BUDHE LILIS bagian 1
Bulan Desember
ini aku dapat jatah cuti tahunan. Kesempatan baik untuk pulang kampung jumpa
keluarga di Solo. Karena hanya kesempatan cuti tahunan aku dapat pulang, karena
Lebaran kena piket maklum pekerjaanku melayani masyarakat jadinya nggak libur.
Dengan kereta api Argo Lawu, aku berangkat menuju Solo. Hari mulai senja ketika
kereta melaju meninggalkan stasiun.
Karena bukan liburan, penumpang kereta tidak padat. Hanya beberapa orang yang
ada di gerbong ini. Tepat di sampingku duduk seorang wanita setengah baya.
Dengan mengenakan terusan panjang berwarna merah, rambut tergelung rapi,
berkaca mata tipis, menampakkan ciri seorang ibu yang lemah lembut. Senyum
selalu tersungging manis menghiasi bibirnya.
Untuk mencairkan suasana aku mulai membuka pembicaraan dengan memperkenalkan
diriku
“Maaf bu, kenalkan... saya Andi” sambil ku ulurkan tangan, ibu itu menyambut
dan memperkenalkan dirinya
“Lilis...” jawabnya singkat
“Ibu juga mau ke Solo ya...?”
“He-eh.... barusan nengok keponakan di Bandung”
“Oh...”
“Adik sendiri mau ke Solo juga... ?”
“Iya bu..... cuti tahunan....”
Pembicaraan untuk mengisi kekosongan mulai mengalir mencairkan suasana.
Menurutku ibu Lilis adalah orang yang enak untuk diajak bicara walaupun kami
baru saja kenal. Tidak ceriwis, tertawapun seakan ditahan, bicara dengan lemah
lembut ciri khas wanita Solo. Di usia 43 tahun guratan wajah tidak menampakkan
ketuaannya, juga bentuk tubuh yang masih kencang meskipun tidak terlalu
menonjol.
Malam kian larut, lampu penerangan di gerbong kami mulai dipadamkan. Aku
mempersilakan ibu Lilis untuk istirahat setelah bantal dan selimut aku
serahkan. Karena capai akupun mulai merasakan kantuk. Dan kulihat ibu Lilis
sudah terlelap dengan nafas teratur lembut.
Waktu menunjukkan pukul 01.10, udara AC semakin dingin mengigit tulang. Ku
lihat ibu Lilis merasa gelisah dan berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.
“Dik Andi..... Dik......”
“Ya bu....”
“Maaf..... tolong AC-nya dikecilin.... ibu kedinginan”
aku berdiri dan berusaha mengecilkan AC, tetapi kisi-kisi anginnya macet jadi
percuma.
“Kisinya macet bu... maaf tidak bisa dikecilin”
“Walah... kalau begini pasti pinginnya pipis terus...”
Ibupun kembali menarik selimut menutupi tubuhnya dan kembali bersandar pada
bantal.
Sepuluh menit berlalu, tiba-tiba ibu Lilis kembali terbangun.
“Dik Andi.... tolong anterin ibu ke kamar mandi... pingin pipis..... ibu takut
pergi sendiri” katanya sambil memgangi perutnya.
“Kebetulan bu.... Andi juga pingin pipis....”
Akupun segera berdiri untuk memberi jalan kepadanya. Berdua kami menuju ke
kamar mandi di belakang gerbong. Terasa sepi, karena para penumpang sudah
tertidur dibuai mimpi.
“Silahkan ibu duluan.....”
“Maaf pintunya tak usah ditutup ya.....?” katanya pelan.
“Tidak usah takut bu.... kan ada Andi”
“Dik Andi jangan berdiri jauh-jauh...”
“Iya bu...” kata ku sambil membelakangi pintu kamar mandi sambil menahan pipis.
Beberapa saat terdengar desiran air. Wow lama juga ibu Lilis kencingnya,
berarti sudah dari tadi beliau menahan pipisnya. Setelah itu terdengar suara
air disiramkan.
“Silahkan dik Andi......”
“Sudah bu..... aku sudah nggak tahan.....” kataku tergesa masuk ke kamar mandi.
Dengan segera ku buka reslueting celana dan mengeluarkan kemaluanku untuk
segera membuang air kemih yang sudah tak tertahankan. Setelah selesai aku
mengguyur lantai kamar mandi dan membasuh ujung kemaluanku dari sisa-sisa air
kencing. Tanpa kusadari bahwa di belakangku sepasang mata menatap dengan
terkesima. Setelah selesai dan kemaluanku sudah berada pada tempatnya, akupun
berbalik. Dan kulihat wajah bu Lilis merah padam menahan malu.
“Bu.....” sapaku mengejutkannya
“Oh... maaf....” katanya sambil menunduk
Kamipun berjalan kembali ke tempat duduk kami. Hening menyelimuti suasana,
hanya suara roda kereta yang tak pernah diam.
“Maaf dik Andi.....” ibu Lilis membuka pembicaraan
“Ya bu...”
“Sekali lagi maaf.... apakah memang segitu ukuran kemaluan di Andi ?”
Aku kaget bukan kepalang mendapat pertanyaan ibu Lilis yang polos. Tidak kukira
dibalik wajah keibuan ternyata tersimpan keliaran.
“Maksud ibu.... ?” aku balik bertanya
“Iya... ibu sempat lihat kemaluan di Andi waktu pipis tadi, apa ukurannya
memang sudah segede itu....?”
“Oh..., maaf bu.... karena dari tadi menahan pipis jadinya Andi sempat ereksi
sedikit....” jawabku malu, “Memangnya kenapa bu ?”
“Nggak, ibu kirain tidak sedang ereksi.... pikir ibu kalau tidak ereksi saja
segitu gede apalagi kalau ereksi.....”
“Ah... ibu ada-ada saja...”
“Nggak usah malu dik Andi.... kita kan sudah sama-sama dewasa..... biasa
sajalah”
“Iya bu....” jawabku singkat
Kembali kami terdiam dan ibu Lilis mempersiapkan diri untuk tidur. Ditariknya
selimut menutupi seluruh badannya menahan dinginnya udara. Belum berapa lama
ibu Lilis tertidur, kembali terbangun dan memohon kepadaku untuk menemaninya ke
kamar mandi.
Seperti tadi, pintu kamar mandi sengaja tidak ditutup. Aku berdiri menunggu di
depan pintu, tapi sekarang aku sengaja menghadap ke dalam kamar mandi dan
menyaksikan semua kegiatan ibu Lilis. Dari mulai mengangkat rok panjangnya,
menurunkan celana dalam, jongkok dan kemudian pipis. Terlihat mulusnya pantat
ibu Lilis membuat kemaluanku ereksi.
“Sudah dik Andi... ibu sudah selesai... dik Andi mau pipis juga.... ?”
“Nggak bu.......”
“Waah... kemaluan dik Andi
ereksi ya... ?” katanya sambil menatap ke arah kemaluanku.
“Iya bu... “ jawabku malu-malu
“Habis lihat
pantat mulus, peralatan yang satu ini langsung bereaksi...”
“Berarti dik Andi masih normal.... kalau tidak ereksi malah perlu dicurigai.....” katanya tersenyum.
Kembali ke tempat duduk, kami mulai memakai selimut kembali. Tiba-tiba tangan
bu Lilis menyusup ke dalam selimutku dan meraba kemaluanku. Berani juga nih
orang, sekali lagi di balik wajah keibuan dan kesopanannya terdapat sesuatu
yang tidak terduga.
“Masih ereksi ya.....?” bisiknya
“Iya bu.... kalau belum dikeluarin pasti nggak mau
turun...” jawabku.
“Mau ibu bantu.....?”
“Ah... nggak usah bu, nanti Andi keluarin sendiri
saja...” jawabku sungkan walau sebenarnya ingin juga
“Wah...dik Andi sering onani juga ya...?”
“Sering sih tidak bu... tapi kalau pas ereksi begini apa boleh buat.... hanya itu jalan satu-satunya...”
“Betul dik Andi, ibu sering sekali tiba-tiba ‘kepingin’ sedang suami ibu sudah
tidak mampu lagi ereksi, maklum beliau punya penyakit gula, ibupun melakukan
masturbasi untuk menuntaskannya” wajahnya menerawang jauh.
“Ibu sering masturbasi juga ya.....”
“Hanya itu yang dapat ibu lakukan.....” jawab bu Lilis dengan nada sedih
“Maaf jika pertanyaan Andi membuat ibu sedih..”
“Nggak kok.... memang kenyataannya seperti itu....” jawab bu Lilis dengan sedikit
senyum,
”Sana gih.... dikeluarin dulu... nanti perut dik Andi mules lho...”
“Ntar aja bu.... dari pada kelamaan onaninya... lagian Andi nggak bawa sabun....” jelasku
“Tuh kan.... mau pakai baby oil ?” kata bu Lilis.
Dan diambilnya botol baby oil dari dalam tas tangannya,
”Pakai ini
dik... biar kemaluannya nggak perih...”
“Terima kasih bu.....” jawabku sambil menerima baby oil dari tangan bu Lilis,
”Ibu berani
duduk sendirian di sini...?”
“Iya ya.... kalau begitu ibu ikut ke belakang ya... ?”
pintanya memelas.
“Maaf bu... daripada ibu harus berdiri nungguin Andi
onani di kamar mandi, lebih baik Andi lakukan di sini saja......”
“Oh ya... begitu juga bagus... hasrat dik Andi tersalurkan..... dan ibu tidak ketakutan...”
Mendapat lampu hijau dari bu Lilis, akupun segera membuka ikat pinggang. Dengan
sedikit menarik celana dalam aku keluarkan kemaluan yang sudah mengeras.
Baby oil aku tuangkan diatas telapak tangan kananku, dengan segera aku lumurkan
ke seluruh permukaan kemaluanku. Di balik selimut tanganku mulai bekerja naik
turun mengurut batang kemaluan.
Ku lihat ibu Lilis menyadandarkan kepalanya pada bantal di permukaan jendela
kaca, seingga posisi wajahnya sedikit serong ke arahku. Sesekali mata ibu Lilis
melirik ke arah tanganku yang sedang melakukan onani di balik selimut. Tampak
tonjolan kemaluanku yang mengeras mencuat di balik selimut seiring dengan
guncangan tangan. Nafasku mulai tidak teratur merasakan rangsangan itu.
Kuperhatikan juga bahwa bu Lilis mulai terangsang dengan apa yang dilihatnya.
Terbukti dengan kegelisahan dan tarikan nafas panjang sesekali. Aku cuek saja
dan tetap pada kegiatan onaniku.
Ditengah kesibukkanku beronani, tiba-tiba ibu Lilis bangkit berdiri dari
duduknya, diangkat rok panjangnya dan dengan segera melepas celana dalam
kemudian kebali duduk serta menutupi tubuh bagian bawahnya dengan selimut. Ibu
Lilis membuka paha lebar-lebar, tangan kanannya mulai aktif meraba kemaluan dan
tangan kiri melalukan remasan pada payudara kecilnya.
Desahan nafas kami memburu, berdua kami berpacu dengan nafsu untuk mencapai
puncak orgasme. Aku mulai merasakan denyutan-denyutan pada kemaluanku pertanda
orgasmeku sudah semakin dekat. Bu Lilis pun semakin cepat menggosokkan
tangannya pada kemaluannya.
“Ouughh... aagghhh.... !!!” sperma memancar dari
kemaluanku sebagai puncak dari orgasme. Tak lama kemudian bu Lilis menggigit
bantal menahan orgasme hebat yang melandanya,
” Heeghhh...
Eeehhhh.......”
Tubuhnya mengejang beberapa kali, dan diakhiri dengan lemasnya tubuh beliau.
Dilepaskan bantal dari wajahnya, dengan mata terpejam dan nafas memburu ibu
Lilis menikmati sisa-sisa orgasmenya.
Setelah semua selesai, kami membersihkan kemaluan masing-masing dengan tissue
basah milik bu Lilis.
“Wuaduh.... lega rasanya dik..... ibu nggak tahan lihat dik Andi onani.... maklum baru kali ini lihat orang lain melakukan
onani di depan ibu.....” bu Lilis tersenyum manis.
“Andi juga sudah plong... bu...”
Kamipun segera tertidur karena kelelahan setelah melakukan masturbasi.
Sesampai di stasiun Balapan Solo, kami berpisah. Tidak ada kata yang kami
ucapkan, hanya salam perpisahan yang mengakhiri perjalanan kami ini. Dengan
Taxi aku menuju ke rumah, dimana kedua orang tua dan adikku sudah menunggu.
Sudah dua hari aku berada di Kota Solo, aku sempatkan untuk rilex mengabaikan
rutinitas yang membosankan di Bandung. Rasa kangen terhadap keluarga dan
saudara sudah terhapuskan. Dan kini rasa kangenku untuk bertemu Pak Dhe Bekti
sangat kuat, maklum kakak dari ayahku ini punya andil besar di dalam
kehidupanku. Semenjak Budhe Bekti wafat aku belum bertemu lagi dengan beliau,
hanya kabar dari ayah yang menyatakan jika pakdhe Bekti sakit-sakitan.
Sore ini aku minta ijin orang tuaku untuk berkunjung ke rumah pakdhe. Untuk
mengobati rasa kangen aku berencana untuk bermalam di rumah beliau.
Dengan mengendarai sepeda motor milik adikku, kutempuh jalan Kota Solo yang
mulai padat lalu-lintas.
Sesampai di rumah pakdhe waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, dan kudapati
pintu rumah terkunci rapat. Karena sejak kecil aku sering bermain di rumah ini,
jadi aku tahu betul dimana letak kamar pakdhe. Lewat samping rumah aku langsung
menuju ke belakang rumah dimana kamar beliau berada. Dari jendela yang terbuka
aku melihat kamar itu kosong. Aku teruskan langkah menuju ke belakang ke arah
dapur. Terlihat pintu dapur juga tertutup rapat, tetapi samar-samar kudengar
suara lirih desahan nafas. Kurapatkan telingaku pada pintu dapur. Semakin jelas
terdengar desahan nafas wanita yang sedang dilanda nafsu birahi. Semakin lama
terdengar semakin menggairahkan.
“Yemm.... terusss... yemmm.... oougghhh....” jelas sekali wanita ini
mengalami sensasi yang luar biasa,
”Liiidaahmu... tteerruss... jjaarriiimmuuu .....OhhhYa... diii siituuu Yemmm... terruss... hhgghh... eennak .... Yeemmm” suara desahan semakin hebat,
”Cepattt... Yemm... ceeepaatt.... aakku... keellll.... oouugghh.... aahhhh”.
Wow jeritan kecil menandai orgasmenya, terdengar nafas yang ngos-ngosan tidak
teratur.
“Ttteerima kasih Yem..... kamu semakin pinter” entah suara siapa, aku sendiri masih penasaran.
“Iya ndoro...” jawab wanita yang lain, yang ini jelas pembantu rumah tangga di
rumah pakdhe.
Dengan segera aku meninggalkan bagian belakang rumah, kembali ke pintu depan.
“Nuwun.... kulo nuwun.....” dengan sedikit teriak dan
ketukan pintu agak keras, dengan harapan ada yang mendengar.
Tak lama terdengar anak kunci diputar dan terbukalah pintu utama. Ku lihat
pakdhe Bekti tepat di depanku dengan wajah tegang dan badan berkeringat.
“Selamat sore pakdhe...” ucapku
“Hee kamu nDi... kapan datang dari Bandung....?” jawab pakdhe Bekti penuh
semangat.
“Kemarin pagi dhe....”
“Ayo masuk..... wahh pakdhe kangen banget.... sudah lama kamu tidak kemari.....” dipeluknya tubuhku dengan erat sebagai
tanda kasih dan kangennya.
Kami berdua memasuki ruang tamu yang luas, maklum rumah pakdhe Bekti termasuk
rumah kuno sehingga ukuran ruangan serba luas.
“Duduk nDi.... waahhh sekarang kamu tambah cakep....”
“Ahhh pakdhe bisa saja....”
“Betul lho .... pakdhe tidak ngapusi....” katanya sambil
tertawa lepas. Kami duduk berhadap-hadapan dibatasi meja tamu.
“Yem.... buatin kopi Yem.... ada tamu dari jauh nih...” teriak pakdhe.
“Ndak usah repot-repot dhe....” aku berbasa-basi.
Beberapa menit kemudian muncul seorang wanita muda dari arah dapur membawa baki
berisi kopi hangat dan sepiring pisang goreng.
“Trima kasih Yem.... kamu masih ingat ndak sama orang ini ?” kata pakdhe kepada wanita muda ini.
“Nyuwun sewu ndoro.... saya lupa....” jawabnya sambil terus memandangi wajahku.
“Weeh kamu ini, ingat ndak kamu waktu kecil mainnya sama siapa ?” pakdhe Bekti
mencoba mengingatkan.
“Ohhh... mas Andi ya....? Iya...sekarang Iyem
ingat....” katanya tersenyum lebar,
”Habis
sekarang sudah berubah... jadi Iyem pangling...”
“Ini Iyem anak mak Sani pembantu pakdhe yang dulu.... kamu masih ingat kan nDi.....?”
“Iya dhe... Andi ingat..... Apa kabar Yem..?” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Baik Mas....” jawabnya menyambut uluran tanganku, kami bersalaman,
“Silahkan
mas.... Iyem ke belakang dulu....”
“Terima kasih Yem...”
Tidak kusangka Iyem yang dulu jadi teman mainku, sekarang sudah tumbuh menjadi
seorang gadis yang cantik. Tubuh semampai langsing, kulilt putih bersih.
Pinggul yang montok terlihat jelas tertutup balutan kain batik, payudara besar
kencang khas orang desa.
“Hei... nDi.... pakdhe masih di sini...!” suara pakdhe membuyarkan lamunanku,
“Kalau mau
kangen-kangenan sama Iyem nanti ada waktunya sendiri, sekarang waktunya ngobrol
sama pakdhe....” kamipun tertawa.
Dalam pikiranku masih diselimuti rasa penasaran atas peristiwa desahan nafas di
dapur tadi. Kalau Iyem sudah terjawab, terus siapa wanita yang satunya ya ? dan
mengapa Iyem mau membantu melepaskan birahinya ?
Obrolan kami semakin seru, tetapi pikiranku masih saja penasaran dengan
peristiwa itu.
“Oh ya .. pakdhe hampir lupa....... Bu.... Ibu....
sini bu... ini lho ada tamu dari Bandung.....”
Lho kok pakdhe memanggil ibu, berarti pakdhe sudah kawin lagi. Kok aku tidak
dikabari. Misteri suara wanita di dapur tadi sedikit terkuak, berarti sang
wanita adalah istri pakdhe Bekti alias budhe Bekti yang baru.
Dari arah kamar munculah sesosok wanita, alangkah terkejutnya aku.... wanita
itu adalah ibu Lilis teman seperjalanan denganku dari Bandung, jadi ibu Lilis
adalah istri pakdhe Bekti. Aku tak mengira jika kami bertemu lagi dengan suasana
yang jauh berbeda.
Tak kalah terkejutnya ibu Lilis ketika melihat bahwa tamunya adalah aku yang
nota bene keponakan sendiri. Merah padam wajah dan rasa terkejutnya tidak dapat
ditutupi. Pakdhe Bekti jelas tidak dapat menyaksikan perubahan wajah istrinya,
karena beliau duduk membelakangi. Terlihat ibu Lilis mengatur nafas dan mulai
berjalan dengan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Nah... ini nDi.... kenalkan, ini istri pakdhe.... namanya Lilis.... umur boleh muda tetapi pengabdiannya kepada pakdhe jangan ditanya.... ya
ndak bu....?”
Aku berdiri, dengan sikap tenang aku mengulurkan tangan untuk menjabat
tangannya.
“Andi.....” kataku
“Lilis.....” jawabnya sedikit bergetar,
“Silahkan
duduk dik...!” katanya setelah kami berjabatan tangan.
Budhe Lilis (sekarang aku harus memanggilnya begitu), duduk di samping pakdhe.
Dengan mesra pakdhe merangkul pundak istrinya. Budhe menundukkan wajahnya
seolah-olah takut bertatap pandangan dengan ku. Aku memakluminya, peristiwa di
atas kereta api pasti membuatnya merasa malu.
Obrolan berlanjut, tetapi kuperhatikan budhe cenderung diam dan tampak kaku
menghadapi suasana ini. Lalu ia bangkit dan pamit mau ke belakang.
“Silahkan diteruskan ngobrolnya, saya pamit dulu....”
Dengan berlalunya budhe, kembali pakdhe dengan semangatnya bercerita. Ternyata
setelah kematian budhe Bekti dan sakit yang dideritanya, pakdhe berinisiatif
untuk kawin lagi dengan wanita yang mau merawatnya. Jika dilihat dari selisih
umur antara pakdhe Bekti dan budhe Lilis terpaut cukup jauh. Tetapi pakdhe
bangga dengan istri barunya ini, dengan sabar dan telaten ia merawat serta
melayani pakdhe.
Aku ingat pada waktu di kereta api ibu Lilis pernah bercerita kalau suaminya
impoten karena penyakit gula yang dideritanya. Sekarang aku tahu kalau pakdhe
memang menderita sakit gula dan impoten, klop !
Berarti, misteri suara dan lenguhan di dapur tadi sudah terkuak jelas. Adegan
merangsang itu bersumber pada budhe Lilis dan Iyem. Sekarang aku jadi maklum
jika pelampiasan sex budhe Lilis yang masih muda ini harus dituntaskan baik
dengan masturbasi (seperti cerita dan fakta di atas kereta api) ataupun dibantu
oleh Iyem pembantu rumah tangganya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.20 WIB, berarti malam sudah mulai larut.
“Kamu nginep sini tho nDi ?” tanya pakdhe kepadaku
“Jika pakdhe mengijinkan...”
“Oh ya harus.... pakdhe masih kangen....je” kata beliau,