BU Likha
BEBERAPA hari ini ada yang
dirasa mengganggu. Setiap kali membuka jendela kamar kos, bukan udara segar
yang kudapat tetapi sederetan baju basah yang habis dicuci dan dijemur. Jarak
antara jendela dengan jemuran juga sangat dekat hingga aku bisa mencium bau
detergent yang dipakai mencuci baju-baju yang dijemur karena baunya masuk ke
dalam kamar.
Kalau cuma baju aku nggak begitu peduli dan
bisa memaklumi. Kamar kost tempat aku tinggal memang berada di kampung yang
padat penduduk hingga sulit mendapatkan tanah longgar kendati hanya untuk tiang
jemuran. Tetapi dua hari lalu, cucian basah yang berada peris di depan jendela
kamarku berupa celana dalam perempuan dan BH. Aku sampai menutup pintu kembali
gara-gara disuguhi pemandangan itu.
Kalau celana dalam yang dipajang G string atau
janis lain yang biasa dipakai murid-murid perempuan di sekolahku, mungkin aku
nggak keberatan. Setidaknya bisa untuk membayangkan hal-hal yang menggairahkan
saat mau beronani karena kadang aku suka melakukannya kalau lagi horny. Tetapi
ini, sudah warnanya pudar dan berukuran besar, juga kendor karena kelewat
sering dipakai.
Celana dalam dan BH itu pasti milik Bu Likha,
istri Pak Rokhim. Beberapa hari lalu memang kulihat Bu Likha menyuruh Kang
Sarno tetangga sebelah yang lain membuat tiang jemuran. Rupanya gara-gara tanah
kosong di belakang rumahnya hendak dibangun oleh pemiliknya, ia harus
memindahkan lokasi jemurannya. Aku tidak bisa protes karena tempat jemuran yang
sekarang masih merupakan tanah milik Pak Rokhim.
Pak Rokhim, pria berusia 54 tahun bekerja
sebagai tukang kayu dengan beberapa anak buah. Namun sejak enam bulan terakhir,
karena mengalami kecelakaan saat bekerja, tulang punggungnya mengalami cedera
sangat serius hingga mengalami kelumpuhan dan matanya berangsur menjadi rabun
dan mengalami kebutaan. Untung Bu Likha sebagai tukang jahit pakaian wanita
punya banyak pelanggan hingga meski suaminya tak lagi bisa mencari nafkah,
masih memiliki sumber penghasilan.
Pak Rokhim dan Bu Likha hanya memiliki satu
anak, Mbak Lasmi. Tapi setelah menikah ikut suaminya ke Jakarta. Tidak adanya
anak yang harus dibiayai membuat Bu Likha tidak terlalu berat membiayai hidup
meski hanya mengandalkan upah menjahit yang diterimanya.
Sejak aku masih kelas I SMA dan menempati
tempat kost itu, aku cukup akrab dengan Pak Rokhim. Kalau malam biasanya suka
main catur berdua di rumahnya sambil menikmati teh dan kue yang disediakan
Istrinya. Malah Pak Rokhim sering memberiku rokok kalau lagi banyak borongan.
Namun sejak ia lumpuh setelah kecelakaan, ia sudah tidak mampu lagi main catur
karena hanya bisa berbaring.
Tetapi aku masih sering datang untuk sekadar
ngobrol dan memberinya semangat. Atau sekadar berbagai satu dua batang rokok,
kalau baru dapat kiriman uang dari kampung. Sejak mengalami lumpuh, Pak Rokhim
tidak lagi tidur di kamarnya tetapi ditempatkan di dipan di ruang tamu hingga
aku bisa leluasa main. Seperti yang kulakukan sore itu, sebungkus rokok murahan
kuberikan kepadanya sambil membantu menyalakannya agar Pak Rokhim bisa segera
menikmatinya.
"Bu Likha mana Pak, kok sepi?"
kataku setelah duduk di kursi di dekat tempat Pak Rokhim berbaring.
"Lagi nganter jahitan. Eh itu ada jagung
rebus kalau mau. Teh manisnya nanti nyusul kalau istriku datang," ujarnya.
"Iya Pak, terima kasih. Saya baru saja
makan,"
Tidak terlalu lama Bu Likha datang. Melihat
aku asyik berbincang dengan suaminya, ia langsung masuk ke dalam membuatkan
minum dan menyuguhkannya padaku. Tetapi saat hendak menaruh cangkir di meja,
tangan wanita itu tersundut bara api rokok yang dipegang suaminya. Ia kaget dan
memekik hingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Bahkan enam buah jagung rebus
yang ada di atas piring ikut terjatuh dan terserak di lantai.
Bu Likha menggerutu dan menyalahkan suaminya
yang mengacung-acungkan rokoknya hingga membuatnya tersundut.
Terbungkuk-bungkuk wanita itu berusaha membersihkan lantai dari tumpahan teh
manis dan kepingan cangkir yang pecah. Aku membantunya mengumpulkan
jagung-jagung rebus yang ikut terjatuh.
Saat itu, tanpa sengaja kulihat tetek Bu
Likha. Aku melihatnya karena ia dalam posisi membungkuk, padahal daster yang
dipakainya tidak terkancing sempurna. Jarakku sangat dekat dengan dia karena
aku ada di depannya. Teteknya tergolong besar meski agak kendur. Ia juga tidak
memakai kutang. Pentil-pentilnya tampak menonjol coklat kehitaman. Aku terpana
dan menelan ludah melihat pemandangan itu.
Tak kusangka tetek wanita seusia Bu Likha
masih merangsang. Bentuknya mirip buah pepaya yang menggelantung. Tanpa sungkan
aku terus menatapi buah dada wanita itu. Aku leluasa melakukannya karena Pak
Rokhim kendati berada di dekatku, matanya sudah tidak bisa melihat. Dan posisi
Bu Solikha membungkuk mengepel lantai hingga tidak mungkin mengetahui
kekurangajaranku.
Kontolku langsung menggeliat dan menegang.
Berkali-kali aku menelan ludah karena kerongkongan yang seperti tercekat
menahan gairah. Apalagi saat tetek besar wanita itu berguncang-guncang lembut
karena gerakan tubuh pemiliknya yang tengah mengepel lantai. Aku sering melihat
gambar wanita telanjang yang diambil dari internet maupun adegan di film BF.
Namun melihat langsung ternyata jauh lebih merangsang. Ingin rasanya meraih
tetek Bu Solikha untuk meremas dan merasakan kehangatannya. Atau mengulum
pentil-pentilnya. Ah...
Saat anganku tengah melayang jauh sambil terus
menatapi tetek besar itu, Bu Likha berhenti dari pekerjaanya membersihkan
lantai. Membuatku terperanjat karena ia sempat memergokiku yang tengah menatapi
buah dadanya. Mataku memang tengah benar-benar tertuju ke bagian dasternya yang
tidak terkancing dan menatapi lekat-lekat buah dadanya. Aku tidak bisa mengelak
kalau ia sampai marah dan menuduhku bersikap kurang ajar.
Tetapi tidak. Istri Pak Rokhim memang sempat
memeriksa kancing dasternya yang terbuka. Tetapi bukannya marah, ia malah
melontarkan senyum padaku. Senyum yang tak kumengerti maknanya. Ia juga tidak
berusaha mengancingkan dasternya. Bahkan sebelum meninggalkan ruang tamu,
kembli ia melempar senyum. Senyum yang semakin tak kuketahui maksudnya.
Sepeninggal Bu Likha, seperti biasa Pak Rokhim
menanyai berbagai hal tentang sekolahku. Soal kapan ujian, melanjutkan ke
perguruan tinggi mana dan beberapa pertanyaan lain khas pertanyaan orang tua.
Aku menjawab sekenanya untuk menyenangkan hati pria malang itu. Sebab
bayang-bayang tetek besar Bu Likha, istrinya seakan melekat dan terpatri dalam
benakku.
Dua tahun lebih bergaul dengan Pak Rokhim, aku
tak pernah memiliki perhatian khusus terhadap Bu Likha. Ia bahkan kuanggap
sebagai ibu karena kebaikannya sering menyediakan teh manis dan berbagai
panganan saat aku masih sering main catur dengan suaminya. Aku juga sering
membawakan oleh-oleh hasil panen dari kampung seperti kacang tanah, jagung dan
bahkan beras.
Tetapi kini setelah berkesempatan melihat
tetek besarnya, ketertarikanku padanya lebih bersifat seksual.
Bu Likha kembali ke ruang depan membawakan teh
manis untuk menggantikan yang tadi terbuang. Ia memilih berjalan memutar saat
hendak menaruhnya di meja. Mungkin untuk menghindari agar tidak kembali
tersundut bara api rokok suaminya. Dan ternyata, kancing dasternya masih tetap
terbuka. Hingga saat ia menunduk, dapat kulihat kembali tetek besarnya.
Bahkan seperti sengaja berlama-lama, setelah
menaruh cangkir dan menungkan teh, jagung-jagung rebus yang sudah ada di atas
piring diambil dan ditatanya ulang. Ia seperti memberiku kesempatan untuk bisa
melihat lebih lama buah pepaya miliknya di balik dasternya yang terbuka. Kalau
tidak ada Pak Rokhim mungkin aku sudah nekad. Nekad mengulurkan tangan dan
meremas gemas teteknya. Kontolku kembali tegang setelah sempat mengendur.
Namun yang membuatku semakin panas dingin
adalah setelah Bu Likha duduk menghadapi mesin jahitnya. Sebab yang
disuguhkannya kali ini jauh lebih mengundang. Dasternya tersingkap ke atas dan
kedua kakinya membuka lebar. Aku bisa melihat jelas kedua kakinya sampai ke
pangkal paha bahkan juga celana dalam dan selangkangannya.
Posisi mesin jahit tempat Bu Likha bekerja,
memang menghadap ke arah dipan tempat tidur Pak Rokhim yang juga menjadi tempat
aku duduk di dipinggirannya. Jaraknya hanya sekitar 2 meter. Sulit untuk
menghindari pemandangan menggairahkan yang kuyakin sengaja dipertontonkan oleh
wanita itu.
Di selangkangannya, tepat diantara dua pangkal
pahanya, ada bagian yang tampak cembung membusung. Tertutup celana dalam. Ya
celana dalam yang pernah kulihat karena pernah dijemur dekat jendela kamarku.
Warnanya sudah kusam dan pudar hingga sulit dikenali warna aslinya sewaktu
masih baru. Tetapi kali ini menjadi sangat menarik di mataku. Bisa kubayangkan
bentuk memek Bu Likha yang tembem menggunduk.
Sesuai bentuk tubuhnya yang montok, paha Bu
Likha terlihat membulat besar. Namun masih lumayan mulus dan nampak masih cukup
liat. Ada memang sedikit lipatan-lipatan mendekati bagian pangkal paha. Maklum
usianya sudah separuh abad dan sudah memiliki cucu. Kuyakin ia tahu ke mana
mataku selalu menatap. Tetapi sepertinya ia cuek saja, asyik dengan
perkerjaannya menjahit. Seakan sengaja menyuguhkannya untukku.
Sore itu, hujan yang semula hanya gerimis
kecil mulai menderas. Sesekali terdengar bunyi guruh menggemuruh membahana. Pak
Rokhim setelah menghabiskan dua batang rokok kulihat tertidur. Aku tahu dari
dengkurnya yang mulai kudengar. Kini aku menjadi lebih bebas dengan tidurnya
Pak Rokhim. Bebas menatapi paha istrinya yang terbuka dan busungan memeknya
yang tercetak pada celana dalam yang dipakainya.
Aku jadi ingat adegan di film BF yang dipinjam
dari Rofiq, temanku. Seorang wanita bule sepantaran Bu Likha, malah mungkin
lebih tua, melakukan adegan seks dengan anak laki-laki yang lebih pantas
menjadi cucunya. Adegannya dimulai dari anak laki-laki itu kepergok tengah
mengintip saat sang wanita tetangganya mandi. Oleh perempuan tua itu diajaknya
masuk dan akhirnya diajari bermain mesum.
Aksi seks keduanya benar-benar hot. Setelah
saling meraba, bocah bule yang masih ingusan menjilati memek nenek bule yang
bentuknya sudah amburadul. Tetapi sang bocah terlihat sangat menikmati. Bahkan
kelentit wanita itu dicerucupi dengan lahap hingga perempuan itu menjadi
kelojotan sampai akhirnya sang bocah menindih dan memasukkan kontolnya yang
lumayan gede ke memek pasangannya.
Saat melihat adegan itu dalam film BF, aku
tidak begitu terangsang. Namun kini, baru melihat celana dalam Bu Likha dan
membayangkan yang ada di balik celana dalam itu kontolku benar-benar makin
mengeras. Untung aku memakai celana trainning berbahan kaos, hingga meskipun
celana yang kupakai cukup ketat kontolku tetap leluasa mengembang.
"Man (namaku Arman), tolong pintunya
ditutup saja. Anginnya kencang dan hujannya besar jadi airnya masuk," kata
Bu Likha.
Aku bergegas menutup pintu seperti yang
diperintahkannya. Tetapi saat aku kembali, posisi Bu Likha sudah berdiri. Ia
melangkah masuk ke ruang dalam rumahnya dan melambai mengajakku mengikutinya.
Kendati bingung tidak tahu apa yang dimauinya aku mengikutinya. Tetapi saat ia
masuk ke kamar tidurnya, aku tak berani meneruskan langkah. Takut dianggap
kurang ajar.
Hanya beberapa saat kemudian, kudengar Bu
Likha kembali memanggil.
"Jangan berdiri
disitu. Sini masuk," ujar Bu Likha yang hanya menjulurkan kepala dan
sebagian tubuhnya dari balik pintu kamar tidurnya.
Meski ragu, akhirnya aku melangkah menuju ke
kamarnya. Dan yang membuatku kaget, saat tanganku baru menyingkap tirai pada
pintu kamarnya, Bu Likha menarikku dan langsung menutup pintu serta
menguncinya. Bahkan Bu Likha telah menanggalkan daster dan celana dalamnya.
Bugil tanpa selembar benang menutupi tubuhnya hingga membuatku terpana.
Mataku melotot menatapi tubuh Bu Likha yang
telanjang. Rambut sebahunya yang bila keluar rumah selalu tertutup kerudung dan
jilbab lebar dibiarkannya tergerai. Kulihat sudah mulai ada beberapa helai
uban. Pertanda usianya sudah tidak muda lagi. Juga kerutan di dahi dan seputar
kelopak matanya sudah mulai terlihat. Namun tubuh tinggi besarnya masih lumayan
mulus dengan teteknya yang besar menggantung seperti buah pepaya. Dua puting
teteknya yang juga berukuran besar terlihat mencuat berwarna cokelat kehitaman.
Perutnya sudah agak membesar dan terlihat
guratan-guratan tanda pernah melahirkan dan mungkin faktor usia. Juga nampak
lipatan-lipatan kecil di dekat lobang pusarnya dan bagian bawah perutnya. Namun
yang membuatku tak berkedip adalah bagian membusung di selangkangannya. Tadinya
kukira memek Bu Likha tertutup oleh jembut panjang yang semrawut. Seperti memek
wanita yang menjadi pemeran film BF yang pernah kutonton.
Ternyata tidak, memek Bu Likha dicukur bersih
rambutnya. Terlihat gembung dan menggunduk diantara kedua kedua pahanya yang
masih lumayan mulus. Aku jadi gelisah karena kontolku makin ngaceng, tegak
terpacak. Bu Likha yang melihat perubahan tonjolan pada celanaku tersenyum
penuh arti.
"Dari tadi kamu
pengin lihat punya ibu yang ini kan? Sini naik Man," ujarnya mengajakku
untuk naik ke tempat tidurnya sambil mengusa-usap memeknya.
Aku tidak segera menyambut ajakannya karena
masih bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya pengalaman seksku
hanya mencium Amnah, teman sekolah di kampungku sewaktu kelas tiga SMP.
Disamping melihat adegan bersetubuh dari melihat di film-film BF yang pernah
kutonton. Sedangkan melihat langsung orang sedang berhubungan seks, secara
tidak sengaja aku pernah mengintip pesetubuhan Bu Rasiti tetanggaku di kampung
dengan Kang Sarman. Ia seorang tukang ojek yang suka mengisengi wanita-wanita
kesepian dan Bu Rasiti adalah wanita berumur yang sering ditinggal suaminya
bekerja di luar daerah.
Namun saat Bu Likha telah duduk di tepian
ranjang dan membuka lebar kakinya, terlalu sulit bagiku untuk melepaskan
kesempatan melihat dari dekat bentuk memek wanita itu. Aku berjongkok tepat di
depan Bu Likha yang duduk mengangkang di tepi ranjang. Kemaluan istri Pak
Rokhim ternyata sungguh besar, gembung dan tebal. Namun di bagian yang membelah
mendekati lubangnya bentuknya sudah tidak karuan. Bibir memeknya sudah membesar
dan kapalan. Berlipat dan berkerut seperti jenger ayam dengan warna hitam
kebiru-biruan.
Lubangnya juga sudah terbuka cukup lebar.
Sepertinya lebih dari dua sentimeter garis tengahnya. Namun di bagian dalam
yang agak basah, warnanya terlihat agak kemerahan. Entah sudah berapa lama
memek Bu Likha terakhir disogok kontol lelaki. Sebab sejak mengalami kecelakaan
dipastikan Pak Rokhim tidak mampu lagi menunaikan tugasnya di ranjang. Apalagi
ia juga sudah lama menderita penyakit kencing manis.
Karena bulu-bulu jembut yang mulai tumbuh
sehabis dicukur, bagian menggunduk memenya terasa agak kasar saat aku meraba
dan mengusapnya. Sesekali kuremas gemas memek tembemnya hingga wanita itu
mendesah. Saat jari jemariku mulai mengusap bibir kemaluannya dan mencoba
menjelajah ke liangnya, Bu Likha menggelinjang dan memekik tertahan.
"Sshhh... aaahhh...
aauuww.. kamu naik saja ke sini Man. Lepaskan pakaianmu, ibu pengen melihat
kontolmu,"
Bu Likha terpaku saat kulepas bajuku dan
melihat kontolku tegak terpacak. Mungkin ia ingin menggenggam atau mengelus
batang penisku. Tapi aku langsung naik ke ranjang dan kembali menekuni busungan
memeknya. Kali ini kuusap-usap bibir kemaluannya. Termasuk gelambir daging yang
menyeruak keluar berwarna hitam kebiru-biruan yang berbentuk mirip jengger
ayam. Saat kusibak kedua gelambir daging di vaginanya itu, di bagian dalam yang
berwarna kemerahan kulihat tonjolan daging di sudut atas. Apakah ini itilnya?
Ujarku membathin.
Tertarik pada tonjolan daging sebesar kacang
tanah itu, jariku menelusup, menyentuh dan mencongkel-congkel perlahan.
Ternyata Bu Likha menggelinjang hebat sampai tubuhnya tergetar.
"Aauuuww... aahhh...
aahhh ... sshhh ya Man disitu sshhh... aaahh... ssshh," rintihnya
tertahan.
Tahu kalau itu adalah itilnya, aku jadi tak
sabar. Meskipun ada sedikit bau pesing, kudekatkan mulutku dan mulai menjilati
bibir kemaluan Bu Likha. Kusapu-sapukan lidahku ke seputar rongga memeknya yang
terbuka. Bu Likha menjadi kelojotan dan mengerang-erang.
"Ah... aahhhh...
aaakkkhhhh..... enak banget Man. Yaa... ssshhhss... terus Man ya... aaakkhhh
aakkhh.... ooohhhkk,"
Bu Likha makin terpanggang oleh nafsunya. Ia
menikmati jilatan-jilatan lidahku di liang sanggamanya. Sesekali itilnya
kecurecupi dengan mulutku. Saat kucongkel-congkel itilnya dengan lidahku, Bu
Likha menekan kepalaku agar wajahku lebih membenam di selangkangannya.
Untungnya hujan di luar mengguyur deras dengan suara menggemuruh dan pintu
kamar telah terkunci rapat.
Puncaknya, mungkin karena sudah kegatelan, Bu
Likha menarik tubuhku. Saat aku telah berada di atas menindihnya, ia meraih
batang kontolku dan di arahkan ke lubang memeknya. Diusap-usapkannya sebentar
di seputar bibir memeknya lalu memerintahkanku untuk menekannya.
"Tekan Man... aaahhh...
sshhhh...aahh.. masukan kontolmu. Ibu sudah nggak tahan,"
Bleeseekk!! Sekali sentak batang kontolku
amblas melesak masuk ke kedalaman lubang memeknya. Hangat dan basah. Itu yang
kurasakan pada batang zakarku. Tetapi nikmat tak terkira dan membuat anganku
melayang jauh ke awang-awang. Berbeda dengan saat aku mengocok sendiri
kontolku. Apalagi dinding-dinding vagina Bu Likha juga terasa berkedut-kedut
hingga secara reflek aku mulai memompa. Kontolku melesak keluar masuk di lubang
memek Bu Likha yang semakin basah oleh lendir yang mulai membanjir entah dari
mana datangnya.
Bu Likha semakin blingsatan. Mengerang-erang
dan mendesah.
"Enak... Man...
aaakhhh.... aaakhhhh enak..... Ibu sudah lama tidak ngentot. Terus Man..
sshhhh... oohkkk terus sogok memek ibu," ujarnya menyemangatiku saat
kontolku terus mengaduk-aduk memeknya.
Gairahku jadi makin terpacu. Sambil terus
menggenjot menancapkan batang kontolku, tetek besar Bu Likha yang terasa empuk
kuremasi. Puting-putingnya kukulum dan kuhisap. Tindakanku membuat istri Pak
Rokhim makin kesetanan. Nafasnya mendengus dan memburu. Mungkin karena usia
tuanya. Aku jadi makin merasakan nikmatnya lubang memek Bu Likha saat ia mulai
menggoyang-goyangankan pantatnya. Bahkan goyangannya semakin cepat dan memutar
hingga membuat kontolku serasa diremas dan diperah di kehangatan liang
vaginanya.
Akhirnya aku dan Bu Likha tidak bisa lagi
bertahan lebih lama. Setelah menggoyang-goyang kencang pinggulnya dengan nafas
yang kian memburu, Bu Likha mulai mengangkat tinggi-tinggi pantatnya. Saat itu
dinding-dinding vaginanya terasa menyedot dan menghisap kontolku hingga memberi
sensasi kenikmatan yang tiada tara. Tak tahan oleh empotan memeknya aku memekik dan mendesah. Dengan sekuat tenaga kutancapkan sedalam-dalamnya senjataku di liang sanggaman Bu Likha. Saat itu secara
bersamaan tubuh kami bergetar hebat dan akhirnya sama-sama ambruk setelah
meraih puncak kenikmatan yang kurasakan. Entah berapa banyak air maniku yang
memancar dan membanjir dalam memek tembem wanita itu.
Saat aku terbangun, Bu Likha sudah tidak ada
di sampingku. Segelas besar teh panas terlihat terhidang di atas meja di sudut
kamar. Aku yang kehausan setelah tenagaku sempat terkuras langsung mengambil
dan menikmati teh hangat manis yang terasa nikmat itu. Tubuhku terasa menjadi
lebih segar setelah menghabiskan teh manis itu lebih dari setengahnya.
"Sudah bangun ya Man.
Ya teh itu sengaja ibu butkan untukmu," kata Bu Likha yang tiba-tiba telah
ada di dalam kamar.
Sepertinya ia baru selesai mandi. Harum sabun
mandi membaui hidungku. Tubuh Bu Likha dibalut handuk yang tak mampu menutupi
bagian tubuh tinggi besarnya. Sebagian pahanya tampak menyembul karena ujung
handuknya di bagian bawah hanya mampu menutupi bagian kakinya jauh di atas
lutut. Tetek gedenya juga seperti hendak memberontak dari handuk yang
membelitnya.
Istri Pak Rokhim itu tahu kemana tatap mataku
tertuju. Ia tersenyum dan melepas handuk yang melilit tubuhnya hingga kembali
terpampang tetek dan memek tembemnya.
"Masih penasaran ya
lihat punya ibu. Kamu mandi dulu sana biar seger, nanti ibu kasih yang lebih
anak lagi," ujarnya sambil menyerahkan handuknya padaku.
Meski masih belum puas menatapi busungan
memeknya, kupikir memang lebih seger setelah mandi. Seperti yang
diperintahkannya, aku melangkah ke kamar mandi sambil membawa handuk bekas
dipakai Bu Likha. Di luar hujan masih turun. Nampaknya hujan akan terus
mengguyur semalaman, ujarku membathin. Kalau mungkin, hujan terus mengguyur
sampai pagi agar Pak Rokhim tidak mendengar yang kami lakukan dengan istrinya
di kamar.
Usai mandi saat aku melintas di dapur, kulihat
Bu Likha tengah membuat minuman di dalam gelas.
"Pak Rokhim bangun.
Tapi nggak apa-apa. Kamu masuk saja lagi ke kamar," kata Bu Likha santai.
Mengetahu Pak Rokhim sudah bangun sebenarnya
agak grogi. Namun melihat Bu Likha sangat santai, seperti tidak ada yang perlu
dicemaskan. Apalagi kutahu mata Pak Rokhim sudah tidak bisa melihat dan hanya
bisa berbaring di tempat tidur karena sakitnya. Seperti yang diperintahkan Bu
Likha, aku kembali masuk kamar tidurnya.
Permainan babak kedua kembali berlangsung
setelah Bu Likha kembali masuk kamar. Kali ini permainan menjadi sangat santai.
Ia memintaku berbaring dan mulai mencumbu. Cumbuanya membuatku merintih
tertahan karena ia langsung mengulum kontolku setelah sebelumnya menjilati dan
menyapu-nyapukan lidahnya di sekitar dadaku. Bahkan yang membuat aku kelojotan
oleh nikmat yang kurasakan, Bu Likha juga mencerucupi biji-biji pelirku.
Hispan mulutnya di biji-biji pelerku sungguh
menerbitkan nikmat tak terkira. Tak kusangka wanita yang dalam keseharian
sangat sederhana dan sudah memiliki dua orang cucu ini masih ganas dalam urusan
ranjang. Aku mengimbanginya dengan meremasi buah dadanya. Teteknya yang
menggantung kuremas-remas dan sesekali kupilin-pilin pentilnya. Terkadang
bongkahan pantatnya yang kujadikan sasaran kegemasanku atau mencolok-colokkan
jariku ke lubang vaginanya.
Posisi Bu Likha merangkak membelakangiku. Ia
terus asyik mengulum dan menghisapi kontolku serta memain-mainkan biji pelirku
dengan lidahnya. Sambil menikmati kulumannya kupandangi bongkahan pantat
besarnya. Lubang duburnya yang kehitaman terlihat sangat rapat dan banyak
ditumbuhi bulu-bulu halus. Kontras dengan lubang memeknya yang menganga mirip
lorong sebuah gua. Namun di mataku terlihat sangat merangsang. Sesekali
kukobel-kobel memek dan itilnya hingga Bu Likha menggeliat.
Tak tahan hanya menikmati kuluman dan
jilatannya, Bu Likha kuminta merubah posisi merangkak di atas tubuhku. Hingga
aku bisa ikut mencerucupi lubang memeknya sementara Bu Likha asyik
mempermainkan kontolku dalam mulutnya. Bahkan karena gemas, bukan hanya memek
dan itilnya yang kucucuk-cucuk dengan lidahku. Tapi lubang duburnya pun ikut
tersapu dan terjilat oleh lidahku. Dan ternyata, gerakan yang tidak kusengaja
itu malah membuat Bu Likha kelojotan tidak karuan. Ia mendengus-dengus dan
mengerang-erang. Erangan kenikmatan tentu saja.
Kata Bu Likha, seumur hidupnya baru kali ini
merasakan lubang duburnya dijilat.
"Maaann.. kamu
apakan..... aaahhkkk..... ssshhhhh oooowwhhhh, enaaakkk baangetss. Ahh..
aahh... terus jilat Man.... ya... yaa..... aakhhh,"
Erangan dan rintihan Bu Likha sangat keras.
Aku yakin Pak Rokhim yang tidur di bale-bale di ruang tamu mendengar desahan
dan erangan nikmat istrinya. Antara ruang tamu dan kamar hanya dipisahkan oleh
dinding yang terbuat dari bilik bambu. Tetapi sepertinya Bu Likha tidak peduli.
Ia terus saja merintih dan mengerang seiring jilatan-jilatan lidahku di lubang
dubur dan itilnya.
Wajahku belepotan oleh lendir bercampur ludah
yang menetes dari rongga memek Bu Likha karena kemaluan wanita itu tepat berada
di atas wajahku. Bahkan sesekali ia membenamkan memek tembemnya ke wajahku
sambil mendengus-dengus dan meremasi sendiri susunya. Sampai akhirnya Bu Likha
memintaku untuk menyudahi acara pemanasan setelah dari lubang nikmatnya
mengalir cairan yang terasa asin di mulutku.
Enaknya memek istri Pak Rokhim kembali
kurasakan setelah kami memasuki babak persetubuhan. Bu Likha memintaku tetap
tiduran telentang. Sementara ia berdiri dengan kedua kaki berada diantara
pingglku. Saat ia menurunkan pinggul dan berjongkok, memeknya yang menganga
mendekati tonggak daging kontolku yang tergak terpacak. Aku menjadi tidak sabar
untuk segera meraskan hangatnya lubang vagina Bu Likha saat kontolku membenam
dan melesak masuk ke dalamnya.
Tetapi ia tidak segera melakukannya. Kulihat
ia tersenyum dan tangannya meraih penisku untuk digesek-gesekkan ke sekitar
bibir memeknya.
"Kamu suka memek ibu
Man? Kontolmu ternyata gede ya Man. Enak banget ngentot sama kamu,"
"Ii..iiya Bu. Memek ibu juga enak saya
sangat suka. Ayo dong Bu masukan...aahh.. ahh," ujarku tak sabar.
Saat ujung penisku menyentuh bibir kemaluan Bu
Likha dan akhirnya masuk seluruhnya ke lubang nikmat itu seiring turunnya
pantat wanita itu, aku mendesah. Apalagi setelah ia mulai beraksi menggoyang
pantatnya maju mundur. Sungguh sedap dan nikmat terasa.
Bu Likha juga merem melek. Mungkin sama
menahan nikmat akibat sogokan kontolku di liang sanggamanya. Ujung penisku terasa
menembus menyentuh langit-langit atas lubang vagina wanita itu. Aku
menikmatinya sambil menatapi teteknya yang berayun-ayun. Pasti Mbak Lasmi, anak
Bu Likha semasa bayi sering menghisap tetek itu. Tetek berputing besar yang
terlihat mengeras berwarna cokelat kehitaman.
Namun bagaimanapun, ia wanita berumur 53 tahun
usia Bu Likha tidak bisa dibilang muda. Tenaganya menjadi cepat habis. Maka tak
lebih dari 5 menit menggoyang tubuh sudah kepayahan.
"Kamu di atas ya Man.
Ibu sudah capai," ujarnya.
Aku mengangguk dan langsung berganti posisi.
Kini Bu Likha benar-benar telah pasrah dalam kenadaliku. Kukobel-ngobel
kelentitnya yang membuatnya semakin kelabakan dan ia langsung kutindih.
Kuarahkan kontolku ke lubang memeknya dan kutekan. Maka amblaslah batangku di
lubang memek tembem itu.
Hunjaman kontolku awalnya perlahan. Namun
makin lama semakin cepat dan sengaja kusentak-sentakan. Bu Likha jadi merintih
dan mengerang-erang. Rintihan dan eranganya jauh lebih keras. Bahkan kendati
terdengar suara batuk suaminya yang menandakan pria itu terbangun, Bu Likha
tidak berusaha merendahkan suaranya. Erangan dan rintihannya bahkan diikuti
kata-kata kotor.
"Ayo entot ibu Man.
Ahhhkk ya.. ya... sshhh.. sshhh terus ...aah... terus ya. Kontolmu mantep
banget Man.... aaakkkhh..... ssshhh,"
Tak sampai sepuluh menit, tubuh Bu Likha
menegang dan bergetar hebat. Sambil memekik dipeluknya erat tubuhku. Dari
semburan panas yang kurasakan di sekitar lubang memeknya aku tahu ia kembali
mendapat orgasmenya.
"Ibu keluar Maan… aakh...ssshh...aaaooohhh,"
Melihat kenikmatan yang tengah dirasakan istri
Pak Rokhim, kontolku makin kutekan dan kusodok-sodokan dengan cepat di liang
vaginanya. Maksudnya agar aku dapat segera memperoleh orgasme seperti yang
dirasakannya. Tetapi Bu Likha malah semakin kelojotan dan erangannya semakin
keras. Aku jadi takut kalau-kalau suaminya semakin curiga hingga kontolku
langsung kucabut.
Sasaranku berikutnya bukan di lubang memeknya.
Tetapi kusodorkan dan kugesek-gesekan di sekitar mulutnya. Rupanya Bu Likha
tahu aku ingin segera mendapat orgasme seperti yang baru dinikmatinya. Hingga
tanpa meskipun batang kontolku belepotan air mani ia langsung mengulum dan
menghisapi batang zakarku. Ia menghisap dengan kuat dan sesekali juga menjilati
sekitar duburku. Benar-benar nikmat dan membawaku melambung tinggi.
Saat maniku hendak memancar, aku bukannya
mencabut tetapi malah menjejalkan batang kontolku ke mulutnya. Hingga saat
menyembur, air mani yang keluar tumpah di rongga mulut Bu Likha. Malah sebagian
ada yang memancar di seputar wajah dan kelopak matanya. Tetapi Bu Likha tidak
marah ia malah tersenyum dan memelukku saat tubuhku menggelosoh terkapar di
sisinya.
TAMAT