watch sexy videos at nza-vids!

 

Bu Tus Dan Anaknya Aminah

Bagian 1 Dengan BU Tus

Aku bekerja di perusahaan kontraktor swasta di daerah Indramayu yang mempunyai sekitar 20 pegawai dan 3 orang diantaranya adalah wanita. Pada umumnya pegawai-pegawai itu datang dari desa sekitar perusahaan ini berada dan rata-rata pegawai prianya sudah bekerja di perusahaan ini sekitar 15 tahunan lebih, sedangkan aku diperbantukan dari kantor pusat di Jakarta dan baru sekitar 1 tahun di kantor cabang ini sebagai kepala personalia merangkap kepala keuangan. Karena pindahan dari kantor pusat, maka aku dapat tinggal di rumah yang disewa oleh perusahaan. Istriku tidak ikut tinggal di sini, karena dia juga kerja di Jakarta, jadi kalau tidak aku yang ke Jakarta setiap Jum'at sore dan kembali hari Minggu sore atau istriku yang datang.

Hubungan antar para pekerja begitu akrab, sehingga beberapa diantara mereka ada yang sudah menganggap aku sebagai saudara atau anaknya saja. Dalam situasi seperti sekarang ini, perusahaan dimana aku bekerja juga mengalami krisis yang cukup serius dan jasa pekerjaan yang kami terima dari perusahaan kilang minyak dan perusahaan lainnya juga semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan pimpinanku memerintahkan untuk mengurangi beberapa orang pegawainya dan ini harus kulaksanakan dalam waktu sebulan ini. Setelah kupilah-pilah dari 20 orang pegawai itu, lalu aku mengambil 5 orang pegawai yang paling tua dan yang dalam 1 atau 2 tahun ini akan mencapai usia 55 tahun, lalu aku menyuruh sekretaris kantor yang bernama Sri (samaran) dan juga dari penduduk di sekitar perusahaan untuk mengetik draft surat-surat yang sudah kupersiapkan dan rencanaku dalam 2 minggu ini masing-masing pegawai akan kupanggil satu persatu untuk keberikan penjelasan sekaligus memberikan golden shake hand pesangon yang cukup besar. Sri adalah salah satu diantara 3 pekerja wanita di sini dan umur mereka bertiga sekitar 30 tahunan. Sri, menurut teman-teman kerjanya adalah seorang pegawai yang agak sombong, entah apa yang disombongkan atau mungkin karena merasa yang paling cantik diantara ke 2 wanita lainnya.

Padahal kalau aku bandingkan dengan pekerja wanita di kantor pusat Jakarta, belum ada apa-apanya. Suaminya Sri menurut mereka itu sudah setahun ini bekerja di Arab sebagai TKI. Di hari Jum'at sore, sewaktu aku besiap siap akan pulang, tiba-tiba muncul salah seorang pegawai yang biasa kupanggil Pak Tus datang menghadap ke ruangan kantorku.

"Ada apa Pak Tus", tanyaku.

"Ini..., Pak..., kalau Bapak ada waktu, besok saya ingin mengajak Bapak untuk melihat kebun buah-buahan di daerah pegunungan sekitar Kuningan dan peninggalan orang tua saya, siapa tahu Bapak tertarik untuk membelinya". Setelah kipikir sejenak dan sekaligus untuk menyenangkan hatinya karena Pak Tus ini adalah salah satu dari pegawai yang akan terkena PHK, segera saja permintaannya kusetujui.

"Oke..., Pak Tus, boleh deh, kebetulan saya tidak punya acara di hari Sabtu dan Minggu ini..., kita pulang hari atau nginap Pak...?”

"Kalau Bapak nggak keberatan..., kita nginap semalam di gubuk kami..., Pak.., dan kalau Bapak tidak berkeberatan, saya akan membawa Istri, anak dan cucu saya, Biar agak ramai sekaligus untuk masak.., karena tempatnya agak jauh dari warung", jawab Pak Tus dengan wajah berseri.

"Yapi..., Pak..., saya tidak punya kendaraan.., lanjut Pak Tus dengan wajah agak sedih".

"Pak..., Tus..., soal kendaraan jangan terlalu di pikir, kita pakai Kijang saya saja.., dan Pak Tus boleh membawa semua keluarganya, asal mau berdesak-desakan di Kijang dan besok jam 10 pagi akan saya jemput ke rumah Pak Tus", sahutku dan Pak Tus dengan wajah berseri kembali lalu mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang.

Besok paginya sekitar jam 10 pagi aku menjemput ke rumah Pak Tus yang boleh dibilang rumah sangat sederhana. Di depan rumahnya aku disambut oleh Pak Tus dan Istrinya. Aku agak terkejut, karena Isrinya kelihatan jauh lebih muda dari yang kuduga. Dia kutaksir berumur sekitar 35 tahunan dan walau tinggal di kampung tapi sepertinya tidak ketinggalan jaman. Istri Pak Tus mengenakan rok dan baju agak ketat tanpa lengan serta ukuran dadanya sekitar 36C.

"silakan masuk..., Pak...", katanya hampir serentak,

"Ma'af Pak..., rumahnya jelek", sambung Pak Tus.

"Ah, Bapak dan Ibu.., bisa saja, Oh iya..., anak dan cucu nya apa jadi ikut?", sahutku sambil bertanya karena aku tidak melihat mereka.

"Oh..., si Aminah (mana disamarkan) sedang di belakang menyiapkan barang-barang bawaannya dan cucu saya tidak mau pisah dari ibunya", sahut Pak Tus. Tidak lama kemudian dari belakang muncul wanita muda yang tidak bisa dibilang jelek dengan tinggi sekitar 160 Cm serta memakai T shirt ketat sedang menggendong anak laki-laki dan tangan satunya menjinjing tas agak besar, mungkin berisi pakaian.

"Pak..", kata Pak Tus, yang membuatku agak kaget karena aku sempat terpesona dengan body Aminah yang yang aduhai serta berjalan dengan dada yang menantang walau ukuran dadanya boleh dibilang tidak besar.

"Paak..., ini kenalkan anak perempuan saya..., Aminah dan ini cucu saya Dodi". Kusambut uluran tangan Aminah serta kujabat tangannya yang terasa agak dingin dan setelah itu kucubit pipi Dodi.

"Ayo..., Pak...", ajak Pak Tus,

"Kita semua sudah siap dan bisa berangkat sekarang".

"Lho..., apa bapaknya Dodi tidak ikut..., Pak?,” tanyaku dan kulihat Pak Tus saling berpandangan dengan Istrinya, tapi yang menyahut malah Aminah.

"Enggak kok..., Pak..., dia lagi pergi jauh".

"Ayo..., lah kalau begitu..., kita bisa berangkat sekarang.., Pak", kataku walau aku masih ada tanda tanya besar dalam hatiku soal suami Aminah.

Sesampainya tempat yang dituju, aku jadi terkagum-kagum dengan kebun yang dimiliki Pak Tus yang cukup luas dan tertata rapi serta seluruhnya ditanami pohon buah-buahan, bahkan banyak yang sedang berbuah. Rumah yang boleh dibilang tidak besar, terletak di bagian belakang kebun itu. .

"Ayo..., Pak, kita beristirahat dulu di gubuk, nanti setelah itu kita bisa keliling kebun melihat pohon-pohon yang ada", kata bu Tus dan disambut dengan sahutan Pak Tus.

"Iyaa..., Pak..., silakan istirahat ke rumah dulu, biar Istri saya menyiapkan minum buat Bapak, sedang saya mau ketemu dengan yang menjaga kebun ini.” Lalu aku dan Bu Tus berjalan beriringan menuju rumahnya dan sepanjang perjalanan menuju rumah kupuji kalau kebunnya cukup luas serta terawat sangat baik.

"Aahh..., Bapak..., jangan terlalu memuji..., kebun begini.., kok dibilang bagus.., tapi inilah kekayaan kami satu-satunya dan peninggalan mertua", kata bu Tus yang selalu murah senyum itu. Ketika mendekati rumah, Bu Tus lalu berkata,

"silakan Pak..., masuk", dan aku segera katakan,

"silakan..., sambil bergeser sedikit untuk memberi jalan pada bu Tus.

Entah mengapa, kami berdua berjalan bersama masuk pintu rumah sehingga secara tidak sengaja tangan kiriku telah menyenggol bagian dada bu Tus yang menonjol dan kurasakan empuk sekali. Sambil kupandangi wajah bu Tus yang kelihatan memerah, segera kukatakan.

"Maaf..., bu..., saya tidak sengaja", Bu Tus tidak segera menjawab permintaan maafku, aku jadi merasa agak nggak enak dan takut dia marah, sehingga kuulangi lagi.

"Benar..., buu..., saya tidak sengaja...".

"Aahh.., Pak Pur.., saya nggak apa apa kok..., hanya..., agak kaget saja, lupakan.., Pak..., cuma gitu saja..., kok", kata bu Tus sambil tersenyum.

"Oh iya..., Bapak mau minum apa", tanya bu Tus.

"Terserah Ibu saja deh".

"Lhoo..., kok terserah saya..?".

"Air putih juga boleh kok bu".

Setelah bu Tus ke belakang, aku lalu duduk di ruang tamu sambil memperhatikan ruangan nya model rumah kuno tetapi terawat dengan baik. Tidak terlalu lama, kulihat bu Tus yang telah mengganti bajunya dengan baju terusan seperti baju untuk tidur yang longgar berjalan dari belakang sambil membawa baki berisi segelas teh dan sesampainya di meja tamu dimana aku duduk, bu Tus meletakkan gelas minuman untukku sambil sedikit membungkuk, sehingga dengan jelas terlihat dua gundukan besar yang menggantung didadanya yang tertutup BH dan bagian dalam badannya, membuat mataku sedikit melotot memperhatikannya.

"Iihh..., matanya Pak Puur..., kok..., nakal.., yaa", katanya sambil menyapukan tangannya dimukaku serta tersenyum.

Aku jadi agak malu dikatakan begitu dan untuk menutupi rasa maluku, aku jawab saja sambil agak bergurau.

"Habiis..., bu Tus berdirinya begitu..., sih. “

"Aahh..., bapak ini..., kok sepertinya..., belum pernah melihat seperti itu saja", sahut bu Tus yang masih berdiri di dekatku dan mencubit tanganku.

"Betul kok..., buu..., saya belum pernah melihat yang seperti itu, jadi boleh kan buu..., saya lihat lagi..?".

"aahh..., bapak..", kembali mencubitku tetapi sekarang di pipiku sambil terus berjalan ke belakang.

Setelah minuman kuhabiskan, aku lalu balik keluar menuju ke kebun dan ngobrol dengan pak Tus yang sedang membersihkan daun-daun yang berserakan. Selang berapa lama, kulihat bu Tus datang dari dalam rumah sambil membawa gulungan tikar dan setelah dekat lalu menggelar tikarnya di kebun sambil berkata kepada suaminya. "Paak..., kita ajak Pak Pur makan siang disini saja..., yaa", dan pak Tus tidak menjawab pertanyaan istrinya tetapi bertanya kepadaku.

"Nggak..., apa-apa..., kan.., paak.., makan di kebun..? Biar tambah nikmat".

"Nggak apa apa kok.., paak", jawabku.

Tidak lama kemudian dari arah rumah tetangganya, kulihat Aminah yang sudah mengganti bajunya dengan baju terusan yang longgar seperti ibunya datang membawa makanan dan sambil membungkuk meletakkan makanan itu di tikar dan aku yang sedang duduk di tikar itu kembali melihat buah yang menggantung di dada, dan sekarang dadanya Aminah. Kelihatan sekali kalau Aminah tidak mengenakan BH dan ukurannya tidak besar. Aminah tidak sadar kalau aku sedang memperhatikan buah dadanya dari celah bajunya pada saat menaruh dan menyusun makanan di tikar. Setelah Aminah pergi, sekarang datang Ibunya sambil membawa makanan lainnya dan ketika dia membungkuk menaruh makanan, kembali aku disungguhi pemandangan yang sama dan sekarang agak lama karena makanan yang disusun oleh Aminah, disusun kembali oleh bu Tus. Tidak kuduga, tiba-tiba bu Tus sambil tetap menyusun makanan lalu berkata agak berbisik, mungkin takut didengar oleh suaminya yang tetap masih bekerja membersihkan daun-daun tidak jauh dari tempatku duduk.

"Paak..., sudah puas melihatnyaa..?" . Lalu kudekatkan wajahku sambil membantu menyusun makanan dan kukatakan pelan,

"Beluum..., buu..., saya kepingin memegangnya dan menghisapnyaa". Bu Tus langsung mencubitkan tangannya di pahaku sambil berkata pelan,

"Awas..., yaa..., nanti saya gigit punya bapak.., baru tahu", sambil terus berjalan.

Sekarang muncul lagi Aminah dan kembali meletakkan makanan sambil membungkuk dan kembali terlihat buah dadanya dan kepingin rasanya kupegang. Rupanya Aminah tahu kalau aku sedang memperhatikan dadanya, lalu dia berbisik.

"Paakk..., matanya kok nakal..., yaa...", tapi tanpa menutupnya dan langsung saja kujawab,

"aam..., habis bagus siih..., pingin pegang...,boleh apa nggak?", Aminah hanya tersenyum sambil mencubit tanganku lalu pergi. Setelah itu kami berempat makan di tikar dan nikmat sekali rasanya makan di kebun dan setelah selesai makan, Aminah pamit untuk memberi makan anaknya di rumah bibinya. Ketika kutanyakan ke Pak Tus, kemana suaminya Aminah segera Pak Tus menceritakan keluarganya., bahwa Istri Pak Tus ini adalah adik kandung dari Istri pertamanya yang sudah meninggal dan Aminah adalah anak satu-satunya dari istri pertamanya. Sedang Aminah sudah bercerai dari suaminya pada saat Aminah hamil, suaminya meninggalkan begitu saja karena kawin dengan wanita lain. Tidak terasa kami ngobrol di kebun cukup lama dan mungkin karena hawanya agak dingin dan anginnya agak keras, aku merasa seperti sedang masuk angin.
Sementara Pak Tus dan istrinya membereskan sisa makan siang, aku memukul-mukul perutku untuk membuktikan apa benar aku sedang masuk angin dan ternyata benar. Perbuatanku memukul perut rupanya diketahui oleh Pak Tus dan istrinya.

"Kenapa paak..", tanya mereka hampir serentak.

"Nggak apa apa kok..., cuman masuk angin sedikit".

"Paak..., masuk angin kok..., dibilang nggak apa apa..", jawab Pak Tus

"Apa bapak biasa dikerokin", lanjutnya.

"Suka juga sih paak", jawabku.

"Buu..., biar saya yang beresin ini semua..., itu tolong kerokin dan pijetin Pak Puur, biar masuk anginnya hilang", kata Pak Tus.

"Oh..., iya.., Buu", lanjut Pak Tus,

"Habis ini saya mau mancing ikan di kali belakang, siapa tahu dapat ikan untuk makan malam nanti...".

"Pak Tuus..., nanti kalau masuk angin saya hilang, saya mau ikut mancing juga", kataku.

"Ayoo..., pak Puurr.., kita ke rumah..., biar saya kerokin di sana..., kalau di sini nanti malah bisa sakit beneran. Sesampainya di dalam rumah lalu bu Tus berkata,

"Paak..., silakan bapak ke kamar sini saja", sambil menunjuk salah satu kamar, dan "Saya ke belakang sebentar untuk mengambil uang untuk kerokannya". Tidak lama kemudian bu Tus muncul ke dalam kamar dan menutup pintunya dan menguncinya.

"Paak..., kerokannya di tempat tidur saja yaa..., dan tolong buka kaosnya". Setelah beberapa tempat di punggungku dikerokin, bu Tus berkomentar.

"Paakk..., rupanya bapak masuk angin beneran..., sampai merah semua badan bapak".

Setelah hampir seluruh punggungku dikerokin dan dipijitin, lalu bu Tus memintaku untuk tidur telentang.

"Paak..., sekarang tiduran telentang..., deh..., biar bisa saya pijitin agar angin yang di dada dan perut bisa keluar juga.”

Kuturuti permintaannya dan bu Tus naik ke tempat tidur di samping kiriku dan mulai memijit kedua bahuku. Dengan posisi memijit seperti ini, tentu saja kedua payudara bu Tus terlihat sangat jelas dan bahkan seringkali menyentuh wajahku sehingga mau tak mau membuat penisku menjadi tegang. Karena sudah tidak kuat menahan diri, kuberanikan untuk memegang kedua payudaranya dan bu Tus hanya berkata pelan.

"Jangaan..., paak...,” sambil tetap memijit bahuku.

"Kenapa buu...", tanyaku sambil melepas pegangan di payudaranya.

"Nggak..., apa apa kok..., paak", jawabnya pelan sambil tersenyum. Karena tidak ada kata-kata lainnya, maka kuberanikan lagi untuk menyelusupkan tangan kiriku ke dalam bajunya bagian bawah serta kupegang vaginanya dan kembali terdengar suara bu Tus.

"Paakk..., sshh..., jangaan..., aahh...", dan badannya dijatuhkan ke badanku serta bibirnya bertemu dengan bibirku
Dengan tidak sabar, lalu kuangkat rok terusannya ke atas dan kulepaskan dari kepalanya sehingga badannya telanjang hanya tertutup oleh BH dan CD saja, lalu segera badannya kubalik sehingga aku sekarang ada di atas badannya dan segera kaitan BH-nya kulepas sehingga tersembul buah dadanya yang besar. Kujilati dan kuhisap kedua payudaranya bergantian dan bu Tus hanya berdesah pelan.

"sshh..., aahh..., paak..., sshh...,” dan tangan kiriku kugunakan untuk melepas CD-nya dan kumasukkan jariku diantara belahan vaginanya yang sudah basah dan ini mungkin membuat bu Tus semakin keenakan dan terus mendesah.

"sshh..., aduuhh..., paakk..., sshh..., aahh".
Sambil tetap Kujilati payudaranya, sekarang kugunakan tanganku untuk melepas celana panjang dan CD-ku dan setelah berhasil, kembali kugunakan jari tanganku untuk mempermainkan vaginanya dan kembali kudengar desahannya.

"sshh..., aahh..., paak..., sshh..., ayoo.., paak", dan kurasakan bu Tus telah membukakan kedua kakinya agak lebar. Walau tidak bilang kurasa bu Tus sudah tidak tahan lagi, maka segera saja kuarahkan penisku ke arah vaginanya dan kedua tangannya telah melingkar erat di punggungku. Belum sempat aku siap-siap, "Bleess...", penisku masuk ke dalam vaginanya akibat bu Tus menekan kuat-kuat punggungku dan bu Tus berteriak agak keras,

"aahh..", sehingga terpaksa mulutnya segera kusumpal dengan bibirku agar teriakannya tidak terdengar sampai keluar kamar. Sambil kujilati payudaranya, aku menggerakkan pantatku naik turun sehingga penisku keluar masuk vaginanya dan menimbulkan bunyi. "prreett..., prreett..., prreett", dan dari mulut bu Tus terdengar desahan yang agak keras,

"Aahh..., sshh..., paak..., aahh..", dan tidak lama kemudian bu Tus semakin cepat menggerakkan pinggulnya dan tiba-tiba kedua kakinya dilingkarkan kuat-kuat di punggungku sehingga mempersulit gerakan keluar masuk penisku dan terdengar suaranya yang agak keras,

"aaduuhh.., sshh..., aahh..., aaduuhh..., paakk..., aarrhh..,” sambil menekan kuat-kuat badanku lalu bu Tus terdiam, dengan nafas yang cepat.
Untuk sementara, kudiamkan dulu sambil menunggu nafas bu Tus agak normal kembali dan tidak lama kemudian, sambil menciumi wajahku, bu Tus berkata.

"Paakk..., sudah lamaa..., saya..., tidak pernah seperti ini..., terima kasih..., paak". Setelah nafasnya kembali normal dan penisku masih tetap di dalam vaginanya, lalu kuminta bu Tus untuk menungging.

"Paak..., saya belum pernah seperti itu", katanya pelan.

"Nggak apa-apa kok buu..., nanti juga bisa", kataku sambil mencabut penisku dari vaginanya yang sangat basah. Kubalik badannya dan kuatur kakinya sehingga posisinya nungging, bu Tus hanya mengikuti kemauanku dan menaruh kepalanya di bantal. Lalu kudekatkan wajahku di dekat vaginanya dan kujulurkan lidahku ke dalam lubang vaginanya dan kupermainkan, sambil kupegang kedua bibir vaginanya, bu Tus hanya menggerakkan pantatnya pelan-pelan. Tetapi setelah bu Tus memalingkan kepalanya dan menengok ke arah bawah serta tahu apa yang kuperbuat, tiba-tiba bu Tus menjatuhkan badannya serta berkata agak keras,

"Paakk..., jangaan", sambil berusaha menarik badanku ke atas.

Terpaksa kudekati dia dan sambil kucium bibirnya yang mula-mula ditolaknya, lalu kutanya,

"Kenapa..., buu..?”

"Paakk..., jangaan..., itu kan kotoor..", Sambil agak berbisik, segera kutanyakan.

"Buu..., apa ibu belum pernah..., dijilati seperti tadi..?".

"Beluum.., pernah paak..", katanya.

"Buu..., nggak apa-apa.., kok..., coba deh..., pasti nanti ibu akan nikmat..", sambil kutelentangkan dan kutelisuri badannya dengan jilatan lidahku. Sesampainya di vaginanya, kulihat tangan bu Tus digunakan untuk menutupi vaginanya, tapi dengan pelan-pelan berhasil kupindahkan tangannya dan segera kuhisap clitorisnyanya yang membuat bu Tus menggelinjang dan mendesah.

"Paakk..., jangaann..., aahh..., aduuhh", tapi kedua tangannya malah diremaskan di kepalaku dan menekannya ke vaginanya. Kelihatannya bu Tus sudah tahu nikmat vaginanya dihisap dan dijilati, sehingga sekarang semakin sering kepalaku ditekan ke vaginanya disertai desahan-desahan halus,

"aahh..., sshh..., aahh..., aaccrrhh", seraya menggerak-gerakkan pinggulnya.

Jilatan serta hisapanku ke seluruh vagina bu Tus membuat gerakan pinggulnya semakin cepat dan remasan tangannya di rambutku semakin kuat dan tidak lama kemudian, lagi-lagi kedua kakinya dilingkarkan ke bahuku dan menjepitnya kuat-kuat disertai dengan desahan yang cukup keras

"aahh..., aaduuh..., sshh..., aaccrrhh..., paakk..., adduuhh..., aacrrhh. Kulihat bu Tus terdiam lagi dengan nafasnya yang terengah-engah sambil mencoba menarik badanku ke atas dan kuikuti tarikannya itu, sesampainya kepalaku di dekat kepalanya, bu Tus sambil masih terengah-engah mengatakan, .

"Paakk..., enaak..., sekalii..., paak..,. terima kasiih..". Pernyataannya itu tidak kutangapi tetapi aku berusaha memasukkan penisku ke dalam vaginanya, dan karena kakinya masih terbuka, maka penisku yang masih sangat tegang itu dapat masuk dengan mudah. Karena nafas bu Tus masih belum normal kembali, aku hanya menciumi wajahnya dan diam menunggu tanpa menggerakkan pinggulku, tetapi dalam keadaan diam seperti ini, terasa sekali penisku terhisap keras oleh vaginanya dan terasa sangat nikmat dan kubilang,

"Buu..., ituu..., Buu..., enaakk..., laggii..., buu", dan mungkin ingin membuatku keenakan, kurasakan sedotannya semakin keras saja dan,

"Buu..., teruuss..., buu..., enaakk.., aaduuh". Setelah nafasnya kembali normal, lalu kuangkat kedua kaki bu Tus dan kutempatkan di atas bahuku dan bu Tus hanya diam saja mengikuti kemauanku.

Dengan posisi begini, terasa penisku semakin dalam menusuk ke vaginanya dan ketika penisku kuhentakkan keluar masuk vaginanya, bu Tus kembali berdesah,

"Aahh..., Paakk..., enaakk..., Paakk..., aahh..., sshh", dan akupun yang sudah hampir mendekati klimaks ikut berdesah,

"aahh..., sshh..., aaccrrhh..., Buu.., aahh", sambil mempercepat gerakan penisku keluar masuk vaginanya dan ketika aku sudah tidak dapat menahan air maniku segera saja kukatakan,

"Buu..., Buu..., saayaa..., sudah mau keluar..., aahh..., taahaan..., yaa..., Buu..", dan bu Tus sambil memelukku kuat-kuat, menganggapinya dengan mengatakan,

"Paakk..., ayoo..., cepaatt..., Paakk...", dan kutekan penisku kuat-kuat menusuk vaginanya sambil berteriak agak keras,

"aahh..., aacrrhh..., bbuu..., aahh..", Aku sudah tidak memperhatikan lagi apa yang diteriakkan bu Tus dan yang aku dengar dengan nafasnya yang terengah-engah bu Tus menciumi wajahku sambil berkata,

"Teriimaa..., kasiih..., paakk..., saayyaa..., capeek..., sekali.., paakk". Setelah istirahat sebentar dan nafas kami kembali agak normal, bu Tus mengambil CD-nya dan dibersihkannya penisku dengan hati-hati. Aku segera mengenakan pakaianku dan keluar menuju sungai untuk menemani pak Tus memancing.

"Sudah dapat berapa Paak ikannya..", tanyaku setelah dekat.

"ooh..., bapaak..., sudah tidak masuk angin lagi..., paak..?", dan lanjutnya,

"Lumayan paak.., sudah dapat beberapa ekor dan bisa kita bakar nanti malam.”


Ke Bagian 2