watch sexy videos at nza-vids!

 


BUDHE LILIS bagian 1

Bulan Desember ini aku dapat jatah cuti tahunan. Kesempatan baik untuk pulang kampung jumpa keluarga di Solo. Karena hanya kesempatan cuti tahunan aku dapat pulang, karena Lebaran kena piket maklum pekerjaanku melayani masyarakat jadinya nggak libur.
Dengan kereta api Argo Lawu, aku berangkat menuju Solo. Hari mulai senja ketika kereta melaju meninggalkan stasiun.
Karena bukan liburan, penumpang kereta tidak padat. Hanya beberapa orang yang ada di gerbong ini. Tepat di sampingku duduk seorang wanita setengah baya. Dengan mengenakan terusan panjang berwarna merah, rambut tergelung rapi, berkaca mata tipis, menampakkan ciri seorang ibu yang lemah lembut. Senyum selalu tersungging manis menghiasi bibirnya.
Untuk mencairkan suasana aku mulai membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diriku
“Maaf bu, kenalkan... saya Andi” sambil ku ulurkan tangan, ibu itu menyambut dan memperkenalkan dirinya
“Lilis...” jawabnya singkat
“Ibu juga mau ke Solo ya...?”
“He-eh.... barusan nengok keponakan di Bandung”
“Oh...”
“Adik sendiri mau ke Solo juga... ?”
“Iya bu..... cuti tahunan....”
Pembicaraan untuk mengisi kekosongan mulai mengalir mencairkan suasana. Menurutku ibu Lilis adalah orang yang enak untuk diajak bicara walaupun kami baru saja kenal. Tidak ceriwis, tertawapun seakan ditahan, bicara dengan lemah lembut ciri khas wanita Solo. Di usia 43 tahun guratan wajah tidak menampakkan ketuaannya, juga bentuk tubuh yang masih kencang meskipun tidak terlalu menonjol.
Malam kian larut, lampu penerangan di gerbong kami mulai dipadamkan. Aku mempersilakan ibu Lilis untuk istirahat setelah bantal dan selimut aku serahkan. Karena capai akupun mulai merasakan kantuk. Dan kulihat ibu Lilis sudah terlelap dengan nafas teratur lembut.
Waktu menunjukkan pukul 01.10, udara AC semakin dingin mengigit tulang. Ku lihat ibu Lilis merasa gelisah dan berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.
“Dik Andi..... Dik......”
“Ya bu....”
“Maaf..... tolong AC-nya dikecilin.... ibu kedinginan”
aku berdiri dan berusaha mengecilkan AC, tetapi kisi-kisi anginnya macet jadi percuma.
“Kisinya macet bu... maaf tidak bisa dikecilin”
“Walah... kalau begini pasti pinginnya pipis terus...”
Ibupun kembali menarik selimut menutupi tubuhnya dan kembali bersandar pada bantal.
Sepuluh menit berlalu, tiba-tiba ibu Lilis kembali terbangun.
“Dik Andi.... tolong anterin ibu ke kamar mandi... pingin pipis..... ibu takut pergi sendiri” katanya sambil memgangi perutnya.
“Kebetulan bu.... Andi juga pingin pipis....”
Akupun segera berdiri untuk memberi jalan kepadanya. Berdua kami menuju ke kamar mandi di belakang gerbong. Terasa sepi, karena para penumpang sudah tertidur dibuai mimpi.
“Silahkan ibu duluan.....”
“Maaf pintunya tak usah ditutup ya.....?” katanya pelan.
“Tidak usah takut bu.... kan ada Andi”
“Dik Andi jangan berdiri jauh-jauh...”
“Iya bu...” kata ku sambil membelakangi pintu kamar mandi sambil menahan pipis.
Beberapa saat terdengar desiran air. Wow lama juga ibu Lilis kencingnya, berarti sudah dari tadi beliau menahan pipisnya. Setelah itu terdengar suara air disiramkan.
“Silahkan dik Andi......”
“Sudah bu..... aku sudah nggak tahan.....” kataku tergesa masuk ke kamar mandi.
Dengan segera ku buka reslueting celana dan mengeluarkan kemaluanku untuk segera membuang air kemih yang sudah tak tertahankan. Setelah selesai aku mengguyur lantai kamar mandi dan membasuh ujung kemaluanku dari sisa-sisa air kencing. Tanpa kusadari bahwa di belakangku sepasang mata menatap dengan terkesima. Setelah selesai dan kemaluanku sudah berada pada tempatnya, akupun berbalik. Dan kulihat wajah bu Lilis merah padam menahan malu.
“Bu.....” sapaku mengejutkannya
“Oh... maaf....” katanya sambil menunduk
Kamipun berjalan kembali ke tempat duduk kami. Hening menyelimuti suasana, hanya suara roda kereta yang tak pernah diam.
“Maaf dik Andi.....” ibu Lilis membuka pembicaraan
“Ya bu...”
“Sekali lagi maaf.... apakah memang segitu ukuran kemaluan di Andi ?”
Aku kaget bukan kepalang mendapat pertanyaan ibu Lilis yang polos. Tidak kukira dibalik wajah keibuan ternyata tersimpan keliaran.
“Maksud ibu.... ?” aku balik bertanya
“Iya... ibu sempat lihat kemaluan di Andi waktu pipis tadi, apa ukurannya memang sudah segede itu....?”
“Oh..., maaf bu.... karena dari tadi menahan pipis jadinya Andi sempat ereksi sedikit....” jawabku malu, “Memangnya kenapa bu ?”
“Nggak, ibu kirain tidak sedang ereksi.... pikir ibu kalau tidak ereksi saja segitu gede apalagi kalau ereksi.....”
“Ah... ibu ada-ada saja...”
“Nggak usah malu dik Andi.... kita kan sudah sama-sama dewasa..... biasa sajalah”
“Iya bu....” jawabku singkat
Kembali kami terdiam dan ibu Lilis mempersiapkan diri untuk tidur. Ditariknya selimut menutupi seluruh badannya menahan dinginnya udara. Belum berapa lama ibu Lilis tertidur, kembali terbangun dan memohon kepadaku untuk menemaninya ke kamar mandi.
Seperti tadi, pintu kamar mandi sengaja tidak ditutup. Aku berdiri menunggu di depan pintu, tapi sekarang aku sengaja menghadap ke dalam kamar mandi dan menyaksikan semua kegiatan ibu Lilis. Dari mulai mengangkat rok panjangnya, menurunkan celana dalam, jongkok dan kemudian pipis. Terlihat mulusnya pantat ibu Lilis membuat kemaluanku ereksi.
“Sudah dik Andi... ibu sudah selesai... dik Andi mau pipis juga.... ?”
“Nggak bu.......”
“Waah... kemaluan dik Andi ereksi ya... ?” katanya sambil menatap ke arah kemaluanku.
“Iya bu... “ jawabku malu-malu

“Habis lihat pantat mulus, peralatan yang satu ini langsung bereaksi...”
“Berarti dik Andi masih normal.... kalau tidak ereksi malah perlu dicurigai.....” katanya tersenyum.
Kembali ke tempat duduk, kami mulai memakai selimut kembali. Tiba-tiba tangan bu Lilis menyusup ke dalam selimutku dan meraba kemaluanku. Berani juga nih orang, sekali lagi di balik wajah keibuan dan kesopanannya terdapat sesuatu yang tidak terduga.
“Masih ereksi ya.....?” bisiknya
“Iya bu.... kalau belum dikeluarin pasti nggak mau turun...” jawabku.
“Mau ibu bantu.....?”
“Ah... nggak usah bu, nanti Andi keluarin sendiri saja...” jawabku sungkan walau sebenarnya ingin juga
“Wah...dik Andi sering onani juga ya...?”
“Sering sih tidak bu... tapi kalau pas ereksi begini apa boleh buat.... hanya itu jalan satu-satunya...”
“Betul dik Andi, ibu sering sekali tiba-tiba ‘kepingin’ sedang suami ibu sudah tidak mampu lagi ereksi, maklum beliau punya penyakit gula, ibupun melakukan masturbasi untuk menuntaskannya” wajahnya menerawang jauh.
“Ibu sering masturbasi juga ya.....”
“Hanya itu yang dapat ibu lakukan.....” jawab bu Lilis dengan nada sedih
“Maaf jika pertanyaan Andi membuat ibu sedih..”
“Nggak kok.... memang kenyataannya seperti itu....” jawab bu Lilis dengan sedikit senyum,

”Sana gih.... dikeluarin dulu... nanti perut dik Andi mules lho...”
“Ntar aja bu.... dari pada kelamaan onaninya... lagian Andi nggak bawa sabun....” jelasku
“Tuh kan.... mau pakai baby oil ?” kata bu Lilis.

Dan diambilnya botol baby oil dari dalam tas tangannya,

”Pakai ini dik... biar kemaluannya nggak perih...”
“Terima kasih bu.....” jawabku sambil menerima baby oil dari tangan bu Lilis,

”Ibu berani duduk sendirian di sini...?”
“Iya ya.... kalau begitu ibu ikut ke belakang ya... ?” pintanya memelas.
“Maaf bu... daripada ibu harus berdiri nungguin Andi onani di kamar mandi, lebih baik Andi lakukan di sini saja......”
“Oh ya... begitu juga bagus... hasrat dik Andi tersalurkan..... dan ibu tidak ketakutan...”
Mendapat lampu hijau dari bu Lilis, akupun segera membuka ikat pinggang. Dengan sedikit menarik celana dalam aku keluarkan kemaluan yang sudah mengeras.
Baby oil aku tuangkan diatas telapak tangan kananku, dengan segera aku lumurkan ke seluruh permukaan kemaluanku. Di balik selimut tanganku mulai bekerja naik turun mengurut batang kemaluan.
Ku lihat ibu Lilis menyadandarkan kepalanya pada bantal di permukaan jendela kaca, seingga posisi wajahnya sedikit serong ke arahku. Sesekali mata ibu Lilis melirik ke arah tanganku yang sedang melakukan onani di balik selimut. Tampak tonjolan kemaluanku yang mengeras mencuat di balik selimut seiring dengan guncangan tangan. Nafasku mulai tidak teratur merasakan rangsangan itu.
Kuperhatikan juga bahwa bu Lilis mulai terangsang dengan apa yang dilihatnya. Terbukti dengan kegelisahan dan tarikan nafas panjang sesekali. Aku cuek saja dan tetap pada kegiatan onaniku.
Ditengah kesibukkanku beronani, tiba-tiba ibu Lilis bangkit berdiri dari duduknya, diangkat rok panjangnya dan dengan segera melepas celana dalam kemudian kebali duduk serta menutupi tubuh bagian bawahnya dengan selimut. Ibu Lilis membuka paha lebar-lebar, tangan kanannya mulai aktif meraba kemaluan dan tangan kiri melalukan remasan pada payudara kecilnya.
Desahan nafas kami memburu, berdua kami berpacu dengan nafsu untuk mencapai puncak orgasme. Aku mulai merasakan denyutan-denyutan pada kemaluanku pertanda orgasmeku sudah semakin dekat. Bu Lilis pun semakin cepat menggosokkan tangannya pada kemaluannya.
“Ouughh... aagghhh.... !!!” sperma memancar dari kemaluanku sebagai puncak dari orgasme. Tak lama kemudian bu Lilis menggigit bantal menahan orgasme hebat yang melandanya,

” Heeghhh... Eeehhhh.......”
Tubuhnya mengejang beberapa kali, dan diakhiri dengan lemasnya tubuh beliau. Dilepaskan bantal dari wajahnya, dengan mata terpejam dan nafas memburu ibu Lilis menikmati sisa-sisa orgasmenya.
Setelah semua selesai, kami membersihkan kemaluan masing-masing dengan tissue basah milik bu Lilis.
“Wuaduh.... lega rasanya dik..... ibu nggak tahan lihat dik Andi onani.... maklum baru kali ini lihat orang lain melakukan onani di depan ibu.....” bu Lilis tersenyum manis.
“Andi juga sudah plong... bu...”
Kamipun segera tertidur karena kelelahan setelah melakukan masturbasi.
Sesampai di stasiun Balapan Solo, kami berpisah. Tidak ada kata yang kami ucapkan, hanya salam perpisahan yang mengakhiri perjalanan kami ini. Dengan Taxi aku menuju ke rumah, dimana kedua orang tua dan adikku sudah menunggu.
Sudah dua hari aku berada di Kota Solo, aku sempatkan untuk rilex mengabaikan rutinitas yang membosankan di Bandung. Rasa kangen terhadap keluarga dan saudara sudah terhapuskan. Dan kini rasa kangenku untuk bertemu Pak Dhe Bekti sangat kuat, maklum kakak dari ayahku ini punya andil besar di dalam kehidupanku. Semenjak Budhe Bekti wafat aku belum bertemu lagi dengan beliau, hanya kabar dari ayah yang menyatakan jika pakdhe Bekti sakit-sakitan.
Sore ini aku minta ijin orang tuaku untuk berkunjung ke rumah pakdhe. Untuk mengobati rasa kangen aku berencana untuk bermalam di rumah beliau.
Dengan mengendarai sepeda motor milik adikku, kutempuh jalan Kota Solo yang mulai padat lalu-lintas.
Sesampai di rumah pakdhe waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, dan kudapati pintu rumah terkunci rapat. Karena sejak kecil aku sering bermain di rumah ini, jadi aku tahu betul dimana letak kamar pakdhe. Lewat samping rumah aku langsung menuju ke belakang rumah dimana kamar beliau berada. Dari jendela yang terbuka aku melihat kamar itu kosong. Aku teruskan langkah menuju ke belakang ke arah dapur. Terlihat pintu dapur juga tertutup rapat, tetapi samar-samar kudengar suara lirih desahan nafas. Kurapatkan telingaku pada pintu dapur. Semakin jelas terdengar desahan nafas wanita yang sedang dilanda nafsu birahi. Semakin lama terdengar semakin menggairahkan.
“Yemm.... terusss... yemmm.... oougghhh....” jelas sekali wanita ini mengalami sensasi yang luar biasa,

”Liiidaahmu... tteerruss... jjaarriiimmuuu .....OhhhYa... diii siituuu Yemmm... terruss... hhgghh... eennak .... Yeemmm” suara desahan semakin hebat,

”Cepattt... Yemm... ceeepaatt.... aakku... keellll.... oouugghh.... aahhhh”.
Wow jeritan kecil menandai orgasmenya, terdengar nafas yang ngos-ngosan tidak teratur.
“Ttteerima kasih Yem..... kamu semakin pinter” entah suara siapa, aku sendiri masih penasaran.
“Iya ndoro...” jawab wanita yang lain, yang ini jelas pembantu rumah tangga di rumah pakdhe.
Dengan segera aku meninggalkan bagian belakang rumah, kembali ke pintu depan.
“Nuwun.... kulo nuwun.....” dengan sedikit teriak dan ketukan pintu agak keras, dengan harapan ada yang mendengar.
Tak lama terdengar anak kunci diputar dan terbukalah pintu utama. Ku lihat pakdhe Bekti tepat di depanku dengan wajah tegang dan badan berkeringat.
“Selamat sore pakdhe...” ucapku
“Hee kamu nDi... kapan datang dari Bandung....?” jawab pakdhe Bekti penuh semangat.
“Kemarin pagi dhe....”
“Ayo masuk..... wahh pakdhe kangen banget.... sudah lama kamu tidak kemari.....” dipeluknya tubuhku dengan erat sebagai tanda kasih dan kangennya.
Kami berdua memasuki ruang tamu yang luas, maklum rumah pakdhe Bekti termasuk rumah kuno sehingga ukuran ruangan serba luas.
“Duduk nDi.... waahhh sekarang kamu tambah cakep....”
“Ahhh pakdhe bisa saja....”
“Betul lho .... pakdhe tidak ngapusi....” katanya sambil tertawa lepas. Kami duduk berhadap-hadapan dibatasi meja tamu.
“Yem.... buatin kopi Yem.... ada tamu dari jauh nih...” teriak pakdhe.
“Ndak usah repot-repot dhe....” aku berbasa-basi.
Beberapa menit kemudian muncul seorang wanita muda dari arah dapur membawa baki berisi kopi hangat dan sepiring pisang goreng.
“Trima kasih Yem.... kamu masih ingat ndak sama orang ini ?” kata pakdhe kepada wanita muda ini.
“Nyuwun sewu ndoro.... saya lupa....” jawabnya sambil terus memandangi wajahku.
“Weeh kamu ini, ingat ndak kamu waktu kecil mainnya sama siapa ?” pakdhe Bekti mencoba mengingatkan.
“Ohhh... mas Andi ya....? Iya...sekarang Iyem ingat....” katanya tersenyum lebar,

”Habis sekarang sudah berubah... jadi Iyem pangling...”
“Ini Iyem anak mak Sani pembantu pakdhe yang dulu.... kamu masih ingat kan nDi.....?”
“Iya dhe... Andi ingat..... Apa kabar Yem..?” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Baik Mas....” jawabnya menyambut uluran tanganku, kami bersalaman,

“Silahkan mas.... Iyem ke belakang dulu....”
“Terima kasih Yem...”
Tidak kusangka Iyem yang dulu jadi teman mainku, sekarang sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Tubuh semampai langsing, kulilt putih bersih. Pinggul yang montok terlihat jelas tertutup balutan kain batik, payudara besar kencang khas orang desa.
“Hei... nDi.... pakdhe masih di sini...!” suara pakdhe membuyarkan lamunanku,

“Kalau mau kangen-kangenan sama Iyem nanti ada waktunya sendiri, sekarang waktunya ngobrol sama pakdhe....” kamipun tertawa.
Dalam pikiranku masih diselimuti rasa penasaran atas peristiwa desahan nafas di dapur tadi. Kalau Iyem sudah terjawab, terus siapa wanita yang satunya ya ? dan mengapa Iyem mau membantu melepaskan birahinya ?
Obrolan kami semakin seru, tetapi pikiranku masih saja penasaran dengan peristiwa itu.
“Oh ya .. pakdhe hampir lupa....... Bu.... Ibu.... sini bu... ini lho ada tamu dari Bandung.....”
Lho kok pakdhe memanggil ibu, berarti pakdhe sudah kawin lagi. Kok aku tidak dikabari. Misteri suara wanita di dapur tadi sedikit terkuak, berarti sang wanita adalah istri pakdhe Bekti alias budhe Bekti yang baru.
Dari arah kamar munculah sesosok wanita, alangkah terkejutnya aku.... wanita itu adalah ibu Lilis teman seperjalanan denganku dari Bandung, jadi ibu Lilis adalah istri pakdhe Bekti. Aku tak mengira jika kami bertemu lagi dengan suasana yang jauh berbeda.
Tak kalah terkejutnya ibu Lilis ketika melihat bahwa tamunya adalah aku yang nota bene keponakan sendiri. Merah padam wajah dan rasa terkejutnya tidak dapat ditutupi. Pakdhe Bekti jelas tidak dapat menyaksikan perubahan wajah istrinya, karena beliau duduk membelakangi. Terlihat ibu Lilis mengatur nafas dan mulai berjalan dengan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Nah... ini nDi.... kenalkan, ini istri pakdhe.... namanya Lilis.... umur boleh muda tetapi pengabdiannya kepada pakdhe jangan ditanya.... ya ndak bu....?”
Aku berdiri, dengan sikap tenang aku mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya.
“Andi.....” kataku
“Lilis.....” jawabnya sedikit bergetar,

“Silahkan duduk dik...!” katanya setelah kami berjabatan tangan.
Budhe Lilis (sekarang aku harus memanggilnya begitu), duduk di samping pakdhe. Dengan mesra pakdhe merangkul pundak istrinya. Budhe menundukkan wajahnya seolah-olah takut bertatap pandangan dengan ku. Aku memakluminya, peristiwa di atas kereta api pasti membuatnya merasa malu.
Obrolan berlanjut, tetapi kuperhatikan budhe cenderung diam dan tampak kaku menghadapi suasana ini. Lalu ia bangkit dan pamit mau ke belakang.
“Silahkan diteruskan ngobrolnya, saya pamit dulu....”
Dengan berlalunya budhe, kembali pakdhe dengan semangatnya bercerita. Ternyata setelah kematian budhe Bekti dan sakit yang dideritanya, pakdhe berinisiatif untuk kawin lagi dengan wanita yang mau merawatnya. Jika dilihat dari selisih umur antara pakdhe Bekti dan budhe Lilis terpaut cukup jauh. Tetapi pakdhe bangga dengan istri barunya ini, dengan sabar dan telaten ia merawat serta melayani pakdhe.
Aku ingat pada waktu di kereta api ibu Lilis pernah bercerita kalau suaminya impoten karena penyakit gula yang dideritanya. Sekarang aku tahu kalau pakdhe memang menderita sakit gula dan impoten, klop !
Berarti, misteri suara dan lenguhan di dapur tadi sudah terkuak jelas. Adegan merangsang itu bersumber pada budhe Lilis dan Iyem. Sekarang aku jadi maklum jika pelampiasan sex budhe Lilis yang masih muda ini harus dituntaskan baik dengan masturbasi (seperti cerita dan fakta di atas kereta api) ataupun dibantu oleh Iyem pembantu rumah tangganya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.20 WIB, berarti malam sudah mulai larut.
“Kamu nginep sini tho nDi ?” tanya pakdhe kepadaku
“Jika pakdhe mengijinkan...”
“Oh ya harus.... pakdhe masih kangen....je” kata beliau,

”Bu....bune.... tolong siapin kamar buat Andi... dia mau nginep di sini....”
“Terima kasih pakdhe”
“Silahkan kalau kamu mau istirahat..... pakdhe juga sudah ngantuk....”
Kami berdiri dan pakdhe langsung menuju ke kamarnya. Aku berjalan menuju kamar tamu, ruangan yang sudah tidak asing bagiku. Ketika kubuka pintu kamar terlihat budhe Lilis masih berada di dalam sedang membenahi seprai.
“Tutup pintunya dik...!” katanya lirih,”Pakdhemu sudah masuk kamar...?”
“Sudah bu... barusan....” jawabku
“Tunggu sebentar, seprainya belum beres......” katanya membenahi seprai sambil membukukkan badan.
Pandanganku tertuju pada belahan daster longgarnya. Belahan payudara terbungkus BH tampak jelas di mataku. Sadar dipandangi seperti itu, budhe langsung menegakkan badannya.
“Hayo.... mata dik Andi nakal ya....” katanya sambil tersenyum.
“Habis daster budhe yang longgar sich....” kataku, “Budhe kelihatan pucat dan lemes, sakit ya dhe...? atau karena orgasme yang nikmat....?” tanyaku menggoda.
“Hei... tahu dari mana...?” katanya penasaran
“Tadi di dapur.... Andi sempat nguping......”
“Ohh.....” wajahnya memerah, “Untung ada Iyem.... coba kalau tidak ......” katanya menjelaskan
“Berarti tadi di-oral sama Iyem tho....?”
“Iya.....” jawabnya singkat, “Kalau kamu nginep di sini berarti kamu bisa bantuin budhe....”
“Bantuan apa nich...”
“Ya..... nggantiin si Iyem...” budhe mengerlingkan matanya sambil tersenyum nakal.
“Kalau pakdhe tahu.....?”
“Iya pinter-pinternya kita...... yang jelas sekarang beliau pasti sudah tertidur, kalau sudah bau bantal pasti langsung lelap”
Aku jadi penasaran, ternyata budhe Lilis binal juga. Tetapi aku memakluminya karena kondisi pakdhe yang tidak bisa ereksi. Sambil bebenah budhe Lilis menceritakan kalau sejak menikah empat tahun yang lalu dengan pakdhe Bekti mereka tidak pernah berhubungan badan. Memang budhe Lilis adalah seorang janda, tetapi nafsu sex pastilah masih menggebu namun pakdhe tidak bisa apa-apa.
“Aku sering kangen sama kemaluan laki-laki...... kalau sudah begitu jadi terangsang..... paling-paling masturbasi kalau tidak ya di-oral sama Iyem, pakdhe-mu tahu kok apa yang budhe lakukan. Sering budhe masturbasi di depan pakdhe-mu dan sering juga dia ikut bantuin..... kalau dengan Iyem, pakdhe hanya ngitip saja karena Iyem malu jika tahu ” Jelasnya panjang lebar, “waktu di kereta api sebenarnya pingin banget, tidak sekedar bermasturbasi. Tetapi keadaanya tidak memungkinkan”
Pantesan tadi sore wajah dan badan pakdhe berkeringat, ternyata habis ngintip istri dan pembantunya ‘begituan’.
“Andi tahu apa yang budhe rasakan....... Andi mau membantu budhe.... tapi tolong rahasiakan ini ya ?” budhe Lilis hanya mengangguk.
“Nanti malam jika semua sudah terlelap budhe tunggu dik Andi di kamar mandi belakang. Tahu tho tempatnya.... jangan kamar mandi dekat dapur ya.... nanti ketahuan Iyem....”
Memang, rumah besar ini punya dua kamar mandi. Satu dekat dapur dan yang satu berada di halaman belakang.
“Baiklah kalau begitu budhe permisi dulu... jangan lupa nanti malem ya...?” budhe beralu sambil tersenyum genit.
Malam terasa panjang dalam penantianku. Gara-gara budhe genit aku semakin gelisah menunggu. Tidur gelisah dan kesunyian malam serta suara jangkrik mengiringi kegelisahanku.
Saat ini pukul 01.04 dini hari, aku mendengar suara pintu kamar pakdhe dibuka dan ditutup lagi dengan perlahan. Aku bangun dari tempat tidurku, kukonsentrasikan pendengaranku. Sekarang giliran pintu dapur mengeluarkan suara. Inilah saat yang kunantikan sejak tadi.
Dengan perlahan pula aku membuka pintu kamarku, ku tengok kiri-kanan hanya kegelapan yang ada. Setelah aku merasakan suasana aman, aku menutup pintu dan m*****kahkan kaki dengan perlahan menuju ke arah dapur. Pintu belakang tidak terkunci, berarti budhe Lilis sudah menungguku di kamar mandi belakang rumah.
Aku keluar dengan hati berdebar. Tak kusangka pertemuan kedua ini menjadikanku sebagai malaikat sekaligus setan dalam hidupku. Malaikat karena menolong budhe yang ‘kehausan’ dan sebagai setan karena menghianati pakdhe Bekti. Rasa kasihan terhadap kedua orang ini membuat langkahku sedikit bimbang. Biarlah yang terjadi terjadilah.
Kuamati keadaan sekitar, kegelapan menyelimuti malam ini, sinar bulan redup hanya kunang-kunang dan jangkrik yang menjadi saksinya.
Dari dalam kamar mandi yang hanya diterangi lampu 5 watt tampak sesosok bayangan. Aku langkahkan kaki mendekat.
“Eehemm...” kuberikan isyarat.
Dan tebukalah sedikit pintu kamar mandi, sebagai jawaban isyaratku. Kembali aku meneliti sekitar, aman. Bergegas aku masuk ke kamar mandi, seperti dugaanku semula budhe Lilis sudah berada di sana menantiku.
Hanya dengan daster tipis tanpa BH dan celana dalam, tampak jelas kulihat terawangan payudara dan kemaluan budhe Lilis.
“Dik Andi.....” lirih sedikit berbisik.
Tiba-tiba budhe Lilis memeluk tubuh dan melumat habis bibirku. Ciuman ganas budhe Lilis membuatku kaget, aku belum siap menghadapi serangan ini. Mau tak mau akupun ikut terlarut dalam ciuman panasnya, lidah kami saling bertaut. Mendapat perlakuan seperti itu langsung ku arahkan tanganku pada payudaranya. Remasan tanganku membuat budhe Lilis semakin memejamkan matanya menikmati sentuhan yang sudah lama ia nantikan.
Dilepaskannya ciuman pada bibirku dan berbisik.
“Dikkk Annnddii..... Ooouugghh.... budhe tak tahan lagi... heegghh...” rintihnya.
Kini tangan budhe Lilis ganti meremas kemaluanku.
“Kok sudah keras, kamu sudah ereksi dari tadi ya...?”
“Aku sudah tak sabar dhe....”
“Langsung saja ya nDi.... budhe sudah tidak tahan.... budhe pingin banget....” katanya sambil mengangkat dasternya dan menunggingkan pantatnya. Akupun tanggap, dengan segera aku keluarkan kemaluanku yang sudah ereksi. Ku letakkan kemaluanku pada lubang vaginanya, tangan budhe Lilis menuntun kemaluanku agar dapat masuk dengan benar.
“Kok sudah basah banget budhe....”
“Sejak keluar dari kamarmu budhe sudah terangsang membayangkan peristiwa ini....”
Budhe Lilis melepaskan genggamannya setelah merasakan ujung kemaluanku pas pada lubang vaginanya. Akupun mendorong perlahan, sulit sekali rasanya ujung kemaluanku masuk ke lubang vaginanya. Merasa ada sedikit kesulitan, sekarang kedua tangan budhe Lilis menyibakkan bibir kemaluannya. Kurasakan lubang kemaluan budhe Lilis semakin melebar, kudorong lagi kemaluanku. Baru saja kepala kemaluanku yang masuk, tubuh budhe Lilis mengejang. Sambil menggigit bibir dan memejamkan matanya seakan menahan sesuatu yang dasyat.
“Ooooggghhh........, pelan dik Andi... rasanya sedikit perih.... maklum sudah lama tidak kemasukan kemaluan laki-laki”
Aku memakluminya. Dan sekarang aku kembali mencoba memasukkan kemaluanku lebih dalam, budhe Lilis kembali mengejang. Ketika separuh terakhir batang kemaluanku kusodokkan masuk, teriakan budhe Lilis sedikit mengeras.
“Aahhh.... hhggghh....”
“Sakit budhe.....”
“Sedikiiitttt .....”
ku biarkan budhe Lilis mengatur nafasnya. Dilepaskan tangannya dari bibir kemaluan. Dan sekarang tangan itu diletakkan pada bibir bak mandi untuk menyangga badan, berarti sekarang budhe Lilis telah siap menghadapi action berikutnya. Perlahan kutarik kemaluanku setengahnya, kumasukkan lagi dengan perlahan. Tarik – masuk – tarik - masuk , demikian seterusnya hingga terasa lebih lancar dan budhe pun mulai menikmatinya. Dengan pinggul digoyang-goyang mengikuti irama keluar – masuknya kemaluanku dan desahan-desahan sexy-nya membuatku lebih bersemangat.
“Aahhhh...Oooohhh.... Eeennaakk.... tterrussin nnDiiii...”
“Iiiyyyaa bbuudhhee..... lubang kemaluan budhe sempit banget..... kemaluanku serasa dijepit....”
“Ppppuuunnnyyamu bbbeeesssaar sssiiiihhhh......”
Memang benar, selain lubang kemaluan budhe yang sempit karena sudah lama tidak digunakan, ukuran kemaluanku yang tergolong besar ini juga menjadi penyebab semakin nikmatnya persetubuhan ini.
Kini tanganku tidak tinggal diam, kuraih payudara budhe Lilis dari belakang. Meremas serta menggesek putingnya semakin membuat budhe Lilis terangsang. Goyangan pantatnyapun semakin cepat, membuat kemaluanku seperti dipilin-pilin.
Budhe Lilis melepaskan tangan dari bibir bak mandi, kini tubuh budhe ditegakkan dan tangannya melingkar di leherku. Kondisi seperti ini membuatku lebih bebas meremas kedua bukit payudaranya yang kencang. Sambil terus menusukkan kemaluanku, ciuman dan gigitan kecil mendarat pada lehernya. Sesekali ciuman itu beroperasi di kupingnya. Hal ini membuat budhe Lilis semakin merasa terangsang. Tak henti-hentinya kemaluanku menusuk vagina budhe Lilis, demikian juga goyangan pantat budhe mengimbanginya. Irama permainan kami semakin cepat, tusukan-tusukan kemaluanku juga semakin ganas.
“Ceeepaat nDiii....oouugghh bbuudhe..... aagghhh”, tubuh budhe Lilis mengejang, tangannya mencengkeram erat rambuku.
“Aaagghhh .......” teriakan kecil tertahan keluar dari mulut budhe Lilis.
Budhe telah sampai pada puncak persetubuhan ini, orgasme yang hebat setelah sekian lama tidak merasakan kemaluan laki-laki menerobos vaginanya. Tubuh budhe lemas lunglai, disandarkan kepalanya pada bak mandi. Nafas ngos-ngosan, dengan mata terpejam dan senyum kecil tersungging di bibirnya. Beliau menikmati orgasme hebat yang baru saja didapatkannya.
Aku menghentikan kegiatanku, memberi kesempatan pada budhe untuk menikmati sisa-sisa orgasmenya. Ku belai-belai kulit mulus punggungnya, dan budhe Lilis menikmati elusan itu untuk cooling down setelah orgasme.
“Oohhh... trima kasih dik Andi... budhe puas sekali, telah lama budhe menunggu saat-saat seperti ini. Beda sekali rasanya dengan masturbasi..... ini benar-benar nyata nikmatnya.....”
Aku lepaskan kemaluanku dari vaginanya, tampak masih dalam kondisi ereksi dan mengkilat karena cairan vagina budhe Lilis.
Budhe Lilis membalikkan badannya. Sekarang kami berhadap-hadapan.
“Oh... maaf... sampai lupa kalau kamu belum ‘keluar’.... habis budhe terlalu menikmati orgasme....”
Sekarang budhe Lilis jongkok di hadapanku, diraihnya kemaluanku, dikocok-kocok penuh kelembutan. Dengan perlahan ditariknya kemaluanku dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Sedotan-sedotan kecil serta kulumannya membuat jantungku berdesir menahan rasa nikmat. Kini budhe mulai mengeluar masukkan kemaluanku pada mulutnya. Akupun mengikuti irama oral sex yang dilakukan budhe Lilis. Secara otomastis akupun memaju mundurkan pantatku. Terlihat budhe Lilis semakin meningkatkan kegiatan oralnya. Sesekali seluruh kemaluanku masuk ke dalam mulutnya, hebatnya budhe Lilis tidak tersedak. Irama semakin cepat dan ditambah lagi kocokan tangannya juga dipercepat. Beliau paham sekali dengan denyutan pada kemaluanku sebagai pertanda akan mengalami ejakulasi. Kini mulut budhe hanya mengulum dan tangannya semakin cepat mengocok batang kemaluanku. Desakan dari dalam kemaluanku tidak dapat kutahan lagi, denyutan semakin cepat dan budhe Lilis-pun menyedot kemaluanku dengan kuat.
“Aaagghhh....”
Akhirnya air manikupun keluar dengan semprotan kuat masuk kedalam mulut budhe. Beberapa kali semprotan kuat mengiringi tubuhku yang mengejang.
Ditelannya semua air mani yang keluar dari kemaluanku, tanpa setetespun meleleh dari mulut budhe Lilis. Sensasi yang hebat aku rasakan mengiringi ejakulasiku.
“Aaahhh... gurih sekali di Andi.... sudah lama juga budhe tidak merasakan gurihnya air mani....” katanya setelah melepas kemaluanku dari mulutnya.
“Terima kasih nDi.... budhe telah mendapatkan air di tengah kekeringan” bisiknya pelan.
Karena keadaan yang serba darurat dan tidak mendukung, kami segera merapikan kembali pakaian kami. Dengan tenang budhe Lilis berjalan keluar dari kamar mandi kembali ke kamar tidurnya. Beberapa menit kemudian aku menyusul masuk ke rumah dan ku lihat semua dalam keadaan aman.

Bersambung ke

Budhe Lilis Bagian 2