bau gini kok wangi? Ngaco!”
Ibunya lalu duduk di pinggir bale-bale. Arjuna yang pintar itu segera duduk di
sebelahnya.
“Untuk Arjuna sih bau badan Ibu itu wangi. Ga percaya?”
Arjuna mengangkat tangan Ibunya lalu membenamkan wajahnya di ketika Ibunya yang
lembab. Hidungnya dibelai bulu ketiak halus namun tidak lebat milik Ibunya. Bau
tubuh Ibunya kini menyerang hidungnya dan menguasai otaknya.
Ibunya yang kegelian menarik tubuhnya ke samping dan tertawa sambil berkata,
“dasar bocah gemblung! Makan sana!”
Maka Arjuna makan dengan lahap. Setelah itu, seperti biasa, ia mencium pipi dan
bibirnya Ibunya. Kali ini proses ciuman di bibir sudah lima detik. Ibunya
mendorong kepala Arjuna perlahan dan berkata,
“Nanti kamu terlambat sekolah.”
Arjuna hanya tertawa, lalu mencium ketek Ibunya. Namun karena sedang tertutup,
maka ia mencium bagian kiri atas dada Ibunya dan tangan kirinya tepat ditempat
di mana ketek itu berada.
“Mending Ibu jangan mandi deh sebelum sarapan,” kata Arjuna lalu bergegas
berangkat ke sekolah.
Setelah itu Ibunya tidak pernah mandi sebelum selesai sarapan yang menyebabkan
Arjuna mengintip Ibunya mandi hanya pada sore hari saja. Ada sedikit
penyesalan, namun setidaknya dia dapat mencium Ibunya tidak hanya pipi dan
bibir.
Aktivitas cium Arjuna menjadi bertambah. Kini bilamana mereka berduaan saja,
maka Arjuna mencium pundak Ibunya, pipinya dan bibirnya. Pertama-tama hanya
sekilas, namun karena Ibunya tidak marah, maka menjadi lebih lama. Namun untuk
tidak mencurigakan, maka ciuman itu dilancarkan sekali-kali dan belum beruntun.
Arjuna segera mencari akal agar dapat menciumi Ibunya secara beruntun.
Bersambung ke Bagian 04