watch sexy videos at nza-vids!

 

ANAK PETANI

04. Belajar ML dengan Ibunya

Suatu ketika mereka selesai makan siang, Ibunya duduk di pojok bale melihat ke arah luar rumah sementara Arjuna duduk di samping Ibunya. Ibunya sesekali menoleh ke belakang sementara berbicara dengan Arjuna mengenai pengalaman masa kecilnya di desa yang sedih karena keluarganya miskin. Dewi rupanya sedang mengenang masa-masa sulit di waktu yang telah lalu.
Arjuna memeluk Ibunya dari belakang dan berkata,
“Sedih sekali ya waktu itu….” lalu mulai mencium pundak Ibunya perlahan. Seperti biasa, Ibunya memakai kain yang dilibat di atas dadanya, BH hitamnya terlihat pada bagian tali. Ibunya terus berbicara, lalu Arjuna mencium lagi. Kemudian lagi. Jarak antara ciuman sekitar sepuluh detik. Makin lama secara perlahan jarak itu mengecil, hingga akhirnya Arjuna mulai menciumi pundak Ibunya berkali-kali bagaikan ayam sedang mematuki beras di tanah sementara Ibunya berbicara. Akalnya berbuah hasil juga. Kini Arjuna dapat menciumi pundak Ibunya secara beruntun.
Setelah beberapa lama, sekitar lima menitan Arjuna mencumbu pundak Ibunya, barulah anak itu sadar bahwa Ibunya telah berhenti bicara. Arjuna buru-buru mengajak ngomong agar tidak dicurigai.
“Bu?”
“Ya?”
“Kalau sekarang, apakah Ibu masih merasa sedih. Kita kan juga bukan keluarga yang kaya….”
“Tidak, Jun. kalau dibanding dahulu, sekarang ini jauh lebih baik. Ibu senang hidup seperti sekarang. Makan dan tidur cukup, walaupun enggak berlebihan. Udah dulu ngomong-ngomongnya, sebentar lagi sore nih. Ibu belum masak sama beres-beres.”
Dewi beringsut pergi dari bale-bale. Arjuna kecewa, namun kekecewaannya sedikit terobati karena ia kini bisa menciumi Ibunya tidak hanya di pipi dan bibir, namun di pundaknya pula tanpa kena marah. Setidaknya ada kemajuan pada hari ini.
Keesokan harinya, Dewi duduk di pinggir tempat tidur Arjuna lalu membangunkan Arjuna untuk mandi pagi. Arjuna terbangun, melihat Ibunya menatapnya dan hendak berdiri. Sambil beringsut bangun, Arjuna memegang tangan kanan Ibunya mengunakan tangan kirinya dan berkata,
“Cium dong.”
“Ah, kamu belum mandi sama gosok gigi.”
“Ya udah pundak aja.”
Arjuna mencium pundak Ibunya selama beberapa detik.
“Udah ya. Kamu kan harus mandi dan sarapan.”
“Yaaaah…. Baru sebentar juga.”
Lalu Arjuna menciumi lengan Ibunya. Lalu dengan tangan kirinya yang masih memegang pergelangan tangan kanan Ibunya, ia angkat tangan Ibunya dan ditaruh di pundak kirinya, lalu dibenamkannya mukanya di ketiak Ibunya yang belum mandi itu. Dihirupnya bau tubuh Ibunya dalam-dalam.
“Arjuna… Ibu geli. Udah donk. Kamu belum mandi dan sarapan. Nanti kamu terlambat sekolah.”
Arjuna menjawab tanpa menarik wajahnya. Sehingga ia berbicara masih dengan hidung yang menempel pada bulu ketiak Ibunya yang lembab,
“Yaaaah…… sebentar banget. Arjuna paling seneng menghirup bau badan Ibu yang belum mandi. Harum banget sih. Besok bangunin Arjuna lebih pagi lagi ya?! Lagian Ibu kok jam segini mulu bangunin Arjuna?”
“Ibu kan harus cuci perabot dulu sehabis Ayah kamu sarapan. Biar cepat bersih rumah.”
Arjuna justru memeluk Ibunya, tangan kanannya tepat dibawah payudara Ibunya sehingga merasakan gundukan bukit kembar. Ia menghirup dalam-dalam lagi aroma ketek Ibunya itu. Kata Arjuna setelah beberapa saat,
“Arjuna ga mau lepasin. Lebih baik hari ini ga usah sekolah aja.”
“jangan donk. Kamu mau ngapain di rumah?”
“ciumin ketek Ibu aja.”
“ngaco kamu. Ketek bau diciumin terus.”
“Harum kok. Pokoknya Ibu harus janji besok bangunin Arjuna sebelum cuci perabotan.”
“Terserah kamu deh.”
Dengan semangat 45, Arjuna tiba-tiba membuka mulutnya lalu menjulurkan lidahnya ke ketek Ibunya. Dikenyotnya bulu ketek Ibu secara cepat. Ibunya kaget. Namun belum sempat Ibunya bereaksi, Arjuna sudah melepaskan dirinya dari Ibunya lalu bergegas ke kamar mandi. Dewi terkaget, namun melihat anaknya sudah bergegas mandi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah mandi secara cepat, Arjuna mendapatkan Ibunya sedang di bale-bale mempersiapkan makanan untuk sarapan. Arjuna menghampiri Ibunya dan duduk disampingnya. Dewi tersenyum. Dari samping, Arjuna melingkarkan sebelah tangannya ke pinggang Ibunya. Lalu seperti biasa, Arjuna mencium kedua pipi Ibunya masing-masing sekitar tiga detik diakhiri dengan kecupan yang menimbulkan bunyi. Lalu mereka berciuman di bibir. Biasanya sekitar lima detik. Tapi hari itu setelah lima detik, Arjuna memang melepaskan bibirnya sehingga menimbulkan suara kecupan lagi, namun kembali menempelkan bibirnya. Setelah lima detik Arjuna mengakhiri lagi dengan kecupan, namun kembali diciumnya bibir Ibunya.
Akhirnya setelah kecupan ketiga, Dewi mendorong kepala anaknya dan berkata,
“Kamu semangat banget hari ini cium Ibu.”
“Habis, Arjuna semakin hari semakin sayang Ibu.”
“Ya udah, makan sana.”
“Tapi ketek Ibu kan belum….”
“Nanti kamu kesiangan. Lagian, kok kamu seneng banget ciumin ketek Ibu?”
“Kan udah Arjuna bilang, Arjuna suka sekali sama bau badan Ibu yang belum mandi. Karena inilah bau badan Ibu yang asli. Ga ada bau tambahan kayak sabun. Kalo mencium bau badan Ibu ini rasanya Arjuna semakin dekat sama Ibu.”
“Ya udah. Jangan lama-lama. Nanti kamu kesiangan.”
Dewi mengangkat tangan kirinya ke atas. Tangan yang dekat dengan Arjuna. Arjuna berkata,
“Ibu nanti pegal. Ibu tiduran aja sebentar.”
“Aduh. Sempit di bale-bale. Banyak perabotan. Piring, periuk sama gelas.”
“Yah…. Di kamar Ibu aja, ya? Sebentar.”
Pertama-tama Ibunya enggan, namun Arjuna yang pintar itu memelas dan dengan alasan ingin lebih dekat dan mengenal Ibunya, dan salah satu caranya adalah mengenal bau tubuh Ibunya, selain itu ciuman juga akan semakin mendekatkan juga menambah rasa sayang mereka, akhirnya Ibunya mengalah. Selain itu, Dewi setiap kali mendengar Arjuna berbicara mengenai ciuman, ada perasaan aneh di dalam dadanya. Dan mungkin karena memang Dewi sendiri ingin dekat dengan anak tunggalnya itu, makanya Dewi tidak pernah keberatan anaknya menciumi dirinya.
Setelah menutup makanan di bale-bale dengan tudung saji. Mereka berdua masuk kamar Dewi. Dewi rebah di sana di tengah ranjang. Arjuna rebah disampingnya dan mulai menciumi ketek kiri Ibunya. Berhubung Ibunya bersikeras bahwa hanya lima menit saja, maka Arjuna memutuskan untuk tidak hanya mengeksplorasi ketiak Ibunya.
Arjuna mulai menciumi ketek kiri Ibunya. Sesekali dipagutnya bulu ketiak Ibunya. Kini Arjuna mulai hafal bau tubuh Ibunya. Bahkan ketika masturbasipun bau tubuh Ibunya teringat di benaknya. Ciuman di ketek itu dilanjutkan Arjuna dengan mulai mencium ke arah dada Ibunya.
Ketika Dewi merasakan bibir Arjuna mulai meninggalkan ketiaknya dan kini berjalan menyusuri pinggir ketiak dan akhirnya menyusuri bagian atas dadanya, ia berkata,
“Jun, kamu ngapain?”
“Mau cium ketiak Ibu sebelah kanan,” kata Arjuna lalu meneruskan perjalanan bibirnya itu yang kini sudah di tengah bagian atas tetek Ibunya yang terbuka dan tidak terbungkus kain. Dewi merasakan kulitnya bagai tersengat listrik arus rendah, dan kepalanya bagaikan berputar.
“Bu?” kata Arjuna tiba-tiba.
“ya?”
“Kemarin ada kakak kelas yang bilang bahwa ada cewek yang manis dan ada yang tidak. Ibu termasuk yang manis, kan ya? Pasti deh.”
“Ah, Ibu itu biasa aja. Gak terlalu manis.”
“Ah, Ibu bohong. Coba deh…..” kata Arjuna dan tiba-tiba Arjuna menjilat payudara kiri bagian atas Dewi. Dewi tersentak kaget dan menarik nafas cepat ketika merasakan lidah muda Arjuna menyapu payudara kanannya itu.
“Wah. Benar, kan. Ibu rasanya manis.”
Dewi harus menarik nafas dulu baru menjawab,
“Kamu itu. Jelas-jelas Ibu asin begini karena belum mandi.”
“enggak kok. Nih buktinya…..” Arjuna menjilat lagi, kini agak ke tengah, “ tuh kan. Manis lho, Bu.”
Dewi kini merangkul kepala Arjuna dengan tangan kirinya secara perlahan.
“Udah, Jun. nanti kamu kesiangan.”
Namun Arjuna kembali menjilat dada Ibunya, kini lembah diantara kedua bukitnya yang disapu oleh lidah Arjuna. Arjuna yang mulai berahi kini semakin berani. Sebelumnya ia menjilat Ibunya sekali-sekali. Kini setelah lidahnya mencapai pinggir bukit sebelah kanan Ibunya, ia mulai menjilati daerah itu dengan sapuan lidah yang cepat.
Dewi merasa tiba-tiba dilanda birahi. Dan ia tiba-tiba merasa takut. Mengapa ia birahi pada anak sendiri? Maka ia segera mendorong Arjuna dan berkata,
“Udah, Jun. kamu bakal kesiangan.”
“Yaaah…… ketek kanan Ibu belum….”
“Udah, nanti aja…..”
Arjuna sebenarnya sudah birahi dan tidak ingin menghentikan aksinya. Namun ia tahu bila ia bersikeras, maka Ibunya akan marah. Oleh karena itu, ia segera menghentikan aksinya lalu tersenyum dan berkata,
“Ibu udah janji, lho.”
Dengan perkataan itu ia meninggalkan kamar Ibunya untuk sarapan pagi.
Dewi tidak tahu harus berbuat apa-apa. Karena hal yang dimulai untuk membuat ia dan anaknya menjadi dekat, kini seakan mulai bergerak ke arah yang lain. Dewi mulai merasakan nafsu birahi ketika anaknya mulai menjilati dada atasnya. Ia bingung. Ia tidak ingin merasakan birahi kepada anaknya sendiri, ia harus menolak dan melarang Arjuna bila ingin menjilatnya lagi. Tapi ia takut bila dilarang, maka kedekatan mereka yang sudah terjadi, akan lenyap begitu saja.
Dewi adalah perempuan desa yang mempunyai pikiran yang sederhana. Tidak ada sedikitpun kecurigaannya kepada anaknya. Ia tidak berfikiran bahwa memang sebenarnya anaknya hendak membuatnya birahi. Ia percaya, Arjuna memang ingin dekat dengannya. Jadi, apa yang harus dilakukan olehnya agar tidak memiliki nafsu itu?
Siang hari Arjuna pulang. Dewi sedang di bale-bale termenung memikirkan segalanya. Seperti biasa Arjuna duduk di sampingnya lalu mencium dan mengecup pipi dan bibirnya. Namun kali itu Arjuna berkata,
“Bu, akhir-akhir ini Arjuna merasa Ibu sudah ga sayang sama Arjuna lagi.”
“Loh, kok kamu berkata begitu?”
“Pertama. Tadi pagi Ibu mengusir Arjuna dari kamar Ibu…”
“Tapi Jun. kamu kan harus sekolah. Ibu ga mau kamu terlambat dan dihukum,” sela Ibunya.
“Dengerin Jun sampai habis dulu, dong. Pertama, Ibu mengusir Jun dari kamar tidur. Kedua, selama ini Jun mengecup Ibu, Ibu hanya diam dan tidak mengecup balik. Arjuna takut sebenarnya Ibu tidak ingin dekat dengan Jun. padahal Jun sangat ingin dekat sama Ibu.”
“Ibu juga ingin dekat sama Jun. benar, kok.”
“Kalau gitu Ibu juga kecup dong.”
Arjuna kemudian mencium bibir Dewi lagi. Dikecupnya Ibunya, namun Ibunya terlambat mengecup balik.
“Tuh, kan.”
“Abis kamu cepat banget.”
“Kan harusnya kerasa, setiap kali mau Jun kecup, bibir Jun kan menekan bibir Ibu. Coba lagi deh.”
Arjuna mencium bibir Ibunya lagi. Kali ini Ia merangkul Dewi. Dewi memusatkan perhatian pada tekanan bibir Arjuna pada bibirnya. Dirasanya bibir anaknya itu menekannya, maka Dewipun menekan bibirnya untuk membalas kecupan itu. Akhirnya mereka berdua mengecup dan karena kedua bibir saling mengecup, bunyi yang dihasilkan lebih keras dari suara kecupan sebelum-sebelumnya.
“Nah, gitu dong. Ini kan artinya Ibu juga sayang seperti Arjuna sayang Ibu. Tapi Ibu masih kaku nih. Harus banyak-banyak dilatih. Kalau menyamping kayak gini rasanya pegal, Bu. Di kamar Ibu aja ya? Sambil rebahan. Arjuna tadi abis olahraga.”
“Makan siang dulu, Jun.”
“Sebentar aja, kok.”
Dewi merebahkan dirinya di kasur. Arjuna secara cepat sudah berbaring pula di sampingnya. Untuk dapat berciuman mereka berbaring menyamping. Dengan tangan kirinya, Arjuna merangkul Ibunya, dengan bujukan Arjuna Ibunya merangkul pundak anaknya itu. Karena seharusnya dua orang yang saling menyayangi tidak canggung saling memeluk. Mereka berciuman dan saling mengecup.
Dewi merasakan kecupan Arjuna yang basah, karena sebelum berciuman Arjuna menjilat bibirnya sendiri untuk membasahi bibirnya itu. Arjuna menyuruh Ibunya juga untuk membasahi bibirnya sendiri, agar enggak kering. Soalnya kalo kering ga enak, kata Arjuna.
Bibir Arjuna terasa hangat dan basah. Ciuman dan kecupan Arjuna pertama-tama terasa perlahan dan lambat. Makin lama tekanan bibir itu makin diperkeras. Tak sadar, Dewi mengikuti irama permainan bibir anaknya itu. Birahi Dewi kini mulai menanjak lagi.
Sejenak Arjuna menghentikan ciumannya dan Dewi sedikit kecewa. Kata Arjuna,
“Bibir ibu kering lagi tuh. Biar Arjuna yang basahin deh.”
Lalu Arjuna mencium Dewi lagi, namun kini dirasakan lidah Arjuna menyapu bibirnya. Dewi mengecup lidah itu.
“Sekarang ibu yang membasahi bibir Arjuna,” kata remaja itu.
Dengan kaku Dewi menyapu lidahnya ke bibir anaknya sekali. Namun Arjuna menyuruh ibunya terus membasahi bibirnya. Akhirnya Dewi mulai menjilati bibir Arjuna secara perlahan. Tiba-tiba Dewi merasa bibir Arjuna menjepit lidahnya secara perlahan. Listrik birahi tiba-tiba menyetrum kemaluannya sehingga kini mulai basah dan lututnya menjadi lemas. Dijulurkannya lagi lidahnya ke mulut anaknya dan Arjuna mengenyot lidah ibunya itu dengan perlahan, membuat Dewi terbuai oleh nafsu birahi sehingga kini ia mendekap kepala anaknya. Dewi kini membalas mengenyoti bibir Arjuna.
“Jilatin lidah, Bu,” kata Arjuna sambil mengulurkan lidahnya. Dewi lalu membalas dengan mengeluarkan lidahnya. Lidah mereka menari-nari, menekan dan menjilati satu sama lain. Air liur mereka bercampur di mulut mereka. Arjuna kemudian mengecup bibir ibunya yang mengecup balik. Sesaat mereka saling berciuman dan mengecup, lalu mereka mulai lagi adu lidah. Kadang mereka mengenyot lidah secara bergantian, kadang saling mengenyot bibir. Keringat mereka mulai deras membasahi tubuh mereka.
Arjuna tahu kapan harus berhenti. Dia pikir mungkin saja sekarang ia bisa menggauli ibunya, tapi prosesnya terlalu cepat. Ibunya harus secara perlahan menginginkannya. Bila terlalu cepat, maka mungkin hubungan ini akan terjadi sekali saja, sedangkan Arjuna ingin ibunya menjadi miliknya selama-lamanya.
Maka Arjuna lalu menghentikan aksinya. Lalu berkata,
“Arjuna senang sekali. Kini kita udah sangat dekat. Yang kurang Cuma cium ketek aja.”
Ibunya yang terengah-engah hanya memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian ibunya membuka mata lalu mengangkat kedua tangannya. Arjuna kemudian menjilati ketiak kiri ibunya yang kini sudah basah oleh keringat dan sudah mengeluarkan bau badan lagi. Ibunya menggelinjang kegelian namun hanya tertawa tanpa melarang. Setelah beberapa menit, maka ketek sebelahnya lagi dilahap oleh Arjuna, sehingga kini kedua ketek itu basah oleh keringat Dewi sendiri dan air liur anaknya itu. Setelah itu Arjuna menghentikan aksinya.
Malam itu ada perubahan di rumah. Ayah Arjuna, Waluyo, pulang dengan batuk-batuk. Ketika pulang maka Waluyo mengajak Dewi ke kamar dan mereka berbicara lama. Arjuna mengintip, mungkin kali ini mereka akan melakukan hubungan seks. Ternyata mereka berembug, bahwa Waluyo harus tidur di dalam agar tidak bertambah parah sakitnya. Yang anehnya, keduanya membicarakan mengenai apakah harus tidur berdua atau tidak.
“Aku sudah tidak bisa tidur dengan kamu lagi, Wi. Kamu tahu itu,” kata Waluyo,

”maka aku tidak bisa berbagi ranjang. Mungkin sebaiknya aku tidur di kamar Arjuna.”
Hal ini menambah senang Arjuna. Kalau mereka tidur bersama dan berhubungan seks lagi, rencana Arjuna akan hancur total.
“Nanti Arjuna ketularan. Jangan dong, Mas.”
“Ya sudah. Suruh dia tidur di bale-bale saja.”
“Jangan, Mas. Nanti dia juga sakit kena angin malam. Dia kan ga biasa tidur di luar kaya Mas.”
“Terus bagaimana?”
“Biar Arjuna tidur sama aku saja di kamar depan.”
Waluyo menghela nafas. Akhirnya mereka setuju. Arjuna merasakan seperti di surga ketujuh. Usaha-usahanya pasti akan berhasil dengan sukses dengan kemungkinan di atas 90%, pikirnya.
Jam sembilan malam biasanya Arjuna masuk kamar. Sementara ibunya masuk kamar pukul sepuluh atau lebih. Kini mereka berdua berbagi kamar, Arjuna mengharapkan ibunya seperti biasa akan berganti daster. Maka ditunggunya ibunya dengan cara ia pura-pura belajar dengan membaca di kamar tidur. Selain itu, kini ia telah siap dengan memakai sarung tanpa CD dengan kaos kutang saja.
Ketika ibunya masuk, ibunya berkata,
“Sudah. Ayo tidur.”
Arjuna meletakkan bukunya di meja di samping tempat tidur. Lalu menunggu dengan harap-harap cemas. Namun, ibunya malah naik ke tempat tidur.
“Loh? Selama ini ibu sudah bohongin Arjuna ya?”
“Maksud kamu?”
“Arjuna sudah beliin ibu daster, ternyata tidak dipakai.”
Padahal Arjuna tahu ibunya selalu memakai daster. Cuma mungkin sekarang ia agak risih karena tidur bareng anaknya sendiri mengenakan daster yang kecil itu. Dewi jadi bingung harus bagaimana. Namun karena takut anaknya marah, maka ia bilang bahwa ia selalu pakai, dan hari ini lupa karena mengurusi bapaknya yang sakit.
“Ya sudah. Kamu balik badan dulu. Ibu mau pakai daster.”
“Emangnya kenapa, Bu?”
“Ibu kan malu.”
“Malu? Kalo sama orang lain boleh dan harus malu. Tapi sama anak sendiri masa malu, bu?”
Dewi menjadi serba salah. Tapi dia selalu kalah debat sama anaknya. Maka, ia membuka lemari di mana tergantung daster itu. Dibukanya kainnya. Arjuna segera ngaceng melihat tubuh ibunya yang hanya berbalutkan BH dan celana dalam putih. Tubuh ibunya yang sudah sering dilihatnya itu tampak semakin menggiurkan bila dilihat langsung tanpa melalui lubang intip.
Ketika ibunya telah selesai memakai daster dan membalikkan badannya Arjuna berkata lagi,
“Ibu. Kok kelihatannya jelek ya daster itu jadinya, karena ada tali BH di balik daster.”
“Iya, emang keliatan jelek.”
“Jadi selama ini ibu selalu pakai BH di balik daster?”
Dewi terdiam sebentar, namun karena dia adalah orang kampung yang jujur, akhirnya diberitahukanlah kepada anaknya bahwa sebenarnya ia tidak pernah pakai BH di balik daster selama ini.
“Wah, kalo gitu jangan pakai BH dong, Bu. Masa Ibu keliatan aneh gini. Ibu sendiri merasa jelek kalau pake BH. Arjuna kan mau ibu terlihat bagus memakai daster pemberian Arjuna. Kalo kelihatan jelek, Arjuna jadi sedih dan menyesal jadinya membuat Ibu keliatan jelek.”
Dewi menghela nafas. Akhirnya dengan keahlian seorang perempuan, ia membuka BHnya langsung tanpa membuka daster. Arjuna agak kecewa karena dikiranya ibunya akan buka daster dulu. Lalu Dewi merebahkan dirinya di tempat tidur.
Arjuna tidur menyamping mengarah kepada ibunya sementara Dewi tidur telentang. Arjuna mengangkat tangan kanan ibunya dan memeluk pinggang ibunya kemudian menempelkan hidungnya di ketiak kanan ibunya yang berbulu dan mulai menjilati daerah itu.
Dewi kegelian namun berkata sambil menahan tawa,
“Kamu apaan sih jilat-jilat kayak anjing.”
“Ah ibu….. tadi siang juga kita jilat-jilat lidah kayak anjing juga….”
Dewi merasa jengah dan membiarkan anaknya menjilati ketiak kanannya. Kemudian sambil berkata bahwa ibunya harum, Arjuna mulai menciumi pundaknya. Tangan kiri Arjuna mulai menggeser tali daster Dewi perlahan sambil terus menciumi.
“Kok talinya dibuka?” tanya Dewi.
“Abis….. menghalangi bibir Arjuna. Ga enak kan cium kain.”
Melihat ibunya tidak marah, Arjuna menarik tali itu hingga jatuh dari pundak ibunya dan meneruskan menciumi pundak dan kini menjalar ke leher. Dewi otomatis merangkul kepala Arjuna sehingga kini tali yang tadi jatuh, kembali ke pundaknya. Arjuna mendapat akal, lalu menciumi pundak ibunya lagi. Tiba-tiba Arjuna berhenti dan berkata,
“Yah… kena tali lagi, Bu. Talinya balik lagi waktu ibu mengangkat tangan. Cape deh….”
Dewi yang tadinya mulai terangsang jadi menghilang rangsangan itu lalu menjawab enggan,
“Terus kenapa?”
“Ibu pakai kain lagi deh… biar ga rese…. Biar Arjuna bisa cium pundaknya tanpa kena tali melulu.”
Lalu Arjuna menarik badannya dan duduk di samping ibunya. Dewi merasa repot sekali. Tadi disuruh pake daster, sekarang disuruh pake kain lagi. Ribet amat nih anak.
Dewi berdiri ke arah gantungan baju dan membuka dasternya. Arjuna dapat melihat punggung ibunya yang telanjang. Ketika ibunya mengambil BH, Arjuna berkata,
“Ga usah bu. Tar Arjuna cium tali BH malah….”
Dewi akhirnya memakai kainnya dan dilipatnya disamping badannya. Arjuna sebenarnya ingin memeluk ibunya dari belakang sehingga ibunya tidak sempat memakai kain, namun anak itu berfikir bahwa kini belum saatnya. Maka dibiarkannya ibunya memakai kain itu. Jangan sampai ibunya tahu bahwa sebenarnya Arjuna ingin menyetubuhinya.
Dewi merebahkan dirinya di samping Arjuna telentang, sementara Arjuna dengan sigap memeluk perut ibunya dengan tangan kanan. Lalu mulai menciumi pundak ibunya lagi. Dewi memeluk kepala Arjuna dengan tangan kanannya yang tertindih badan anaknya itu sehingga kini posisi Arjuna agak menindih bagian tubuh sebelah kanan ibunya. Dada kanan Arjuna dapat merasakan menempel di dada kanan ibunya yang terbalut kain.
Arjuna menciumi pundak kanan ibunya lalu turun ke bagian atas dada ibunya yang menjendol karena tertutup kain.
“Arjuna, “ bisik ibunya,

”ibu kok rasanya aneh ya. Kamu itu ciumin ibu kayak gini kok kita jadi kayak sepasang kekasih?”
Arjuna menegakkan kepalanya. Katanya,

“Bu. Kita ini lebih dekat lagi hubungannya dibanding sepasang kekasih. Kita kan ibu dan anak. Maka, kalau kekasih itu kayak begini, kenapa ibu sama anak ga boleh dekat kayak begini juga? Kekasih itu saling menyayangi, kan?”
“Iya sih…. Tapi kan beda…..”
“Ibu sayang Arjuna, ga?”
“Ya sayang lah.”
“Arjuna sayang sama ibu. Nah kalau kita sama-sama sayang, bukankah saling mengasihi?”
Dewi terdiam. Hal seperti ini agak berat dipikirkan dalam otak perempuan desa.
Arjuna berkata lagi,
“Kekasih kan berarti orang yang mengasihi. Artinya kalau ibu mengasihi Arjuna dan Arjuna juga mengasihi ibu, artinya kan kita kekasih ya?”
Akhirnya Dewi berkata,

“Aduh, ga tahu deh. Iya kali. Ibu jadi pusing.”
“Nah, ibu sendiri ngaku. Sekarang kita berdua adalah kekasih. Ibu kekasih Arjuna. Iya kan?”
“Iya deh,” kata Dewi.
Arjuna beringsut menindih seluruh tubuh ibunya.
Dewi menghela nafas karena tubuhnya ditindih anaknya lalu bertanya,

“kamu mau ngapain?”
“Cium bibir kekasih…”
Arjuna mencium bibir ibunya sambil tangannya diselusupkan di bawah tubuh ibunya sehingga memeluknya. Dewi secara instingtif memeluk Arjuna dan mendekap kepala anaknya itu.
Arjuna mulai mengecup-ngecup bibir ibunya dan Dewi pun membalas, karena Dewi tahu kalau ia tidak mengecup balik maka Arjuna akan protes. Kecupan bibir mereka mula-mula perlahan, namun makin lama semakin mesra. Tekanan bibir mereka makin keras dan lama. Situasi memanas karena ciuman mereka semakin hot dan berani. Tak lama terdengar suara kecupan kecil susul menyusul ketika bibir mereka saling diadu. Suara kecupan itu makin lama makin keras dan basah.
Arjuna mulai menjilati mulut ibunya sementara ibunya mengecap-ngecap bibir dan lidah Arjuna.
“Balas jilat dong bu…..”
Dewi menjulurkan lidahnya dengan canggung yang disambut dengan sedotan bibir anaknya. Lidah Dewi menyapu-nyapu perlahan dan malu-malu, sementara Arjuna dengan nafsu balas menjilat dan sesekali menyedot lidah ibunya. Lama-kelamaan birahi Dewi bertambah tinggi sehingga kini jilatan dan kecupan bibirnya tak kalah serunya dengan anaknya. Tiba-tiba, karena tidak tahan lagi, berhubung sudah lama tidak dinafkahi secara batin oleh suaminya, Dewi membalikkan badannya sambil memeluk erat anaknya sehingga kini Dewi yang menindih anaknya. Di dorongkan tangannya sehingga pelukan mereka berdua lepas, setengah duduk Dewi memposisikan selangkangannya sehingga kini menekan bagian bawah tubuh anaknya. Sarung anaknya telah tertarik hingga kontolnya mencuat, namun karena diduduki, maka kini posisinya terhimpit. Memek Dewi yang terbungkus celana dalam kini menekan bagian bawah batang kontol Arjuna.
Ketika dirasakannya posisinya telah tepat, Dewi segera merebahkan diri lagi lalu dengan buas mencaplok mulut anaknya yang tampak sedikit terkejut karena tindakannya. Arjuna serasa di surga ke tujuh. Ia sempat kaget badannya diputar sehingga sekarang ia yang telentang. Namun ketika ia baru hendak bertindak, dirasakan kontolnya menempel ke sesuatu yang halus namun basah. Rupanya celana dalam ibunya yang basah oleh cairan kewanitaan. Tiba-tiba pula ibunya menciuminya lagi.
Dewi harus sedikit melengkungkan tubuhnya karena Arjuna belum mencapai tinggi badan yang ideal dalam posisi ini. Namun pikiran Dewi tidak terlalu memperhatikan hal ini. Nafsu birahi perempuan ini sudah menguasai jalan pikirannya. Sambil menggoyangkan dan menekan pantatnya, ia merasakan sensasi klitorisnya digeseki sepanjang batang kontol anaknya yang lumayan besar. Mungkin hampir sebesar burung suaminya. Dewi menjadi liar bagai binatang buas. Ia mengentoti kontol anaknya walaupun dibatasi celana dalam sambil menyerang bibir dan lidah anaknya dengan bibir dan lidahnya sendiri. Birahi yang besar tidak memikirkan apa-apa lagi selain seks, sehingga ludahnya yang mulai menetes dan kadang teruntai dari mulutnya ke mulut anaknya tidak lagi diindahkan. Segala sopan-santun dan norma dilupakan.
Arjunapun menjadi senang. Dilahapnya ludah ibunya dengan rakus bagaikan minum air surgawi. Ia mengimbangi gerakan selangkangan ibunya dengan goyangan pantatnya sendiri. Sementara keringat mereka berdua kini telah membasahi sekujur tubuh mereka.
Tiba-tiba ibunya melenguh keras lalu menekan selangkangannya dalam-dalam. Arjuna merasakan celana dalam ibunya kini sudah lepek sekali dan hangat terasa di kontolnya. Ia tiba-tiba merasa lututnya lemas dan tiba-tiba pula ia ejakulasi. Spermanya menghambur ke segala arah membasahi perutnya, kain ibunya di bagian perut dan juga celana dalam ibunya.
Akhirnya ibunya tak bergerak namun masih menindih tubuh Arjuna. Bibir mereka bersatu kelelahan. Tak lama ibunya membaringkan dirinya di sebelah Arjuna lagi.
“Maafkan ibu, Jun. ibu sudah lama tidak merasa begini…..”
Arjuna memotong, “ Arjuna sayang ibu. Apapun yang ibu mau, akan Arjuna lakukan. Ibu senang?”
Dewi hanya mengangguk. Mereka diam beberapa saat.
“Tapi ini salah, Jun.”
“ga ada yang salah. Ibu adalah kekasih Jun. itu ibu sendiri yang mengakui. Kalau ibu senang dengan begini, maka Arjuna ga akan menolak. Yang penting ibu senang….”
“Tapi…..”
“Ga ada tapi-tapi…… ibu kekasih Jun, kan?”
Dewi mengangguk.
“Ga ada yang perlu dibicarakan lagi. Ga ada yang perlu dimaafkan.”
“Ibu jadi pusing. Ibu tidur dulu…….”
Dewi membalikkan badannya hingga membelakangi Jun tanpa berusaha membersihkan bajunya maupun tempat tidur dari peju anaknya. Arjuna memegang pundaknya. Katanya,
“Bu….”
Arjuna takut sekarang ibunya menjadi tak ingin lagi bersama dirinya. Katanya,
“Ibu marah sama Jun?”
Tapi Dewi tidak menyahut. Gawat, pikir Arjuna. Ia merangkul ibunya dari belakang. Dipanggilnya ibunya lagi. Tapi tetap tak ada jawaban. Harus ditest, pikir Arjuna. Maka ia mencium punggung ibunya. Tak ada jawaban. Dicupangnya leher ibunya. Ibunya menggeliat dan mendesah tapi tidak ada jawaban. Kalau ibu marah dan tak mau lagi, tentu Arjuna akan dibentak, tapi ibunya diam. Dengan penuh perasaan lega Arjuna memejamkan matanya dan ia segera tertidur.
Paginya Arjuna dibangukan ibunya yang telah memakai kain yang lain. Ibunya bergegas pergi namun Arjuna mengejarnya sampai di dapur dan ibunya sedang merapihkan lemari piring yang seharusnya tidak perlu dirapikan.
“Ibu marah?”
Dewi hanya menggeleng. Arjuna memeluk ibunya dari belakang. Tidak ada tanggapan. Arjuna mengenyoti pundak ibunya di bagian belikat sampai tempat itu bertanda ungu. Tak ada tanggapan. Arjuna menarik tangan ibunya dengan hati yang kesal. Ibunya tidak berkata apa-apa pula bahkan ibunya tampak berusaha tidak memandang mata Arjuna. Arjuna membawa ibunya ke kamar. Arjuna mendorong tubuh ibunya ke atas tempat tidur. Ibunya duduk di pinggir tempat tidur sambil menunduk. Arjuna duduk di tengah tempat tidur di sebelah ibunya, lalu memeluk ibunya dari belakang lalu menarik tubuh ibunya untuk berbaring di tempat tidur sejajar dengan dirinya. Ibunya beringsut berbaring di ranjang dengan menaruh kedua kakinya ditempat tidur dan kini mereka berbaring berhadapan.
Ibunya hanya diam saja bahkan kini matanya terpejam. Arjuna menciumi muka ibunya dengan sedikit kasar lalu diciumnya bibir ibunya. Tak disangka kali ini ibunya balas mencium bibirnya. Mereka akhirnya berpelukan menyamping dengan dada saling berhimpitan. Setelah puas berciuman dan bertukaran ludah Arjuna mulai menjilati leher ibunya yang kini telah berkeringat. Ibunya menggelinjang sambil mendesah. Desahan ibunya berbeda dengan tadi malam. Tadi malam mereka berusaha meredam suara karena ada ayah di kamar yang satu, kini mereka hanya berdua saja. Kini desahan ibu dapat terdengar dengan jelas.
Arjuna mengenyoti leher ibunya. Ibunya mengerang-ngerang dan tiba-tiba saja berkata,
“Aaahhhhhh……… udah Jun…… geli leher ibu….. lidah kamu nakal……… ibu geli……”
Arjuna merasakan sebelah kaki ibunya yang bebas kini melingkari pahanya. Dari balik sarungnya, Arjuna merasakan ibunya mulai menekan-nekan burungnya dengan selangkangan ibunya. Arjuna segera menarik sarungnya keras-keras sehingga kontolnya bebas. Arjuna kini merasakan celana dalam ibunya yang kering menekan batang kontolnya. Tibalah ide brilian yang lain.
“Aduh bu.. celana dalam ibu masih kering, titit Arjuna sakit. Buka aja deh celana dalam ibu…”
“Jangan, Jun. begini aja,” kata ibunya di antara desah dan erangannya.
“Please bu…. Sakit nih…….”
Dewi yang sedang birahi, karena rupanya dari bangun pagi terbayang orgasme semalam yang sudah lama tak dirasakannya lagi, tetap menggeseki burung anaknya sambil memeluk erat anaknya, seakan tak mendengar suara anaknya.
“Ibu jahat.. ga sayang Arjuna! Gimana kalau luka?”
Mendengar kata-kata Arjuna yang sedikit tinggi, Dewi menjadi berfikir. Kasihan juga anaknya kalu burungnya luka. Walaupun berpikir, Dewi terus menggeseki burung anaknya itu. Akhirnya, dengan gerakan cepat dewi mengangkat kainnya, melepaskan celana dalamnya, lalu menindih anaknya. Untuk posisi ini Dewi pertama-tama berlutut di samping tubuh anaknya, lalu menduduki kontol anaknya lalu menindih lagi anaknya.
Arjuna menjadi sangat girang. Dirasakan batang kontolnya ditekan oleh sesuatu yang hangat dan sedikit lembab. Kedua tangan Arjuna meraih pantat ibunya. Senangnya ketika ia merasakan pantat ibunya yang telanjang dikarenakan kain ibunya telah ditarik sampai ke pinggang.
Arjuna menggoyangkan pantatnya juga. Kini mereka berdua saling menggesekkan alat vital-masing-masing. Mulut Arjuna pun sudah mulai bergerilya lagi.
Bila kemarin malam Arjuna merasa di surga dunia, kini Arjuna merasa bagaikan di surga ke tujuh. Kontolnya dapat merasakan bibir memek ibunya membungkus batang kontolnya. Dan dinding di balik bibir vagina itu begitu hangat dan licin juga basah. Di remasnya pantat telanjang ibunya dengan kedua tangannya sementara mulutnya asyik menyedot-nyedot dan mencupangi leher ibunya.
“Aaah… ahhh.. Peluk ibu Jun.. goyang Jun.. goyang yang keraas…”
Dengan kedua tangannya, Dewi memegang wajah anaknya lalu mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Arjuna merasakan lidah ibunya yang basah menerobos mulutnya, tak mau kalah Arjuna membalas dengan lidahnya. Lidah mereka kini berperang di dalam dan luar bibir mereka, sementara bibir ibunya bagian selangkangan sedang membungkus kontol Arjuna, kedua organ intim mereka juga sedang bertempur untuk mencapai puncaknya.
Arjuna kini menggerakkan tangannya ke atas. Di pegangnya kain ibunya pada bagian atas, lalu dibetotnya kebawah keras-keras sehingga kain ibunya kini berjumbel di pinggang. Ibunya kini telanjang. Kedua tangan Arjuna disisipkan di antara tubuh mereka, lalu mulai meremasi payudara ibunya. Ibunya melenguh keras lalu melepas ciuman.
“iyaa.. aaahhh.. Remas tetek ibu, naaaakk……..”
Ibunya kini duduk di atas kontol Arjuna dengan kedua tangan memegang tangan Arjuna yang sedang meremasi payudaranya.
Arjuna melepaskan tangan kirinya dari payudara ibunya. Kini dapat dilihatnya tetek ibunya yang sebesar parutan buah kelapa namun berbentuk tetesan air itu secara dekat. Kulit toket ibunya basah oleh keringat sehingga tampak mengkilat. Pentil ibunya sudah membesar sementara bagian dasar pentil itu sudah mengecil, sehingga tampak bagai ujung belakang pulpen yang tegak menantang. Arjuna tak tunggu waktu lama mengenyot puting kanan ibunya itu.
“Iyaaaaahhh.. isep tetek ibu, Jun..”
Arjuna merasakan tetek ibunya agak asin dan ada juga bau tubuh ibunya yang terbawa di sana. Sungguh sangat lezat. Hisapan Arjuna membuat ibunya semakin kencang menggoyangkan pantatnya dan kini selangkangan mereka berdua telah basah kuyup oleh cairan kewanitaan Dewi dicampur dengan keringat ibu anak itu. Bau tubuh ibunya memenuhi ruangan.
Keringat mereka bercampur lagi. Toket kanan ibunya telah basah oleh campuran keringat mereka berdua, juga ludah Arjuna. Setelah lama-kelamaan toket ibunya itu sudah bau mulut Arjuna, maka Arjuna ganti melahap payudara kiri ibunya. Dikenyot dan dijilatnya buah dada ranum ibunya itu dengan rakus bagaikan orang kelaparan yang baru ketemu makanan.
Goyangan pantat Dewi semakin lama semakin hebat. Selangkangannya dan anaknya sudah licin dan basah karena cairan kewanitaannya. Arjuna pun mengimbangi goyangan ibunya dengan menekan-nekan batang kontolnya sepanjang kemaluan ibunya yang sangat hangat. Bahkan Arjuna merasakan memek ibunya mengeluarkan cairan kental, licin dan sedikit panas yang menambah hot suasana, terutama di selangkangan mereka berdua.
Akhirnya ibunya menekan kontol Arjuna dengan keras sambil berteriak kecil,
“Ibu sampeeeeeee…..”
Bersamaan dengan itu, Arjuna merasakan lubang ibunya bagaikan memancarkan air panas yang membuat dirinya juga tak dapat menahan diri. Sambil menyedot puting susu ibunya keras-keras, Arjuna memeluk erat tubuh telanjang ibunya sambil menekan pantatnya ke atas sehingga batang kontolnya dan memek ibunya beradu dengan kuat seakan sedang adu kekuatan untuk saling menjatuhkan.
Kontol Arjuna berkedut-kedut keras menumpahkan sperma yang menciprati selangkangannya dan selangkangan ibunya. Selama beberapa saat mereka menikmati orgasme yang mereka rasakan. Lalu kemudian Dewi merebahkan diri di samping kiri Arjuna kelelahan. Telapak tangan kanannya ditaruh di dahi. Ia memejamkan mata dan beristirahat setelah orgasme yang bahkan lebih hebat dari semalam.
Lima menit kemudian Dewi merasakan seseorang menarik kainnya yang melingkari pinggangnya. Dilihatnya Arjuna yang sekarang telanjang tanpa sarung memegang kain itu. Arjuna perlahan menggunakan kain itu untuk mengeringkan peju di selangkangan Dewi lalu kemudian Arjuna membersihkan selangkangannya sendiri.
Dewi yang masih mabuk kenikmatan memejamkan matanya lagi. Dalam ketelanjangannya, ia seakan tidak berdaya melakukan apa-apa lagi.


Bersambung ke Bagian 05