Aku, Narsih,
dan Mbak Murti
AKU
Namaku Damar, 25 tahun, baru lulus Universitas. Sambil menunggu kesempatan
untuk dapat mulai bekerja, sekarang aku meneruskan program S-2 di Universitas
yang sama. Sampai saat ini aku belum punya pacar, meskipun teman wanitaku cukup
banyak, dan pergaulanku dengan mereka termasuk kategori ‘biasa-biasa’ saja.
Sejak lulus SMA di Jawa Tengah, aku tinggal dengan Pak De di kawasan perumahan
eksklusif di kawasan Jakarta Selatan. Pak De dan Bu De, yang menyayangiku
adalah ‘pasutri’ yang sangat sibuk dengan kegiatan bisnis dan sosial mereka
masing-masing. Berusia 60-an, mereka berdua adalah cerminan kaum feodal Jawa
yang masih sangat konservatif. Ketiga orang anak-anak mereka sudah berumah
tangga dan semua tinggal di luar negeri. Ini membuatku jadi seolah seorang
pangeran yang kesepian, dan sebagai seorang introvert. Aku banyak menghabiskan
waktu di puri yang megah namun kosong ini.
Salah satu dari berbagai kesukaanku adalah menonton film hardcore di home
theater, tentu ketika Ndoro-ndoro itu tidak sedang di rumah. Terkadang ketika
aku tidak dapat lagi menahan gejolak birahi, maka aku ‘melepas’-nya dengan
bermasturbasi di kursi kegemaran Pak De. (Aku tidak pernah lupa menyediakan
sekotak tissue di dekatku.)
NARSIH
Pembantu Rumah Tangga (PRT) kepercayaan Bu De. Dari 3 orang PRT disitu, hanya
dia lah yang diperbolehkan masuk ke ‘ruangan dalam’ untuk membersihkannya.
Berkulit mulus layaknya mojang Priangan, janda menawan beranak satu asal
Sukabumi ini menurut perkiraanku berumur 30-an. Seringkali tubuhnya yang sintal
dan terawat baik itu mengisi ‘laporan’ (lamunan porno)-ku. Hanya karena
pengaruh ajaran keluarga, yang dengan tegas menganut perbedaan ‘kelas’ (antara
majikan dan pembantu), yang masih bisa mencegahku untuk ‘mendekatinya’.
Satu kejadian yang sangat memalukan tapi sekaligus mendebarkan terjadi ketika
aku sedang bermasturbasi sambil menonton adegan lesbian favoritku. Di saat aku
sedang orgasme, maniku bermuncratan, dan aku mengerang dalam nikmat, masuklah
Narsih.
“Eh, ada Aden disini, kirain teh kosong, sayah cuma mau bersihin kok. Punten
nya’, nanti aja kalau Aden udah selesai, sayah balik lagi.”
Aku yakin bahwa sebenarnya, tanpa sepengetauanku, dia sudah cukup lama ikut
menonton bermacam adegan, dan mengamati dari awal permainan soloku.
Sejak peristiwa itu aku bertekad untuk membalas dendam dengan cara mengintip
ketika dia sedang mandi, atau berganti pakaian di kamarnya. Suatu ketika aku
bahkan pernah melihatnya sedang bermasturbasi, meremasi payudara dan memelintir
puting-putingnya, jari-jarinya yang lentik mempermainkan klitoris, dan
keluar-masuk vulva-nya. Sampai akhirnya dia merintih, mengerang dalam
klimaksnya. Dan aku pun ‘menemani’-nya dalam orgasme dari kejauhan. (Aku selalu
membawa beberapa lembar tissue di kantongku saat mengintip Narsih.)
MBAK MURTI
Bu Murti, istri pengusaha sukses ini tinggal hanya bers***** 3 rumah jauhnya.
Perbedaan umur yang cukup jauh tampaknya bukan penghalang dalam menjalin
persahabatannya dengan Bu De, sehingga dia sudah terbiasa dan leluasa bergerak
di rumah kami. Sejak pertama diperkenalkan kepadanya, aku tidak pernah berhenti
mengaguminya. Ibu dari 2 anak ABG, yang sangat paham merawat kecantikan dan
tubuhnya ini seringkali kuajak ‘kencan’ dalam fantasi liarku. Semula Bu De
mengharuskan aku menyapanya dengan “Bu”, tapi suatu kali justru Mbak Murti yang
menegaskannya sendiri.
“Mbakyu, Dik Damar dan saya ‘kan hanya terpaut beberapa tahun saja, dia masih
pantas menjadi ‘adik’ saya.” katanya waktu itu. (Ooh.., terima kasih Mbak
Murti.)
TIGA-SERANGKAI
Suatu waktu Pak De dan Bu De bepergian cukup lama ke luar negri menengok
cucu-cucunya. Siang hari itu aku sedang asyik dengan menonton film XX
kegemaranku, dan bersiap untuk bermain solo. Tiba-tiba ketika aku sedang
bersiap melepas celana, entah sudah berapa lama dia mengamati ‘kesibukan’-ku,
di sampingku berdiri Mbak Murti.
Dalam pakaian tennis (gaun sangat pendek dan t-shirt ketat) dia menampakkan
kemolekan lekuk tubuhnya. Dan tanpa basa-basi lagi dia berlutut di depanku.
“Sini Damar, biar saya bantu.”
Dengan sangat santun dan ramah dia mengatakan bahwa dia dapat memahami
keadaanku, dan dalam suara yang mulai serak dia masih sempat memuji bahwa aku
adalah anak muda yang baik karena ternyata lebih memilih swalayan daripada
jajan ataupun bermain sex bebas.
Selanjutnya, tanpa berkata sepatah pun, kedua tangannya dengan leluasa mulai
melepas bajuku. Bibirnya yang sering aku khayalkan menciumiku mulai menjelajahi
leher, telinga dan dadaku, lidahnya juga seakan tak mau kalah beraksi. Aku
semakin tenggelam dalam kolam kenikmatan waktu Mbak Murti menjilat, mengecup,
dan menggigit kecil puting dadaku. Jemarinya mulai mengelus penisku, sekejap
kemudian, dalam satu gerakan yang sangat cepat, dilepasnya celanaku, dan aku
yang tak berdaya telah telanjang, duduk di kursi Pak De. Mbak Murti semakin tak
terkendali, darah semakin mengalir deras ke penisku,
keras-panjang-tegak-menantang.
“Aaahh..!” desah panjang Mbak Murti, nafasnya yang panas terasa sangat dekat di
sekitar bawah perutku, penisku yang telah dalam genggamannya tak dilepasnya
lagi.
“Oohh.., Mbaak..!” terucap dari mulutku saat dia mendaratkan lidahnya di
‘leher’ penisku.
Disitu dia memutar dan memainkan lidahnya, aku tak dapat menahan keluarnya
cairan kentalku.
“Mmm.., Damar..!” dan dengan tatap kagum pada penisku (panjang 18 cm, lingkar 5
cm) dijilatinya protein yang mengalir dari tubuhku itu.
Satu tangan Mbak Murti mulai menggenggam dan meremas lembut, lalu lidahnya
berpindah menjilati setiap milimeter kantong bijiku. Di ‘ambil’-nya bijiku
dengan bibirnya, lalu dikulum dalam mulut, seakan ingin ditelannya.
Dia melihat juice mengalir lagi dari ujung penisku, tanpa membuang waktu
sedetik pun dikatupkannya kedua bibirnya pada mahkotaku. Inilah oral sex-ku
yang pertama. Terus perlahan dia berusaha memasukkan seluruh penisku ke dalam
mulutnya, bibir dan lidahnya seakan berlomba, naik-turun-naik-turun menelusuri
penisku. Aku tidak sedang berkhayal, badanku terasa ringan serasa melayang
tinggi saat dia tersengal megatakan,
“Masih tahan
Damar..? Tunggu saya ya, plee..ase..!”
Mbak Murti bangkit, seperti kesurupan dia tanggalkan seluruh pakaiannya, dan
dengan gaya yang sangat binal dia baringkan tubuhnya di selembar kulit domba
New Zealand yang terhampar di lantai.
“Damar, kamu tau apa yang harus kamu lakukan..” katanya, dan tiba-tiba aku
bukan lagi jejaka pemalu.
Seluruh ingatanku (dari ‘pelajaran’ di film) kukerahkan. Aku seolah menjelma
menjadi cowboy yang sedang bersiap menundukkan kuda betina yang sedang birahi
ini. Tak ada waktu lagi menciumi bibirnya yang merekah dan merangsang. Kuraih
payudaranya, aku sempat melirik BH-nya yang berukuran 34C, dan tak kulepaskan.
Kedua putingnya yang meregang kupelintir pelan sampai dia mengerang dalam
kenikmatan. Kujilati, kulum, dan hisap keduanya tanpa ampun.
Sekejap dengan sigapnya dia menyergap kepalaku dan, tanpa berkata apapun,
mengarahkannya ke bawah perutnya. Aku ragu sejenak, tapi sudah cukup aku
melihat bagaimana lelaki pun ternyata dapat memberikan cunnilingus, dan
sekaligus menikmatinya. Dengan rakus aku melahap apa yang ada di hadapanku,
klitorisnya yang telah mencuat tampak mengkilat dilumuri cairan yang menggenang
di vulva Mbak Murti. Bukit vagina tertutup bulu kemaluannya yang digunting
pendek dan terawat rapih mengundangku untuk berlama-lama menikmati keindahan
ini sambil berpindah ke posisi 69.
Bertubi-tubi kuluncurkan lidahku, keluar-masuk, naik-turun, sambil
sekali-sekali bersama jariku menggoda sang ‘Dewi Clitoris’. Mulutku tak
hentinya meneguk segarnya air danau senggama ini. Kurasakan otot-otot Mbak
Murti menegang, dan Mbak Murti berteriak dalam ledakan orgasme yang tak
terkendalikan lagi.
“Ooohh.. Hhh.., Daamm.. Ar.. Yess, Yess, Damar..! Aaa.. hh..!”
“Aden..! Ibu Murti kenapa..?” masuklah Narsih tergopoh-gopoh.
Dari kamar mandi, Narsih yang tubuhnya masih basah hanya dibalut handuk, tampak
jelas gemetar menyaksikan pemandangan yang dilihatnya. Seperti lemas tanpa
tulang dia roboh terduduk di sampingku, handuk pembungkus tubuhnya terlepas.
Sebelum Narsih sempat menyadarinya, aku tarik tubuh janda molek ini. Tubuhnya
terbaring menggelepar ketika aku lampiaskan semua khayalanku yang selalu
berakhir di lembar-lembar tissue selama ini.
“Aden, Aden, Aden..!” hanya itu desahnya.
Kudaratkan rudalku di lembah payudaranya, aku gesekkan ke putingnya, tampak dia
menggelinjang. Lalu aku bangkit tepat di hadapannya,
“Den Damar,
kok jadi seperti di pi..” kalimatnya (maksud dia pilem) tidak selesai karena
penisku sudah membungkam mulutnya.
Dengan mata tertutup aku sangat menikmati permainan seruling janda Sukabumi ini,
sampai ketika tiba-tiba alunan nadanya terasa faals. Ketika aku membuka mata
ternyata Mbak Murti yang untuk beberapa saat tadi KO-lah penyebabnya. Kulihat
dari belakang Narsih, satu tangan Mbak Murti meremas payudara Narsih, sementara
satunya lagi mengobok-obok ‘momok’ (Sunda: vagina)-nya. Melihat adegan ini aku
memutuskan untuk istirahat sejenak menj***** final round nanti. Sekarang Narsih
lah yang berjaipong tanpa protes sedikitpun atas iringan degung Jur**** Murti.
Gila, semua fantasiku jadi kenyataan, sementara di layar muncul adegan lesbian,
di depan mataku dua perempuan, yang katanya berbeda ‘kelas’ (tapi tak ada batas
lagi kan?) beraksi. Mbak Murti tanpa sungkan lagi langsung menyodorkan clitoris
nya ke mulut Narsih yang langsung melahapnya seakan sedang menikmati jagung
bakar di Puncak, tangan Mbak Murti menuntun tangan Narsih ke payudaranya.
Narsih tetap patuh ketika jemari Mbak Murti menelusuri ‘momok’-nya, tapi segala
sesuatu ada batasnya. Nurani perempuan desa lugu yang lama tak tersentuh lelaki
ini akhirnya bicara.
“Den Damar, saya pingin dirojok pake kontolnya Aden.”
Mbak Murti terhenyak,
“Nggak bisa
Narsih, saya harus duluan! Nanti kalau kontol Damar masih bisa ngaceng, baru
giliran kamu. Pokoknya nggak bisa, harus saya duluan!”
Narsih pasrah,
“Yah, kalau
memang begitu mah, terserah Jur**** ajah.”
“Damar, fuck me, now, please..! I want your cock inside my pussy.”
Too good to be true. Penisku yang memang sudah semakin berat di ujungnya ini
segera meluncur ke sasaran pertamanya. Sewaktu penisku mulai masuk ke dalam,
dan memompa Mbak Murti, kulihat Narsih ’sibuk’ sendirian bermasturbasi. Rupanya
tembakanku tepat, bull’s eye! Hanya sebentar aku menunggangi Jur**** kuda binal
ini, dia menyerah.
“Damar, aku keluaaar aaa..
ah, yess!”
Kali ini aku tak boleh membedakan kedua perempuan itu, mereka harus mendapatkan
apa yang diinginkannya. Perlahan aku memisahkan diri dari Mbak Murti yang sudah
tak berdaya lagi, dan beringsut ke arah Narsih yang tahu bahwa sekarang
gilirannya.
“Den Damar, punten, sayah pingin seperti yang di pilem itu. Dirojok sembari
nungging!”
Edan, dasar janda doyan, kataku dalam hati. Pelan tapi pasti aku tak ingin
mengecewakan PRT Bu De-ku yang setia ini. Ternyata goyang, gitek, geyol, dan
sedotan mojang ini istimewa. Aku hampir kewalahan berjaipong dengan Narsih, ini
harus ditancep seperti wayang golek di batang pisang, pikirku.
Tanpa peduli lagi, aku pindah versnelling 2.
“Adee.. een, kontol Aden enak, aduh saya kayak terbang, terus tancep Den Damar.
Ampun, Aden, aduh Emak, sayah keenaa.. aakan, Ade.. een..!”
Game is not over, pikirku begitu masih berdiri di belakang Narsih dengan penis
yang sangat keras dan berdenyut-denyut.
“Damar, kamu hebat!” celetuk Mbak Murti, sambil merangkak dia beringsut
mendekatiku lagi.
“Narsih, kesini kamu..!” perintahnya, “Sekarang kita kerjain Damar berdua, ya.
Nanti kalau maninya keluar (”mani itu pejuh, ya Jur****?” tanya Narsih polos,)
kita pakai buat luluran. Maninya lelaki bisa bikin kulit kita jadi halus.”
Dengan kompak mereka mulai ‘bekerja’. Mbak Murti dengan telaten mengocok batang
penisku, sementara Narsih dengan patuh menjilati kantong bijiku. Disinilah
batasku, aku meledak sejadi-jadinya. Hampir tak mampu lagi rasanya aku berdiri
selagi maniku menyemprot dengan deras, kedua perempuan itu berusaha keras untuk
mencegah ada yang tercecer. Dengan sungguh-sungguh diulaskannya saripati
kelelakianku ke tubuh-tubuh mereka yang molek itu.
Entah berapa jam kemudian ketika aku terbangun, Mbak Murti tak nampak lagi
disitu. Tapi kulihat Narsih memandangiku tersenyum sambil membersihkan arena
tempat permainan rodeo tadi. Narsih menyerahkan secarik kertas dari Mbak Narti.
You are a real Cowboy!, begitu tulisnya.
Sampai sebelum Pak De dan Bu De kembali, beberapa kali kami mengulang permainan
ini. Setelah mereka pulang, bagaimana? Aku belum tahu, karena sekarang aku
harus pergi menjemput mereka ke Cengkareng.
TAMAT