NGENTOT IBUKU YANG JANDA
Kisah ini terjadi sejak lima tahun lalu, saat aku berusia 14 tahun dan ibuku berusia 34 tahun. Aku sendiri tidak mengenal siapa ibuku. Tapi kami hanya berdua. Kami juga tinggal di pondok kecil dekat persawahan kami yang kata ibu ladang dan sawah itu diberikan oleh keluarga ibuku. Saat aku mengajak ibuku ke rumah orangtuanya, nenek dan kakekku, ibuku selalu menolak.
Bahkan ibu sering menangis kalau aku bertanya soal ayahku dan orangtua ibuku, atau orangtua ayahku. Setelah aku SMA
baru aku mengetahui, kalau ibuku, hamil karena kecelakaan. Tak seorang yang mau
mengakui kehamilan ibuku, oleh siapapun. Akhirnya ibuku, dipaksa tinggal di
perladangan dan sawah milik orangtuanya, karena orangtuanya merasa malu, ibuku
hamil tanpa suami.
Aku mengetahui ini, dari seseorang yang mau bercerita tentang siapa aku
sebenarnya, setelah berjanji aku tidak bercerita kepada siapapun. Akhirnya aku
sangat menyayangi ibuku, karean ibulah satu-satunya milikku.
"Sudahlah, Mak. Aku adalah milik Emak dan Emak adalah milikku. Kita hanya
berdua saja," kataku pada suatu petang. Ibuku pun diam. Sepertinya dia
sudah mulai curiga, aku mengetahui sejarah kehidupan kami. Ibuku menatapku
lembut.
"Yah... hanya kita berdua. Pasti kamu sudah tau cerita dari orang
lain," katanya. Aku mengangguk. Ibu pun tak bertanya dari siapa aku
mengetahuinya dan ibu juga tidakbercerita tentang apa sebenarnya.
Hanya dengan dililit kain batik sebatas dada, ibuku pun memeluk diriku dengan
kasih sayang.
"Rajin-rajinlah belajar," katanya. Aku mengangguk. Dalam pelukannya,
aku mencium aroma sabun wangi melintas ke rongga hidungku. Aku balas memeluk
ibuku dan kepalaku direbahkan ke dadanya, sembari kepalaku dielus-elus dan
sesekali ibu mencium pipiku.
"Hanya kita saling memiliki," katanya lembut. Tanpa sengaja kain
batik yang hanya disedikit dimasukkan ke lipatan lain, terlepas. Buah dada ibu
menempel di bibirku. Terasa lembut sekali pentil buah dada ibuku. Perlahan aku
menjilat dan mengisap pentil tetek ibu.
"Kamu menetek?" sapa ibu.
"Iya, Mak. Bolehkan?" Ibuku pun tersenyum dan mengangguk.
"Nanti lagi neteknya, masukkan dulu bebek ke kandangnya. Setelah itu kita
boleh malam malam."
"Setelah makan malam aku boleh menetekkan, Mak?" kataku ingin
menetek. Aku merasa begitu nikmat tadi. Ibu tersenyum dan mengangguk.
Bebek dan ayah serta empat ekor kambing aku masukkan ke dalam kandang,
sementara ibu menyiapkan makan malam kami. Ingin rasanya ayam dan bebek serta
kambing itu cepat memasuki kandang agar aku cepat bersama ibu. Masih terbayang,
aku menetek pada ibu tadi. Akhirnya semuanya sudah masuk kandang dan aku
berlari kecil menaiki tangga gubuk kami yang terbuat dari bambu bulat. Lampu
sentir sudah menyala dan makanan sudah siap. Kami pun makan dengan lahapnya.
Sepulang sekolah tadi, aku sudah membantu ibu menanami padi. AKu juga sudah
menyelesaikan 15 buah PR yang besok di sekolah akan diperiksa oleh guru.
Usai makan, aku menagih janji ibu, akan mengizinkan aku menetek. Ibu tersenyum,
sembari mengangkati piring kotor ke petmpatnya untuk besok pagi, kami
menyucinya.
Pukul 19.00 sudah gelap. Hanya ada lampu sentir di depan gubuk kami dan kami
memang ada 200 meter dari tepian kampung. AKu pun sedih setelah mendengar
cerita, sejak usia 40 hari, aku dan ibuku sudah tinggal digubuk itu, karena
ibuku tidak diizinkan tingal di kampung bersama orang kampung.
Seperti biasa, ibu cepat masuk kelambu untuk tidur karena lelah dan besok pagi
biasanya akan bertanak nasi serta memerah susu kambing untuk minuman pagi
setiap pagi, masing-masing satu gelas. Aku pun memasuki kelambu mengikuti ibu,
setelah mengecilkan lampu sentir, agar hemat minyak tanah.
AKu mendekati ibu. Ibu sudah melepaskan jepitan kain batiknya dan dua buah
teteknya menyembul keluar. Ibu menyodorkan kepadaku sebelah buah dadanya dan
aku mulai mengisapnya. Aku terkejut saat ibu mendesis-desis.
"Kenapa, Mak? Apa sakit?" tanyaku. Aku melihat senyum ibu di
keremangan malam itu.
"Tidak, Nak. Teruskan saja," bisiknya. Dia sodorkan kembali pentil
teteknya ke mulutku. Aku mulai mengisapnya dan ibu mengelus-elus kepalaku.
Kembali ibu mendesis-desis dan memelukku. Dicabutnya pentil teteknya dan ibu
mengganti dengan pentil yang lain. Aku terus mengisapinya. Sebelah tangankui
dibimbingnya untuk mengelus elus teteknya yang barui saja kuhisap. Aku
melakukannya. Bulan hanya mengelus, bahkan meremas-remasnya.
"Teruskan, Nak<" bisik ibu mendesis. Desisnya membuat aku ragu,
ta[pi kata teruskan, itu membuat aku makin semangat. Aku terus mengisap tetek
ibu dan meremasnya. Saat itu ibu meraba burungku. Diselipkannya tangannya
memasuki celanaku. Burungku memang sudah mengeras sejak tadi.
Perlahan ibu menurunkan celanaku yang berkaret, sampai aku telanjang bulat. AKu
memang biasa tidur tidak makai baju, agar hemat. Bila aku sudah tertidur,
biasanya ibu akan menyelimutiku dengan kain panjang atau sarung.
Ibu pun melepaskan kain batik yang menutupi tubuhnya. Aku merasakan ibu juga
sudah telanjang bulat. Ibu memelukku dan kami berpelukan. Dalam pelukan itu,
ibu membalikkan tubuhnya dari tidur ibu menyamping jadi terlentang dan aku sudah
berada di atasnya. Aku merasakan bulu-bulu kemaluan ibu menggesek-gesek di
bawah perutku. Kedua tangan ibu mengelus-elus pantatku. Lalu sebelah tangannya
memegang kepalaku dan merapatkan mulutku ke mulutnya. Bibir ibu menjilati
bibirku dan mengisapnya.
"Burungnya dimasuki ke tempat Emak," katanya. Aku tau tahu masukan
kemana. Aku hanya menggesek-gesekkan burungku ke rambut kemaluan ibu. Ibu
mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar dan menangkap burungku lalu
dicelupkannya ke dalam lubang. Terasa hangat dan aku merasa nikmat. Ibu pum
memeluk pinggangku dengan kedua kakinya dan menolak-nolak pantatku dengan tumit
kakinya. Burungku terasa keluar masuk pada lubang itu. Aku merasa enak.
Kemudian aku yang memaju mundurkan burungku di dalam lubang itu
Ibu mendesis-desis dan terus mengisap-isap bibirku. Dimintanya aku mengeluarkan
lidahku. Lisahku diisap-isapnya dengan lembut. Kemudian diulurkannya lidahnya,
aku pun memperlakukan lidahnya seperti ibu memperlakukan lidahku tadi. Kami
terus berpelukan, sampai akhirnya aku menekan kuat tubuhku memasukkan
sedalam-dalamnya burungku ke dalam lubang itu dan ibu pun mendesis, memelukku
sekuat-kuatnya. Aku merasakan ada desir cairan kental melumuri burungku.
"Mak.. aku aku mau kencing," bisikku, sembari terus menekan burungku
sedalam-dalamnya.
"Kencing saja, Nak," bisik ibu tersendah. Dan aku pun pipis di lubang
ibu. Kali ini, air kencingku tidak seperti kencing biasa. Tapi kencingku nikmat
sekali, seperti beberapa hari lalu, aku kencing enak dan terasa demikian kental
pada celanaku. Saat aku menceritakan kencing kental itu pada ibuku, dia
tersenyum saja.
Kami pun berpelukan, sampai kami terbangun baginya. Aku ikut bangun dan membawa
piring kotor ke pancuran kecil di samping rumah dan menyucinya, sementara ibu
melepas ayam dan bebek, serta memerah susu kambing dua gelas untuk dimasak dan
akan kami minum bersama, setiap pagi.
Saat aku mau pergi ke sekolah, ibu memanggilku.
"Kamu tidak boleh bercerita apapun soal tadi malam ya,' kata ibuku lembut
dan tersenyum. Aku mengangguk.
"Berjanji?" ibu menegaskan lagi.
"Berjanji,: kataku. AKu pun pergi ke sekolah, sembari membawa 30 butir
telur bebek dan 10 butir telur ayam. Nanti sepulah sekolah uangnya aku setor
semua pada ibuku.
Cepat kuserahkan uang penjualan telur kepada ibu, sepulangku dari sekolah.
Ibutersenyum menerimanya. Pekan depan, aku akan membelikan baju baru untuk
sekolahmu dan sepatu, kata ibu. Aku senang sekali. Aku pun kembali mencari
bekicot untuk bebek, lalu memberi makan ayam dan merumput untuk kambing. Pukul
13, kami makan siang. Seusai makan siang ibu menumbuk jejamuan. Ketika kutanya
untuk apa, ibu bilang, agar dia tidak hamil.
"Kenapa hamil, Mak?"
"Karena tadi malam," kata ibu.
"Kan Emak tidak punya suami?"
"Ya tidak. Tapi tadi malam kita kan sudah seperti suami isteri?"
jawab Emak. AKu mengerti akhirnya. Ternyata apa yang dikatakan temen-temanku,
ngentot itu, adalah apa yang kami lakukan tadi malam. Aku diam saja, kemudian
aku turun ke sawah meneruskan menanam padi, beerjejer lurus. Emak tersenyum.,
melihat aku semakin rajin. Setelah selesai membuat jamu, ibu datang
mendampingiku, sembari kami menanam padi. Kami terbungkuk-bunguk berhampiran.
"So, apa tadi malam kamu merasa enak, Nak?" tanya ibu perlahan, takut
di dengar orang di seberang sawah.
"Enak sungguh, Mak. Easanya Wonsgo ingin lagi," kataku berbisik pula.
Ibu tersenyum.
"Anak Enak, ternyata sudah dewasa. Sudah pintar dan harus rajin belajar
dan rajin bekerja, supaya terus bisa seperti tadi malam," kata ibu. Aku
tersenyum membalas senyum ibu. Setelah selesai satu petak, aku minta izin untuk
mengerjakan PR-ku. Ibu tersenyum mengikutiku dan membuatkan aku teh manis panas
dan segelas untuk ibu. IBu selalu saja istirahat bekerja, bila aku
menyelesaikan PR ku. Ibu juga selalu mengajariku bila aku kurang paham.
"Kamu harus sekolah yang tinggi. Biar nanti hidupmu senang, aku boleh
numpang sama kamu," kata ibu selalu saja aku belajar. Aku berjanji akan
menyenangkan hati ibu kelak.
Ibu kembali lagi menanam pagi dan aku mengarit rumput untuk empat ekor kambing,
tiga betina dan satu jantan. Dua betina sedang memiliki masing-masing tiga ekor
anak dan susjnya sangat lancar. Aku selalu memberinya rumput segar, agar
susunya banyak dan kami bisa minum susu setiap pagi.
Akhirnya tringgal setengah petak lagi sawah kami belum tertanami. Kami yakin
besok kami akan bisa menyelesaikannya.
Sore itu kami istirahat. Kami pun bercerita. Aku sudah kelas dua SMP dan aku
memohon agar ibu mau bercerita tentang diriku dan dirinya. Setelah lama terdiam
ibu menghapus airmatanya. Kata ibu, dia pernah berpacaran dengan seseorang dari
kampung yang 200 meter dari gubuk kami. Dia tak mau menyebutkan namanya. Ibu
pun hamil. Tapi keluarga bapakku tak mau mengakui, ibu hamil karena dia. Ibu
pun tidak menuntut. Lalu keluarga ibu mengusir ibu karena menanggung aib. Ibu
dibuatkan gubuk dan tinggal sendirian di ladang/sawah seluar satu hektar
sendirian. Sepanjang malam ibu terus menerus menangis sembari menguatkan
hatinya. Sampai menjelang kelahiranku, keluarga ibu membawaku ke rumah seorang
bidang kampung dan aku pun lahir. Setelah 40 hari usiaku, ibu kembali ke gubuk
bersamaku.
Aku meneteskan airmata mendengar cerita ibu. Ibu pun memelukku sembari mencium
pipiku. Akhirnya aku tahu, rumah kakek dan nenekku, dekat dengan sekolahku.
Nenek membuka warung tak jauh dari sekolahku. Di sanalah aku selalu menjualkan
telur-telur bebek dan ayamku. Hampir setiap hari nenek melebihkan uang telur.
Lain uang telur, nenek menyelipkan uang ke sakuku dan aku terus menabungnya.
Itu kulaporkan pada ibu dan ibu mengatakan, agar aku tetap sopan kepada nenek
pembeli telur kami, agar nenek tetap memberiku uang.
Aku pun selalu sopan pada nenek dan nenek sangat senang padaku atas sopan
santunku. Anak-anak nenek yang laki-laki selalu membeliaku bila ada teman
sekolahku menggangguku. Aku tidak tahu, kalau mereka dalah paman-pamanku.
"Kamu terus seakan-akan tidak mengetahui kalau aku sudah menceritakan
semua ini padamu, Nak," kata ibu.
"Kenap Mak. Bukankah mereka kanen, nenek dan pamanku?"
"Bila kamu sayang pada ibu, ibukti kata-kata ibu. Kalau tidak, ibu akan
lari meninggalkanmu," kata ibu sedikit berang. Aku pun mengangguk. Aku
kembali di peluk ibu. Saat kepalaku direbahkannya di dadanya, aku langsung
meremas tetek ibu dari balik kain batiknya yang ditutupi kebaya pendek. Ibu jarang
memakai BH. Ibu pun mendesis-desis.
"Setelah ibu ada di dalam gubuk kamu masuk dan segera kunci pintu,"
kata ibu melompat ke dalam gubuk kami. Aku mengikuti ibu yang sudah berada di
atas kasur meremas-remas teteknya sendiri dan melapas kain batiknya dan kancing
kebayanga, walau kebaya itu masih melekat di tubuhnya. Aku cepat memeluk ibu
dan mengisapi teteknya, sementara sebelah t anganku meremas tetek yang lainnya.
Ibu mengarahkan tanganku sebelah lagi untuk meraba-raba memeknya. Sampai memek
ibu menjadi basah dan mengeluarkan aroma aneh.
"Ayo, Nak. Naiki ibu. Masukkan yang dalam," kata ibu. Aku menaiki
tubuh ibu, setelah melepas celanaku. Cepat pula ibu mengarahkan burungku ke
lubang memeknya. Ibu melebarkan kedua kakinya dan memelukku, sembari mulut kami
berpagutan. Aku mencucuk tarik burungku dalam memek ibuku. Nampaknya ibutak
sabar.
Dia membalikkan tubuh kami. Kini ibu sudah berada di atas tubuhku. Ibu duduk di
atas tubuhku, lalu pantatnya dia putar-putar ke kanan dan kekiri. Burungku
terasa dielus-elus di dalam lubang ibuku. Sampai akhirnya, ibu berhenti memutar
pantatnya, kemudian memelukku dan kembali membuat aku berada di atas tubuh ibu.
Aku memompa tubuh ibu. Ibu tidak lagi menggoyang-goyang tubuhnya, selain
mengusapusap pungungku dengan kedua telapak tangannya, dengan lembut.
Akhrinay aku pipis lagi du lubang ibuku. Aku memeluknya dan ibu memelukku. Di
turunkannya aku dari tubuhnya dan dia berdiri, sembari melilitkasn kembali kain
batik panjang di tubuhnya.
"Nanti kamu baru turun, setelah ibu kembali ke dalam sawah," katanya.
Aku mengangguk, sembari memakai celanaku. AKu tahu ibu ke pancuran kecil
samping rumah untuk cebok, kemudian dia kembali menanam padi ke dalam sawah.
Aku pun turun dari gubuk kami. Ikut menolong ibu bertanam padi.
"Nanti malam lagi, ya Mak?" kataku perlahan. Ibu merilikku.
"Kok gak puas-puasnya?" bisk ibu pula dengan tersenyum. Dia terus
menenam padi dan aku membantunya. Ketika sore dan mata hari sudah benar-benar
redup, ibuku naik dan pergi mandi ke pancuran, lalu bertanak tasi dan lauk
seadanya. Dua buah telur bebek akan jadi lauk kami malam ini selain sayuran
segar. AKu mulai memasukkan rumput ke kandang kambing dan menuntun satu persatu
kambing dari tempatnya bertambat.
Pintu kandang ayam dan bebek kubuka lebar, kemudian aku merazia telur bebek di
tempatnya bermain. Ada beberapa butir yang aku temukan dan aku masukkan ke
dalam keranjang untuk disatukan dengan telur yang dapat besok pagi untuk kujual
ke tempat nenekku.
Bebask, ayam, kambing sudah masuk ke kandang, dan aku pergi mandi.
"Malamnya lama sekali," kataku. Ibu ku tersenyum mengerti apa yang
kumau.
Seusai mandi, ibuku mengatakan, hal seperti itu tidak boleh terlalu sering
dilakukan. Cuukup hanya dua kali seminggu, biar sehat.
"Jadi malam ini tidak bisa, Mak?" tanyaku kecewwa. Ibu tau aku
kecewa. :Lalu kata ibu, Malam ini boleh, tapi setelah itu tiga hari kemudian
baru boleh. Pokoknya tiga hari sekali baru boleh. Bila aku berjanji, ibuku akan
memberinya, bila tidak, aku tidak bolegh lagi tidur bersama ibuku. Dari pada
tidak, aku terpaksa mengikutinya.
Makan malam sudah selesai. Semua pirik kotor sudah disingkirkan. Lampu sentir
sudah dikecilkan. IBuku masuk ke dalam kelambu dan aku mengikutinya.
Ibuku tidak setuju, kalau aku kos. Lagi pula, jarak buguk kami dengan SMU tempat
sekolahku hanya 11 Km. Akhirnya, aku setuju, dibelikan sepeda. Lagi pula aku
kasihan melihat ibu, akan sendirian di gubuk. JIka ada apa-apa, tentu tidak ada
yang menolong ibuku.
Dengan pohon bambu yang rimbun tumbuh di tepian sungai, aku memperbesar kandang
kambingku dan akhirnya aku mampu membeli seekor lembu betina. Bebek bertambah
demikian juga ayam. Aku harus kerja keras, agar aku bisa sekolah tinggi. Bisa
jadi sarjana, seperti cita-cita ibuku. Aku akan membawa pindah ibuku, kalau aku
sudah mendapatkan pekerjaan. Aku juga melarang ibuku untuk tidak terlalu keras
bekerja. Ibuku harus tetap sehat dan cantik, agar dia bisa menyaksikan aku
nanti jadi sarjana. Ibuku tersenyum.
"Ya, aku akan tetapcantik," katanya tersenyum. Ibuku memang pendiam.
Dia tidak pernah ke pekan. Dia hidupnya hanya di ladang dan sawah. AKu yang
selalu belanja membeli beras dan keperluan lainnya, setelah aku mencatat apa
yang kami butuhkan untuk dibeli.
Sepedaku memang sepeda bekas. Tapi aku yakin sepeda itu kuat. Setiap pagi aku
naik sepeda ke sekolah. Seusai subuh, aku makan kenanyang, lalu mengayuh
sepedaku dengan membawa telur. Terkadang aku membawa genjer, pesanan nenek
pemilik warung, untuk dijualkan di warungnya. Sedikit cabai atau apa saja, jika
aku berikan, nenek pasti menerimanya dan menjualkannya, lalu diberikan uangnya
padaku. Terkadang nenek pemilik warung itu, tidak menerima pembagian hasil.
Aku sadar, kalau dia adalah nenek kandungku. Aku pun menyadari, kalau dia
menyayangiku dan merindukan untuk memelukku atau apalah namanya. Aku pura-pura
saja tidak mengetahui siapa dia sebenarnya. Ketika itu kuceritakan pada ibuku,
ibuku tersenyum pahit. Ibu tahu, kalau aku sudah mengetahui segalanya.
Nampaknya ada kepuasan pada ibuku, karean keluarganya mulai menyayangiku, tapi
aku pura-pura tidak tahu. Aku dan ibuku tahu, kalau kakek dan nenek mulai
menyadari kesalahan mereka.
Sepulang sekolah, cepat aku makan dan berganti pakaian. Aku membantu ibu panen
padi dan mengakatinya ke lumbung padi yang mungil. Butir-butir padi yang
berjatuhan, mulai dimakani oleh bebek dan ayam. Aku tersenyum saja.
Aku bercerita, kalau tadi siang orang di kedai nenek bercerita mengatakan aku
mirip dengan Parjo.
"Wajah si Wongso ini mirip sekali dengan Parjo. Sedikit pun tidak
membuang," kata mereka. Dan nenek mendelik pada orang yang mengucapkan
itu. Aku bertanya pada ibu, siapa Parjo itu. Dengan linangan airmata, ibu pun
bercerita siapa Parjo dan dimana rumahnya dan apapekerjaannya.
Aku terkesima, kalau Parho itu adalah ayahku yang menghamili ibuku sekian belas
tahun lalu dan tidak mengakuinya. Aku geram. Ibu melarangku marah. Aku harus
membuktikan aku bisa jadi sarjana dan lebih baik dari anak-anak Parjo kelak.
Jangan dendam. Kalau ditegur, jawab saja dengan lembut dan santun. Jawaban
lembut dan santun, akan membuatnya semakin hancur. Kita harus balaskan dendam
kita dengan keberhasilan kita, kata ibu padaku. Aku mengikuti saran ibu.
"Ini hari apa bu," tanyaku. Ibu tersenyum.
"Ibu ingat, malam ini jatahmu, Nak. Ibu juga sudah kepingin sekali, tapi
janji kita dua kali seminggu, harus kita pegang," kata ibu sembari memarut
ramuan jamunya. Dan sudah hampir dua tahun aku menyetubuhi ibuku, ibuku memang
tidak hamil. Malamnya kami melakukan persetubuhan yang luar biasa. Kami
sama-sama merindu dan sama-sama membutuhkannya. Biasanya setiap pagi, aku akan
kembali segar, bila malamnya aku menyetubuhi ibuku.
Siang ini aku pulang sekolah, aku melihat Parjo ada di gubuk kami dan ibu
sedang membentaknya. Aku mempercepat laju sepedaku. Setelah sepeda kusandarkan,
aku menurunkan keranjang tempat telur, langsung kudekati Parjo, tapi aku
bertanya tegas pada ibuku.
"Apa apa, Mak?" kutatapwajah Parjodengan lekat.
"Gak apa-apa?" kata ibu lembut.
"He... ada apa. Koe apain ibuku?" aku menggenggam arit rumput yang
baru kemarin sore aku asah tajam. Melihat mataku melotot dan siap mengayunkan
arit, ibuku memelukku.
"Jangan So. Aku tidak diapa-apain kok. Usir saja dia pigi dari gubuk kita
ini," pinta ibuku.
"Kalau koe tidak segera angkat kaki, kusabit lehermu. Segera pergi.
Satu...dua..." aku menghitung. Dengan cepat Parjo meninggalkan gubuk kami.
Saat itu, ibu memeluk tubuhku dan menangis. Aku menanyai ibu, apa yang terjadi.
Ibu mengatakan, agar ibu mengizinkan Parjo boleh ikut menyekolahkannya. Ibu
berang, kenapa setelah Parjo besar, baru mau ikut menyekolahkannya.
Ibu terus memelukku dan teteknya menempel di dadaku. Aku membelai rambutnya dan
mencium lehernya. Tetangga kami menyaksikan kami dari kejauhan dan akhirnya
mereka kembali mengerjakan ladang mereka. Aku membimbing ibu ke dalam gubuk dan
aku mengganti pakaian sekolahku. Tapi... kontolku tegang saat dipeluk erat oleh
ibu. Hanya dengan memakai celana dalam aku mendekati ibu yang sedang melap
airmata di pipinya, aku membisikinya.
"Maaak... aku mau. Izinkan
aku..." langsung kupeluk ibuku dan mencium bibirnya. Ibu langsung
meresponsnya dan kami berciuman. Lidah kami saling berkait dan kami saling
menyedot lidah bergantian. Ketika aku melepaskan kain batiknya, ibu mengatakan
dia sedang haid. Tadi pagi haidnya datang. Aku kecewa. Ibu tau aku kecewa.
"Jangan kecewa. Ada jalan keluar. Aku dengar dari tetangga," katanya.
Cepat di mengambil minyak goreng, dilumaskannya ke kontolku dan ke duburnya.
Lalu ibu telungkup dan memintaku menaikinya. Aku enggak mengertyi kenapa
kontolku dilumasi dan ibu telungkup. Aku menindih ibu. Dituntunnya kontolku
memasuki lubang duburnya.
"Ayo tekan perlahan-lahan," katanya. Aku menekan kontolku. Sulit
sekali masuknya. Ibu memintaku agar menekannya lebih kuat lagi dan aku
menekannya, sementara kontoljku dalam genggaman tangan ibu. Aku merasakan
kontolku memasuki ruang sempit. IBu meringis kuat.
"Sakit, Mak?" tanyaku kasihan.
"Sedikit. Tahan dulu... yah. sudah tekan lagi perlahan," kata ibu dan
aku menurutinya. Kontolku sudah lebih separo yang masuk. Ibu meminta aku
menahannya sebentar dan aku menahannya. Setelah dua menit ibu meminta agar aku
memompanya, bagaimana aku biasa memompa memek-nya. Perlahan aku memompanya.
Terasa kontolku seperti di remas-remas. Aku mulai menikmatinya dan ibu mulai
mendesah nikmat. Sampai akhirnya aku memuntahkan spermaku.
Akhirnya kesepakatan kami, tidak dua kali seminggu kami melakukan persetubuhan,
melainkan tiga kali. Dua kali kami senggama memalui memek dan sekali melalui
dubur. Ibu pun akhirnya menikmati persetubuhan kami melalui apa saja dan ibu
tak pernah hamil.
Setelah aku mengandangkan kambing dan anak l;embu betina yang baru aku beli,
juga ayam dan bebek, aku ke kedai membeli minyak tanah. Aku ketemu dengan
Parjo. Kutatap dia dengan tajam, lalu kukeluarkan pisau dari sakuku. Kulihat
Parjo tertunduk takut. Setelah aku membeli minyak tanah, kudekati dia.
"Jangan sekali-kali lagi kau dekati ibuku. Kubunuh kau," kataku
tegas. Dia diam dan menunduk. Aku melihat airmatanya berlinang.
Aku tidak ingin ibuku menikah lagi dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab.
Lagi pula kebutuhan ibu lahir bathin, mampu kupenuhi demikian sebaliknya.
Kini aku sudah tamat SMU. Aku masuk D-3. Aku berharap, sebentar lagi aku bisa
bekerja dan memboyong ibu ke konta, meninggalkan gubuk kami yang reot
TAMAT