watch sexy videos at nza-vids!

 

Bu Tus Dan Anaknya Aminah

Sambungan Dari Bagian 1 Dengan Bu Tus

Bagian 2 Dengan Aminah Anak Bu Tus

Malam harinya setelah makan dengan ikan bakar hasil pancingannya pak Tus, kami berempat hanya ngobrol di dalam rumah dan suasananya betul-betul sepi karena tidak ada TV ataupun radio, yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang kecil dan walaupun sudah di dalam rumah tetapi hawanya terasa dingin sekali, maklum saja karena kebun pak Tus berada di kaki bukit. Sambil ngobrol kutanyakan pada Aminah,

"Aam..., ke mana anaknya..? Kok dari tadi tidak kelihatan"

"oohh..., sudah tidur paak", katanya.

Karena suasana yang sepi ini, membuat orang jadi cepat ngantuk dan benar saja tidak lama kemudian Aminah pamit mau tidur duluan. Sebetulnya aku juga sudah mengantuk demikian juga kulihat mata bu Tus sudah layu, tetapi karena pak Tus masih bersemangat untuk ngobrol maka obrolan kami lanjutkan bertiga. Tidak lama kemudian, bu Tus juga pamit untuk tidur duluan dan mungkin pak Tus melihatku menguap beberapa kali, lalu pak Tus berkata padaku,

"Paak..., lebih baik kita juga nyusul tidur".

"Betul..., paak, karena hawanya dingin membuat orang cepat mengantuk", jawabku.

"ooh..., iyaa..., paak.., silakan bapak tidur di kamar yang sebelah depan", kata pak Tus sambil menunjuk arah kamar dan lanjutnya lagi,

"Maaf..., yaa.., paakk.., rumahnya kecil dan kotor lagi".

"aahh..., pak Tus..., ini selalu begitu",jawabku.

Aku segera bangkit dari dudukku dan berjalan menuju kamar depan yang ditunjuk oleh pak Tus. Tetapi setelah masuk ke kamar yang ditunjuk oleh pak Tus, aku jadi sangat terkejut karena di kamar itu telah ada penghuninya yang telah tidur terlebih dahulu yaitu Aminah dan anaknya. Karena takut salah kamar, aku segera keluar kembali untuk menanyakan kepada pak Tus yang kebetulan baru datang dari arah belakang rumah, lalu segera kutanyakan,

"Maaf..., paak..., apa saya tidak masuk kamar yang salah?", kataku sambil menunjuk kamar dan pak Tus langsung saja menjawab,

"Betuul..., paak..., dan maaf kalau Aminah dan anaknya tidur di situ..., habis kamarnya hanya dua..., mudah-mudahan mereka tidak mengganggu tidur bapak", kata pak Tus.

"ooh..., ya sudah kalau begitu paak..., saya hanya takut salah masuk kamar..., oke kalau begitu paak..., selamat malaam".

Aku segera kembali masuk ke kamar dan menguncinya.

Dalam kamar ini mempunyai hanya satu tempat tidur yang lebar dan Aminah serta anaknya tidur disalah satu sisi, tetapi anaknya ditaruh di sebelah pinggir tempat tidur dan dijaga dengan sebuah bantal agar supaya tidak jatuh.

Setelah aku ganti pakaianku dengan sarung dan kaos oblong, pelan-pelan aku menaiki tempat tidur agar keduanya tidak terganggu dan aku mencoba memejamkan mataku agar cepat tidur dan tidak mempunyai pikiran macam-macam, apalagi badanku terasa lelah sekali. Baru saja aku akan terlelap, aku terjaga dan kaget karena dadaku tertimpa tangan Aminah yang merubah posisi tidurnya menjadi telentang. Aku jadi penasaran, ini sengaja apa kebetulan tetapi setelah kulirik ternyata nafas Aminah sangat teratur sehingga aku yakin kalau Aminah memang telah tidur lelap, tetapi kantukku menjadi hilang melihat cara Aminah tidur. Mungkin sewaktu tidur tadi dia lupa mengancingkan rok atasnya sehingga agak tersingkap dan belahan dada yang putih terlihat jelas dan rok bawahnya tersingkap sebagian, hingga pahanya yang mulus itu terlihat jelas. Hal ini membuat kantukku hilang sama sekali dan membuat penisku menjadi tegang. Kepingin rasanya memegang badannya, tetapi aku takut kalau dia berteriak dan akan membangunkan seluruh rumah. Setelah kuperhatikan sejenak lalu kugeser tubuhku menjauh sehingga tangannya yang berada di dadaku terjatuh di samping badannya dan kudengar Aminah menarik nafas panjang seperti terjaga.

Setelah kudiamkan sejenak, seolah mengganti posisi tidur lalu kumiringkan tidurku menghadap ke arahnya dan kujatuhkan tangan kiriku pelan-pelan tepat di atas buah dadanya. Aminah tidak bereaksi jadi aku mempunyai kesimpulan kalau dia memang telah tidur nyenyak sekali. Perasaanku semakin tidak menentu apalagi tangan kiriku berada di badannya yang paling empuk, tetapi aku tidak berani berbuat lebih jauh, takut Aminah jadi kaget dan berteriak. Aku berpikir harus bagaimana agar Aminah tidak kaget, tetapi belum sempat aku menemukan apa yang akan kulakukan, Aminah bergerak lagi mengganti posisi tidurnya dan sekarang menghadap ke arahku dan tangan kanannya dipelukkan di pinggangku. Dengan posisi ini, wajahnya sudah sangat dekat dengan wajahku, sehingga nafasnya terasa menyembur ke arahku. Dengan posisi wajahnya yang sudah sangat dekat ini, perasaanku sudah semakin kacau dan penisku juga sudah semakin tegang, lalu tanpa kupikir panjang kulekatkan bibirku pelan-pelan di bibirnya, tetapi tanpa kuduga Aminah langsung memelukku erat sambil berbisik,

"Paakk..", dan langsung saja dengan sangat bernafsu mencium bibirku dan tentu saja kesempatan ini tidak kusia-siakan.

Sambil berciuman, kupergunakan tangan kiriku untuk mengusap-usap dahi dan rambutnya. Aminah sangat aktif dan bernafsu serta melepaskan ciuman di bibir dan mengalihkan ciumannya ke seluruh wajahku dan ketika menciumi di dekat telingaku, dia membisikkan,

“Paak..., sshh..., cepaatt..., Paakk..., toloong..., puasiinn..., am.., Paakk..,sshh", setelah itu dia mengulum telingaku. Setelah aku ada kesempatan mencium telinganya, aku segera mengatakan,

"Aamm..., kita pindahkan Dody di bawah..., yaa", dan Aminah langsung saja menjawab,

"Yaa..., paak", dan segera saja aku melepaskan diri dan bangun menyusun batal di bawah dan kutidurkan dody di bawah. Selagi aku sibuk memindahkan Dody, kulihat Aminah membuka pakaian dan BH-nya dan hanya tinggal memakai CD berwarna merah muda dan kulihat buah dadanya yang boleh dibilang kecil dan masih tegang, sehingga sulit dipercaya kalau dia sudah pernah kawin dan mempunyai anak. Aku langsung saja melepaskan semua pakaian termasuk CD-ku dan baru saja aku melepas CD-ku,
langsung saja aku diterkam oleh Aminah dan kembali kami berciuman sambil kubimbing dia ke tempat tidur dan kutidurkan telentang.

"Ayoo..., Paak...", kembali Aminah berbisik di telingaku,

"Am..., sudah..., tidak tahaan..., paak". Aminah sepertinya sudah tidak sabar saja, ini barangkali karena dia sudah lama cerai dan tidak ada laki-laki yang menyentuhnya, tetapi permintaannya itu tidak aku turuti. Pelan-pelan kualihkan ciumanku di bibirnya ke payudaranya dan ketika kusentuh payudaranya dengan lidahku, terasa badannya menggelinjang dan terus saja kuhisap-hisap puting susunya yang kecil, sehingga Aminah secara tidak sadar mendesah,

"Sshh..., aahh..., Paakk.., aduuh..., sshh",
dan seluruh badannya yang berada di bawahku bergerak secara liar. Sambil tetap kijilati dan kuhisap payudaranya, kuturunkan CD-nya dan kupermainkan vaginanya yang sudah basah sekali dan desahannya kembali terdengar,

"sshh..., aahh..., ayoo..., paak.., aduuh.., paak", seperti menyuruhku untuk segera memasukkan penisku ke vaginanya. Aku tidak segera memenuhi permintaannya, karena aku lebih tertarik untuk menghisap vaginanya yang kembung menonjol dan tidak berbulu sama sekali.

Segera saja kulepaskan hisapanku di payudaranya dan aku pindahkan badanku diantara kedua kakinya yang telah kulebarkan dahulu dan ketika lidahku kujilatkan di sepanjang belahan bibir vaginanya yang basah dan terasa agak asin, Aminah tergelinjang dengan keras dan mengangkat-angkat pantatnya dan kedua tangannya mencengkeram keras di kasur sambil mendesah agak keras, "aahh..., Paakk..., adduuhh.., paak. Aku teruskan jilatan dan hisapan di seluruh vagina Aminah sambil kedua bibir vaginanya kupegangi dan kupermainkan, sehingga gerakan badan Aminah semakin menggila dan tangannya sekarang sudah tidak meremas kasur lagi melainkan meremas rambut di kepalaku dan menekan ke vaginanya dan tidak lama kemudian terdengar Aminah mengucap, "Aaduuhh..., adduuh..., Paak..., aahh..., aduuh.., aahh.., paak", dan badannya menggelepar-gelepar tidak karuan, lalu terdiam dengan nafas terengah-engah, tetapi dengan masih tetap meremasi rambutku. Aku hentikan jilatanku di vaginanya dan merayap keatas lalu kucium dahinya, sedangkan Aminah dengan nafasnya yang masih terengah-engah menciumi seluruh wajahku sambil memanggilku,

"Paakk..., paak", entah untuk apa. Ketika nafas Aminah sudah mulai agak teratur, lalu kutanya,

"aam.., boleh kumasukkan sekarang.., aam..", Aminah tidak segera menjawab hanya terus menciumi wajahku, tetapi tak lama kemudian terdengar suara pelan di telingaku,

"Paak..., pelaan..., pelaan..., yaa..., Paak", dan dengan tidak sabar lalu kupegang batang penisku dan kugesek gesekan pada belahan vaginanya dengan sedikit kutekan dan ketika kuanggap pas di lubang vaginanya, segera kutekan pelan-pelan dan Aminah sedikit mengeluh,

"Paak..., sakiit..., paak".

Mendengar keluhannya ini, segera kuhentikan tusukan penisku ke vaginanya. Sambil kucium dahinya, kembali ketekan penisku pelan-pelan dan terasa kepala penisku masuk sedikit demi sedikit ke lubang vaginanya dan lagi-lagi terpaksa gerakan penisku kuhentikan, ketika Aminah mengeluh,

"Adduuh..., paak..". Setelah kudiamkan sebentar dan Aminah tidak mengeluh lagi, kuangkat penisku keluar dari vaginanya dan kembali kutusukkan pelan-pelan, ketika penisku terasa masuk, kulihat wajah Aminah hanya mengerenyit sedikit tetapi tidak ada keluhan, sehingga kembali kutusukkan penisku lebih dalam dan,

"Bleess..", masuk disertai dengan teriakan Aminah,

"Aduuh..., paak", dan tangannya mencengkeram pantatku, terpaksa penisku yang sudah masuk sebagian kutahan dan kudiamkan di tempatnya
Tidak lama kemudian, terasa tangan Aminah menekan pantatku pelan-pelan dan kembali kutekan penisku sehingga sekarang sudah masuk semua dengan tanpa ada keluhan dari Aminah.
"Aam..., masih sakiitt..?", Tanyaku dan Aminah hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Karena Aminah sudah tidak merasakan kesakitan lagi, segera saja aku mulai menggerakkan penisku pelan-pelan keluar masuk vaginanya, sedangkan Aminah hanya mengelus-eluskan tangannya di punggungku.
Makin lama gerakan penisku kupercepat dan Aminah mulai ikut menggerakkan pinggulnya sambil bersuara,
"aahh..., sshh..., aahh..., aahh..., sshh..., teruus..., Paak". Aku tidak menuruti permintaannya dan segera kuhentikan gerakan penisku dan kucabut keluar dari vaginanya dan Aminah kelihatannya memprotes kelakuanku,
"Paak..., kenapaa..". Aku tidak menjawab protesnya tetapi kubilang,
"aam..., coba sekarang Aminah berbalik dan nungging".
Aminah menuruti permintaanku tanpa protes dan setelah kuatur kakinya, secara pelan-pelan kutusukkan penisku ke dalam vaginanya dari belakang dan kutekan agak kuat sehingga membuat Aminah berteriak kecil,
"aahh..", dan segera kugerakkan penisku keluar masuk vaginanya dan Aminah bersuara,
"aahh..., oohh..., aah..., ooh..., aahh", seirama dengan kocokan penisku keluar masuk. Tidak lama kemudian kudengar keluhan Aminah,
"Paak..., aam..., capeek..., paak", sambil terus menjatuhkan badannya tengkurap, sehingga penisku jadi lepas dari vaginanya.
Langsung badan Aminah kubalik telentang dan kembali kutancapkan penisku dengan mudah ke dalam vaginanya yang masih tetap basah dan kuayun keluar masuk, sehingga membuat Aminah merasa keenakan dan mendesah,
"aahh..., oohh..., sshh..., aahh..., ssh", demikian juga aku.
Setelah beberapa saat, lalu kuhentikan gerakan senjataku dan kubalik badanku sehingga posisi Aminah sekarang berada di atas.
"aam..., sekarang Aminah yang maiin..., yaa..., biar aku juga enaak", kataku.
Mula-mula Aminah hanya diam saja, mungkin malu tetapi lama-lama mulai mau menggerakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah sehingga vaginanya menelan penisku sampai habis dan gerakannya semakin lama semakin cepat yang membuatku semakin keenakan,
"aahh..., sshh..., aamm.., truus..., aam..., enaak.., aam", dan Aminah hanya mendesah,
"aahh..., oohh..., aahh..". Karena gerakan Aminah semakin cepat, membuatku semakin mendekati klimaks dan segera saja kukatakan,
"Aam..., sshh..., ayoo..., aam..., sayaa..., sudah mau keluaar.., cepaat.., aam".
"Paak..., ayoo.., kita.., sama samaa", katanya sambil mempercepat gerakan pinggulnya ke atas dan ke bawah dan akhirnya aku sudah nggak kuat menahan air maniku supaya tidak keluar dan,
"Aam..., sekaraang", kataku cepat sambil kutekan pinggulnya kuat-kuat dan Aminah hanya berteriak,
"aahh", dan terus sama-sama terdiam dengan nafas terengah-engah. Kami berdua lalu tidur dengan penisku tetap masih berada di dalam vaginanya.
Pagi harinya, ketika aku makan pagi ditemani oleh bu Tus sendiri dan Pak Tus katanya sedang ke kebun dan Aminah sedang menyuapi anaknya di depan, bu Tus bertanya,

"Paak..., apa benar..., suami saya..., akan di PHK?".
Aku jadi sangat terkejut dengan pertanyaan itu, karena setahuku belum ada orang lain yang kuberitahu, kecuali pimpinanku dan sekretaris yang kusuruh menyiapkan surat-surat.
"Buu..., lebih baik kita bicarakan dengan Bapak sekalian agar bisa tuntas. Ayoo..., kita temui Bapak di kebun
” ajakku.
Karena Pak Tus sudah tahu dan mungkin dari sekretaris kantor, lalu aku terangkan semuanya dan apa yang menjadi pertimbanganku dan yang lebih penting soal pesangonnya yang spesial dan cukup besar.
Pada mulanya, di wajah Pak Tus kulihat ada perasaan kurang senang, tetapi setelah kuberikan penjelasan dan kuberitahu besar uang pesangonnya, Pak Tus dengan wajah berseri malah berbalik bertanya,
"Paak..., kapan uang pesangonnya bisa diambil..., saya mau gunakan untuk kebun saya ini dan ditabung".
Aku jadi lega bisa menyelesaikan masalah ini dan sekaligus dapat vaginanya bu Tus dan Aminah.
Siangnya kami kembali ke Indramayu dan sesampainya di rumah mereka, Pak Tus mengatakan,
"Paak..., jangan kapok..., ya paak", dan kujawab,
"Paak..., pokoknya kalau Pak Tus ajak lagi..., saya akan ikut", sambil aku melihat bu Tus yang tersenyum penuh arti.


Bersambung ke Bagian 3