Mbak Juminten
Namaku Agus, 28 tahun,
kisah ini terjadi 3 tahun lalu ketika aku memulai karir baru sebagai auditor di
PTPN IV di kawasan perkebunan Teh di Jawa Barat.
Aku tinggal seorang diri di rumah dinas mungil
dan asri semi permanen di sekitar kebun. Untuk keperluan bersih2 rumah dan
mencuci pakaian aku mempekerjakan seorang pembantu harian, mbak Juminten.
Wanita ini berumur 44 tahun, hitam manis,
tinggi skitar 160 dan tubuhnya sedikit gempal. Mbak Juminten asli Solo, dia
menikah dan ikut suami yg bekerja di perkebunan ini. 5 tahun yg lalu suaminya
wafat dan meninggalkan seorang balita perempuan berumur 5 tahun. Mbak Juminten
mengontrak rumah kecil di desa sekitar perkebunan bersama ibu mertuanya yg sdh
tua.
5 bulan mbak Juminten melayani keperluanku dgn
baik, meski agak pendiam dan memang kami jarang bertemu kecuali di akhir pekan.
Gaji yg aku berikan sebenarnya diatas pasaran, ttp mungkin karena besarnya
kebutuhan beliau sesekali meminjam uang dariku. Belakangan mbak Juminten
meminjam uang lebih besar dari biasanya, setelah aku tanya dgn detail akhirnya
dia mengakui telah terjebak rentenir akibat kebiasanya membeli togel dan
arisan.
Tidak mengerankan, hanya beberapa bulan
berlalu mbak Juminten telah meminjam uangku lebih dari 2 jt, dan pada usahanya
meminjam terakhir aku menolaknya dengan halus.
Pagi itu dia sangat bingung dan panik, dengan
meneteskan air mata beliau mencoba terus memohon utk memberinya pinjaman
sekitar 1,5 jt utk menutupi tuntutan hutang dari bandar judi togel di desa.
Aku kembali menolak dengan tegas, dan mbak
juminten terus terisak.
Aku memperhatikan wanita paruh baya ini dgn
seksama, wajahnya seperti kbanyakan wanita jawa pada umumnya,tdk cantik tp aku
akui masih terlihat lebih muda dari umurnya. Dan sebenarnya selama ini juga aku
sesekali melirik tubuh bawahnya yg msh kencang dan bahenol walau pikiran
kotorku tdk melangkah lebih jauh.
Semalam, aku dan beberapa temanku sempat iseng
nonton film blue sambil makan sate kambing dari warung makan Pak Kirun di ujung
desa dan minum beberapa botol anker bir.
Pagi itu terasa akumulasinya. Kesadaranku
belum begitu pulih.
Aku mencoba menepis pikiran itu, bagaimanapun
itu bukan diriku yang sebenarnya. Mbak Juminten juga jauh dari tipe wanita yg
aku inginkan. Terlebih aku takut dengan akibat yg bisa saja terjadi. Bagaimana
kalau dikemudian hari kenekatanku akan berbalik menjadi bencana utk diriku dan
karir.
Pikiranku masih silih berganti antara
pertimbangan kotor dan waras. Mbak Juminten masih duduk bersimpuh di depanku
sambil melelehkan air mata. Ruangan menjadi sunyi. Well, aku tidak mungkin tega
menolak permohonanya, tapi setidaknya dia harus belajar utk berfikir panjang.
"Jangan duduk di lantai mbak, dikursi
aja, saya jadi gak enak" aku memulai bicara.
"Nggih Den.."
Dia bangkit untuk berdiri,bagian bawah pada
daster lusuh itu sedikit tersingkap ketika dia berdiri, ada bagian yg tidak
sengaja menyangkut pada tonjolan kepala peniti pada kancing
terbawahnya,sebagian pahanya yang besar dan lututnya terkuak
dihadapanku beberapa detik. Buru2 dia
menariknya kebawah begitu tersadar. Pikiranku kembali kacau.
"Hmm...bingung saya mbak.."Jawabku,
kepalaku masih terasa pusing hasil minum2 semalam, aku menekan sisi kiri
kepalaku.
"Kenapa den, pusing?" Tanya mbak
Juminten.
"Iyah, semalem begadang sm temen2.."
Jawabku.
"Mbak ambilin aer putih
sebentar.."Serunya sambil segera berlalu ke dapur.
Sekelebat aku masih sempat melihatnya
melangkah pelan, setan makin kuat mempermainkan pikiranku. Bongkahan pantat itu
bergoyang2 dibalik daster, mungkin pakaian dalamnya sdh sempit, dan bayangan
tentang pahanya yg td sempat terlihat itu makin menggangguku.
"Makasih mbak" ujarku ketika
menerima segelas air putih dan meminumnya perlahan.
Mbak Juminten masih berdiri di depanku,
menungguku selesai minum. Aku menyumpahinya dalam hati, melihat tubuhnya lebih
dekat seperti itu pikiranku makin terpuruk.
"Duduk aja mbak, santai aja, kita
bicarain dengan tenang " ujarku.
"Iya den.." Jawabnya pelan.
"Gak kebanyakan mbak mo minjem segitu?,
terus terang saya keberatan, kayaknya yg kemaren2 sudah cukup.." Ujarku
memulai kembali pembicaraan.
"Sebenernya utangnya sejuta tuju ratus
den, tapi mbak nambain pake simpenan dirumah, tolong banget den, mbak
sebenernya malu banget tp kepaksa.."Jawabnya dengan suara lirih.
"Waduh.."Jawabku terputus.
Aku kembali terdiam, kepalaku masih terasa
pusing. Aku menatap pemandangan luar dari jendela. Sebenarnya tidak jadi soal
utk soal jumlah uangnya, cuma sisi gelapku masih mencoba meyakinkanku utk
mengambil kesempatan.
Mbak Juminten menatap ke lantai, pikiranya
masih kalut. Dia menanti jawabanku dengan putus asa. Aku akhirnya menyerah,
biarlah, ini utk terakhir aku membantunya, dan berharap dia segera pulang agar
sesuatu yg terburuk tidak terjadi pagi ini.
"Okay mbak, sebenarnya ini berat buat
saya.." Ujarku.
"Mbak rela ngelakuin apa aja den supaya
den percaya mbak mau balikin uangnya.."Sergahnya.
"Apa aja.." Waduh, kata2 itu sangat
menggelitik benakku. Perempuan bodoh, seruku dalam hati.
"Ngelakuin apa aja maksudnya apa nih
mbak.."Tanyaku sambil tersenyum.
"Apa aja yg den agus minta mbak kerjain
.."Jawabnya lugu.
"Selain urusan rumah memang apa lagi yg
bisa mbak kasih ke saya?" Kalimatku mulai menjebak.
"Hehe..apa aja den.." Jawabnya
sambil tersipu.
"Mbak..mbak..hati2 klo ngomong.."Aku
menghela nafas menahan gejolak batin.
"Maksudnya apa den.."Tanyanya heran.
"Saya ini laki2 mbak, nanti kalo saya
minta macem2 gimana.."Lanjutku mulai berani.
"Mbak gak paham den.." Wajahnya
masih bingung.
"Yaa gak usah bingung, katanya mau
ngelakuin apa aja.."Godaku.
"Yaa sebut aja den, nanti mbak usahain
kalo memang agak berat dikerjain.."Jawabnya.
"Walah..mbak..mbak..yaa sudah saya ambil
uangnya sebentar, tapi janji yah dikembaliin secepatnya"aku berusaha
menyudahi percakapan ini.
"Makasih den..makasih
banget.."Jawabnya lega.
"Tapi emangnya den Agus tadi mau ngomong
apa,mungkin mbak bisa bantu?"Lanjutnya.
Aku yg tengah berjalan menuju kamar terhenti,
kali ini pikiranku sudah tidak terkontrol lagi, kalimat itu seperti akan
meledak keluar dari mulutku.
Aku membalikan badan, menatapnya dengan
seringai aneh.
"Mbak yakin mau nurutin apa aja kemauan saya?"Sergahku.
"Iya den, ngomong aja.."Jawabnya.
Dasar perempuan bodoh ujarku dalam hati.
" Saya kepengen mbak masuk ke kamar
saya.."Kalimat selanjutnya seperti tercekat ditenggorokan.
"Terus Den?" Tanyanya penasaran.
" Mbak temenin saya tidur.."Ucapanku
serasa melayang diudara, jantungku berdegup kencang.
Wajahnya sontak kaget dan bingung. Aku tau dia
pasti akan bereaksi seperti itu, tapi salahnya sendiri. Aku sudah berusaha
keras utk menahan diriku utk tidak berniat aneh pada dirinya tapi kesadaranku belum
penuh utk melawan kegilaan ini.
"Maksudnya..maksudnya apa den..mbak kok
jadi takut.."Wajahnya mulai memucat.
"Iya temenin saya di ranjang, saya lagi
kepengen gituan dengan perempuan sekarang.."Jawabku, aku tau mukaku
memerah.
"Mmm...tapi..tapi itu kan gak mungkin
den.."Ujarnya dengan suara pelan.
"Mungkin aja kalo itu syaratnya mbak mau
pinjem uang.."Jawabku .
Ruangan kembali sunyi, mbak Juminten
tertunduk, menggenggam kedua tanganya dengan gelisah. Ada rasa sesal telah
mengucapkan kalimat tadi, tapi sudah terlanjur. Aku sudah tidak mungkin
menariknya, sekarang biar sisi gelapku yg bertindak.
"Gimana mbak?" Tanyaku sambil
kembali duduk dikursiku.
"Tapi itu gak mungkin Den..gak
mungkin..mbak bukan perempuan kaya gitu.." Jawabnya, suaranya kembali lirih.
"Hhhh..." Aku menghela nafas berat.
Mbak Juminten wajahnya kembali muram, matanya
menatap ke luar pintu, kosong, sperti berpikir keras.
"Mbak gak nyangka kok aden bisa2nya minta
yang kaya gitu..mbak ini sdh tua..gak pantes .."
Aku diam beberapa saat. Ada rasa amarah tanpa
alasan bermain dipikiranku.
"Itulah laki2 mbak.." Hanya itu
kalimat yg bisa meluncur dari mulutku.
Dia mungkin menyesal telah mengucap kata2 yg
tadi memancing kenekatanku. Tapi situasinya sudah terjepit, wanita lain mungkin
akan menghardiku dan segera pergi menjauh, sementara mbak Juminten tidak punya
pilihan lain.
"Sekarang terserah mbak, saya tetep kasih
uang yg mbak minta, kalo mbak mau menuhin kemauan saya okay, gak juga
silahkan.."Jawabku pelan sambil melangkah ke kamar.
Aku kembali ke ruang tamu dengan sejumlah uang
ditangan. Aku meletakanya pelan di atas meja kecil di depannya. Wajahnya masih
terlihat tegang, dia hanya melirik sebentar ke arah meja kemudian kembali
tenggelam dalam pikiranya.
Kami kembali sama2 membisu. Sesekali aku
menatapnya, dia menyadari tengah diperhatikan olehku.
"Den...apa aden yakin ...?" Tiba2
dia berucap.
"Sebetulnya saya gak tega mbak, tapi
entahlah..itu yg ada dalam otak saya sekarang..terserah mbak de.."Jawabku
dengan tenang.
Matanya berkaca2 menatap langit2 ruangan,
perasaanya pasti tertekan. Dia kembali terdiam.
"Hmmmm...baiklah Den..mbak gak tau lagi
mo ngomong apa, atau harus kaya mana sekarang..kalo itu maunya
aden..terserahlah..jujur aja mbak teh takut banget..mbak bukan prempuan gitu
den..mbak memang janda..tapi bukan.."
"Sudahlah mbak, klo memang bersedia,
skarang saya tunggu di kamar, kalo keberatan, silahkan ambil uangnya dan segera
pulang.."Ujarku tegas, kemudian aku bangkit berdiri dan melangkah ke
kamar.
Aku membaringkan tubuhku di kasur, trus terang
aku pun dilanda ketakutan.Aku tengah dilanda gairah, tapi was2 dengan
kemungkinan buruk yg bisa saja terjadi.
Butuh beberapa menit menunggu, pintu kamarku
yg memang tidak terkunci perlahan2 bergerak terbuka. Mbak Juminten melangkah
masuk sambil tertunduk, terlihat sangat kikuk.
Dia berdiri menatapku di samping ranjang,
tatapanya penuh arti. Well, kalo saja aku tidak terlanjur berpikiran mesum
mungkin aku segera berlari keluar kamar, aku merasakan takut yg sama seperti yg
dirasa mbak Juminten.
Tapi aku berusaha tenang, aku bangkit dan
duduk di pinggir kasur.
"Mbak yakin mau ngelakuin
ini"?tanyaku.
"Hhh..sekarang smuanya terserah aden
aja.."Jawabnya pasrah.
Aku menatapnya lekat2, pandanganku menelusuri
seluruh tubuhnya, seperti ingin menelannya hidup2.
Tangan kananku meraih jemari kiri tanganya.
Aku memegangnya pelan, jemari itu terasa dingin dan gemetar.
Memang sudah harus kejadianya seperti ini, apa
lagi yg aku tunggu ujarku dalam hati. Makin cepat makin baik, setan itu
membisiki bertubi2.
Aku menarik tangan itu agar tubuhnya mendekat.
Niatku sebelumnya ingin memeluknya terlebih dahulu, tapi nafsuku sudah tidak
tertahankan. Aku segera meneruskan dorongan tubuhnya yg limbung terhempas ke
atas kasur.
Begitu dia terhenyak di sampingku, aku
langsung menerkamnya, menghimpitnya dibawah tubuhku dan ciumanku langsung
mendarat dibibirnya.
Aku tidak memberikanya waktu utk berpikir, aku
melumat2 bibirnya, menciumi dengan kasar lehernya dan trus bergerak menjelajahi
bagian dadanya.
Nafasnya tersengal, wajah itu masih terkaget2
dengan apa yg sedang aku lakukan. Jemariku segera beraksi, aku menjamah
bongkahan pahanya dibawahku, daster itu telah tersingkap ke atas.
Aku seperti kesetanan menciumi pahanya yg
besar, mengecup berkali2 selangkanganya dan jemari tanganku yg lain langsung
meremas buah dadanya. Gerakanku cepat terburu nafsu.
Sebentar saja seluruh tubuhnya telah ku jamah.
Aku masih menciuminya membabi buta. Tak lama kemudian aku bergerak cepat
membuka lepas pakaianya.
"Den..jangan den..sudaah.." Serunya
ketika aku kembali menciuminya,hanya hanya bra dan celana dalamnya yg tersisa
menutupi tubuhnya. Seraya kedua tanganya berusaha mendorong tubuhku.
Aku tidak memperdulikan perlawananya. Aku
menduduki perutnya sambil kedua tanganku bergerak melepas bajuku.
Nafasku memburu, yg keluar dari mulutku
hanyalah desahan penuh nafsu angkara murka. Wanita ini makin ketakutan
melihatku.
Kemudian aku bangkit berdiri di atasnya. Kedua
tanganku bergerak cepat melepas celana pendek dan celana dalamku. Mbak Juminten
menangis.
Aku tidak perduli lagi, kejantananku telah
berdiri mengacung di atasnya, mbak Juminten makin panik melihatku. Jemariku
bergerak2 mengocok2 cepat batang penisku sehingga semakin keras berdiri,
matanya terpejam basah.
"Den..sudahlah
den...jangan..sudahlah..mbak gak jadi pinjem uang..sudaaah.."Jeritnya ketika aku
kembali menduduki perutnya. Dia berusaha meronta tapi kedua tanganku dengan
kuat menahan tanganya pada kedua sisi bantal.
"Sudah telat mbak" Suaraku bergetar
menghardiknya.
Aku memaksa kedua paha sekel itu terbuka, dia
masih berusaha menutupnya rapat. Kami bergumul beberapa saat, begitu ada celah
aku segera menekan kuat selangkanganku di dalam jepitan pinggul mbak Juminten.
Dengan gerakan kasar aku menarik ke samping
paha kirinya. Tanganku langsung bergerak menuntun penisku ke arah vaginanya.
Aku sempat salah memposisikanya, dorongan
penisku menggesek keluar di atas permukaan kemaluanya. Pada percobaan kedua
kepala penis itu langsung menusuk masuk.
Mbak Juminten menjerit terperikan oleh rasa
sakit..Wajahnya meringis,matanya menyipit menahan perih diselangkanganya. Dia
sangat terkejut ketika benda itu menerobos masuk.
"Ahhh...shhh...oohhh.."
Desahku,terasa nikmat menjalar melalui kejantananku hingga naik ke otak, aku seperti
terbakar. Melihat kemaluan mbak Juminten yg berbulu lebat membuatku makin
bernafsu. Tubuh kami masih terdiam kaku beberapa saat.
Aku sedikit menarik penisku dan menusuknya
kembali di dalam, mbak Juminten kembali tersedak,urat lehernya menegang, matanya
menatap ke arah selangkangan, lelehan air mata itu masih mengalir dipipinya.
Aku kembali mengulanginya, kali ini aku
mendorongnya lebih keras. Mbak Juminten makin menjadi tangisnya.
"Ouhh..huuhuu..huhuu..deen..sudah
denn...sudaaah.." Rintihnya sambil memegang bahuku keras.
Selanjutnya aku lupa diri, aku meliuk2
menyodok selangkanganya. Penuh tenaga, makin lama makin cepat gerakanku. Bunyi
derit ranjang kayu itu menambah seru suasana.
Wanita ini memiliki tubuh yg cukup menawan.
Meski sudah berumur tapi kulitnya masih kencang, bokongnya tebal dan bahenol.
Pahanya yg besar itu mulus meski tidak putih, melingkari pinggulku.
Aku beringas menghempas2 tubuhnya di bawahku.
Mbak Juminten telah berhenti menangis, matanya terpejam, hanya terdengar suara
nafasnya yg terputus2, buah dadanya bergoyang2 mengikuti gerakanku. Wanita ini
sudah pasrah dengan apa yg tengah terjadi.
Bahkan ketika aku merubah posisi, mengangkat
kedua pahanya ke atas, menahanya tergantung di udara dengan kedua
lenganku,kembali penisku terbenam,mbak Juminten hanya diam. Hujamanku makin
bebas dan dalam menjajah vaginanya yg terkuak lebar.
".. Plok..plok..plok.." Suara
gesekan selangkangan itu terdengar jelas ditelingaku.
Kemaluan mbak Juminten yg basah makin
menghangatkan batang penisku di dalam. Sesaat lagi aku sudah tidak kuat menahan
desakan, aku seperti kesetanan menggenjotnya. Mbak Juminten seperti mengerti
apa yg akan segera terjadi.
"Den..tolong.. jgn keluarin di dalem
den..tolongg..." Serunya memohon dengan suara gemetar.
Aku tidak menjawab, aku tengah fokus ingin
menuntaskan aksiku. Sedikit lagi akan sampai.
Mbak Juminten memekik menyebut namaku saat
tusukanku tiba2 berhenti, tubuhku tengah meregang.
"Deenn..cabut
deen..." Serunya panik sambil menekan perutku ke belakang.
Aliran sperma itu bergerak naik mendekati
pangkal penisku, jemariku telah kuat mencengkram sprei. Beruntung aku masih
sempat menarik batang penisku keluar dan tepat sedetik kemudian semprotan
pertamanya melompat keluar.
"Ahhhhh...sshhhhhh...mbaaak...aduuhhhh....."
Jeritku panik.
Belasan kali cairan hangat itu menghantam
sebagian perut mbak Juminten. Aku terpapar kenikmatan luar biasa, mataku
terpejam beberapa saat hingga akhirnya semuanya usai.
Mbak Juminten melihat proses akhir tadi dengan
seksama, dia memperhatikan wajahku yg meregang, matanya was2 melihat penisku
memuntahkan cairan kental itu membaluri perutnya.
"Sudah den..sudah
puas ?" Ujarnya beberapa saat ketika aku masih tersengal diam di atasnya,
air mata itu kembali mengalir dari pinggir pipinya.Kalimat itu serasa
menamparku.
Rasa penyesalan perlahan2 merayap . My gosh,
aku baru saja menodai perempuan ini. Bagaimana mungkin hingga aku bisa sebejat
itu.
"Maafin saya mbak..saya bener2
khilaf.." Jawabku bingung.
Aku beringsut mundur, memungut seluruh
pakaianku, melangkah ke kamar dan meninggalkanya terbaring di ranjang.
Aku melepas kekalutan pikiranku dengan
menghisap sebatang rokok di ruang tamu. Mudah2an mbak Juminten tidak
memperkarakanku, menganggapnya selesai hanya di sini. Aku menepuk2 keningku
menyesali kebodohanku.
Mbak Juminten keluar kamar beberapa menit
kemudian. Matanya sembab, dia duduk di kursi di sampingku, tanpa bicara.
Suasana hening, aku tidak berani menatapnya atau memulai pembicaraan.
"Ini uangnya saya ambil den, nanti diusahain
dikembaliin kok.." Ujarnya pelan, suaranya berat,hidungnya seperti
tersumbat cairan.
"Iya mbak, gak usah dipikirin soal
kembalianya..dan..maaf soal yg tadi.."Jawabku tanpa menoleh kepadanya.
"Gak papa den..gak papa.."Jawabnya,
tangisnya kembali pecah sedetik kemudian, bahunya terguncang2, aku hanya bisa
terdiam.
"Sekali lagi maaf mbak.."
Dia mengangguk pelan sambil menunduk,tetes2
air mata itu masih berjatuhan dipangkuanya. Aku meraih uang itu,
melipatnya,kemudian memasukanya ke dalam kantung dasternya.
Jemariku menyentuh pangkal tangannya,
menepuknya pelan kemudian tanpa bicara aku melangkah masuk ke kamar sambil
menutup pintu. Aku tidak sanggup lagi melihat wanita itu menangis. Aku
terbaring,penat terasa, pinggangku nyeri.
Aku melihat Jam di dinding, pukul 2 siang, aku
mungkin telah tertidur lebih dari 2 jam. Perutku sangat lapar, aku melangkah
keluar kamar. Mbak Juminten mungkin telah lama pulang. Aku kembali didera
pikiran buruk. Dendamkah dia padaku, bisa saja tiba2 orang sekampung muncul mendatangiku
dengan tuduhan cabul atas laporan darinya. Hhhh..sudah terjadi, yg nanti urusan
nanti.
Aku pergi kerja agak telat keesokan harinya,
aku sengaja menunggu mbak Juminten datang, memastikan bahwa kekawatiranku tidak
terjadi. Jam 8 mbak Juminten tiba, perasaanku tidak karuan ketika dia membuka
pintu depan.
"Loh belum kerja den?" Tanyanya,
wajah itu terlihat datar, malah ada senyuman kecil menghias bibirnya.
"Ini dah mau jalan mbak, sengaja nunggu
mbak dateng.."Jawabku berusaha tenang.
"Hehe..kenapa, takut saya gak bakal
dateng lagi ya?" Tertawanya membuatku lega.
"Iya mbak..takut aja, ...mm.."
"Mm.. Apa den..?" Lanjutnya sambil
masih berdiri di depanku.
"Maaf yg kmaren mbak..."Jawabku.
".....ya ndak papa den...mmm..yo
wis..lupain aja.." Serunya, dia melangkah ke dapur tanpa menunggu reaksiku
selanjutnya.
Yah sudahlah, yg jelas tidak akan ada masalah,
dia sudah menerima perlakuanku kemarin. Aku segera berlalu menuju kantor.
Hari2 selanjutnya berlangsung normal, kami
hanya bertemu di akhir pekan, tidak ada bahasan lagi soal peristiwa itu. Mbak
Juminten tetap melakukan pekerjaanya dengan baik. Kami hanya sesekali mengobrol
basa basi.
Satu bulan berlalu, aku mulai melupakan
peristiwa itu. Kerjaanku makin banyak mendekati akhir tahun. Aku juga makin sering
menghabiskan waktu di luar bersama teman2 di akhir pekan.
Hingga pada suatu pagi di hari sabtu aku
terbangun dan terjebak dalam lamunan tentang mbak Juminten. Malam itu aku mimpi
erotis, dengan mbak Juminten, cairan sperma itu sebagian telah mengering
memenuhi celana dalamku.
Dalam mimpi itu aku menggauli mbak Juminten
dari belakang, bongkahan pantat itu terpapar jelas dalam penglihatanku. Damn
it, kenapa hal ini kembali menggangguku.
Jam 9 pagi, wanita itu telah datang seperti
biasanya. Aku baru saja selesai mandi dan tengah bersiap utk sarapan.
" Dah sarapan mbak? Ayo ini saya tadi
beli dua bungkus nasi uduknya, satu utk mbak.." ujarku sambil tersenyum
ramah.
"Makasih den..nanti aja, mbak mau beres2
cucian pakaian dulu.." Jawabnya.
"Santai aja dulu..temenin saya sarapan
dulu.." Ntah kenapa pagi itu aku agresif.
"Nggih den, sebentar ambil piring dan
sendok dulu.." Jawabnya seraya melangkah ke dapur.
Aku melihat tubuhnya dari belakang, rok merah
sepanjang bawah betis itu cukup jelas mencetak lekukan pinggul, pantat dan
pahanya. My gosh, darahku berdesir, mimpi semalam membuat hayalanku makin
parah.
Otaku segera bereaksi, mencari jalan pintas,
berandai2 seandainya hari ini aku kembali bisa memperdayainya. Aku segera
menepis pikiran buruk itu.
Mbak Juminten telah kembali, duduk
bersebrangan di depanku dan telah bersiap utk makan.
"Gimana kabar orang rumah mbak, sehat
semua?" Tanyaku basa basi.
"Sehat den..." Jawabnya santai.
"Anaknya kapan mulai sekolah mbak, taun
depan?"
"Iya den, rencana taun depan..mdh2an
rejekinya lancar.."
"Yaa selagi saya di sini tetep aja kerja
di sini mbak..klo mbak mau tambahan, mungkin coba mulai masak katering utk
anak2 sini, kemaren ada obrolan kita di sini soal itu. Pada bosen katanya makan
masakan luar, lebih boros juga..." Lanjutku.
"Wahh bagus tu den..tapi perlu modal, ibu
mertua saya pinter masak.."Jawabnya semangat.
"Gampang soal modal, nanti saya
pinjemin..klo mau mulai depan mbak..nanti saya tawarin temen2 saya.."
"Gak enak klo dipinjemin melulu, kasian
den Agus.." Jawabnya.
"Yaa klo utk bisnis kenapa gak mbak,
sama2 bantu..saya jg nanti minta harga diskon dong..hehe.." Jawabku.
"Hehe..untuk den Agus gratis aja..lha
uangnya kan dari aden jg.."
"Yaa gak boleh gitu mbak, bisnis tetep
bisnis.."Jawabku.
"Duh saya makin banyak utang budi dong
den.."Lanjutnya.
"Jgn berpikir gitu..saling bantu wajar
aja mbak.."
"Yo wis, nanti tak bilangin sama ibu
mertua, dia pasti seneng.."
"Iya mdh2an jalan mbak..semangat yg
penting.."Jawabku.
Obrolan pagi itu terasa menyenangkan, spertinya
dia benar2 melupakan kejahatanku waktu itu. Aku merasa lega, walau dalam hati
aku menginginkan kehangatanya lagi. Pasti nanti ada jalannya, sabar aja, setan
itu kembali membisiki.
Minggu pagi, keesokan harinya, mbak Juminten
datang membawa anak perempuanya ke rumah.
"Maaf yaa den, si Rini saya bawa, mbahnya
td pagi dijemput ipar saya ke Solo, mau ada acara kawinan sodaranya."
"Yaa gak papa mbak, biar dia bisa maen di
sini, hei pa kabar cantik.." Seruku sambil tersenyum ramah kepada anaknya.
Bocah itu tersipu dan bersembunyi dibalik kaki
ibunya.
"Saya mau jalan dulu ya mbak, ada acara
kawinan anak kantor..siang baru pulang.."
"Nggih den....monggo.." Jawabnya.
Aku segera berlalu, mbak Juminten terlihat
manis pagi ini, rambutnya terurai ikal menjuntai ke bahu. Paduan kaos biru dan
celana jeans ketatnya itu membuatnya terlihat lebih muda.
Well..well..well..kapan kita bisa bisa berdua di kamar lagi mbak, ucapku dalam
hati.
Hujan turun dengan lebatnya sesampainya aku
kembali di rumah. Sebagian kemeja dan celanaku telah basah kuyup.
"Waah keujanan den..ini dipake handuknya
dulu, nanti mbak bikinin aer panas.."Serunya ketika membuka pintu.
"Makasih mbak.." Aku langsung
berlalu ke kamar, mengelap kepala dan tubuhku dengan handuk dan mengganti
pakaian.
"Rini kemana mbak, kok sepi.."
Ujarku ketika duduk diruang tamu.
" Barusan tidur di kamar belakang
den..sudah kenyang tidur dia..wah..kenceng ya anginya.."Jawabnnya.
"Iya mbak, sudah lama jg gak ujan.."
"Ini mbak bikinin teh anget pake jahe
den..diminum.." Lanjutnya.
" mantep nih..makasih mbak.."Jawabku
sambil menerima cangkir dari tanganya.
Teh itu tidak terlalu lama mengepul, udara
dingin perkebunan ini membuatnya segera tidak begitu panas lagi. Udara diluar
gelap seperi senja. Angin menerpa atap seng,menimbulkan suara berisik.
"Masih sibuk mbak, santai aja dulu duduk2
di sini.."Ujarku melihatnya mondar mandir.
"Iya den, sebentar mau mindahin air panas
ke termos.."Jawabnya.
Tak lama dia menghampiriku dengan membawa
sepiring biskuit dan teh utk dirinya. Kami belum memulai obrolan. Aku masih
sibuk membalas sms teman2ku.
"Mbak gimana kabarnya, urusan yg dulu itu
sudah selesai.." Ujarku memulai pembicaraan.
Dia sedikit terusik dengan pertanyaanku.
"Sudah den..mbak sudah kapok gak mau lagi
maen gituan..gak ada gunanya.."Jawabnya.
"Hehe..iya mbak, ngapain jg..dikerjain
bandar aja kalo togel sih.."Jawabku tersenyum.
"Uangnya nanti pelan2 mbak angsur yaa
den..maaf.."Lanjutnya.
"Gak papa mbak, santai aja, nanti klo
kateringnya lancar mbak bisa dapet tambahan..tenang aja.." Jawabku.
"Makasih den.."
Kami kembali terdiam. Tiba2 aku tergelitik utk
bertanya tentang peristiwa dulu itu. Sedikit ragu jika itu membuatnya tidak
nyaman tapi kalimat itu mengalir tanpa bisa kutahan.
"Mbak..maaf boleh saya nanya.."
"Boleh den..mo nanya apa.."Jawabnya.
"Yg kemaren itu..mbak gak marah dengan
saya ?" Lanjutku.
Dia terdiam beberapa saat,aura wajahnya
berubah.
"Mmm..mbak ikhlas kok den..salah mbak
juga..sudahlah gak papa.."jawabnya pelan sambil mengalihkan pandangan ke
arah jendela.
"Boleh nanya lagi mbak.." Lanjutku.
"Monggo den.."
"Apa yg mbak rasa waktu itu,..mm..waktu
di kamar.." kalimatku makin menjebak.
"....mmmm...gimana ya..gak tau
den.."Jawabnya, wajahnya terlihat canggung.
" Sakit..atau jijik mbak.."
"Jijik kenapa..sakit sih iya.."
Jawabnya pelan.
"..aden kok bisa begitu waktu itu..mbak
ini jauh lebih tua..kok bisa.." Lanjutnya.
" ..nafsu laki2 mbak..liar..kadang gak
bisa kontrol.."Jawabku.
"Soal tua sih gak jadi soal..jujur aja,
mbak masih menarik kok.."Lanjutku makin berani.
"Menarik apanya..aden masih muda..cari
pacar yang muda, cantik..gak susah.."Jawabnya.
"...well..saya masih belum tertarik utk
pacaran lagi mbak.."
" Apa yg aden pikir semenjak kejadian itu
soal mbak.."Tanyanya kembali.
" Maksudnya..?"
"Yaa apa aden pikir mbak ini jadi
perempuan gimanaa gitu di pandangan den agus.."
"Saya nyesel sesudahnya mbak, gak tega
bikin mbak gitu..yaa selanjutnya saya masih respek kok sama
mbak.."Jawabku.
"..mbak juga nyesel.."
" tapi kalo boleh jujur..maaf yaaa
mbak.."
"Apa den..ngomong aja.."Jawabnya
penasaran.
".. Saya pengen ngulangin lagi..saya tau
itu gak mungkin..maaf yaa mbak.."Suaraku sedikit bergetar, jantungku
berdetak cepat.
"....mmm...apa yg aden cari..mbak seperti
ini, perempuan kampung, gak cantik..dah tua lagi.." Wajahnya lekat2
menatapku.
" ..masih tetep menarik kok mbak..saya
masih suka inget2 kejadian itu.."Jawabku.
Mbak Juminten tersenyum tipis, aku penasaran
apa yg ada dalam pikiranya.
"Apa yg aden inget waktu kejadian
itu.." Ujarnya.
"Yaa indah mbak..malem
sabtu kemaren saya sempet mimpiin mbak gituan sama saya..sorry.."Jawabku.
"hehe..aden masih muda, wajar kalo
pikiran ke arah itunya masih kuat, jadi.."
"Sekarang jg lagi mikirin itu
mbak.."Aku memotong kalimatnya.
"..hmm...yaaa mbak berat hati utk begitu
lg ..takut den.."Jawabnya.
"Kalo saya minta tolong supaya mbak gak
takut lagi gimana.."Responku mencecar pikiranya.
"Yaaaa..gimana den..gak usah de..yg sudah
yaa sudah.."Jawabnya.
Aku paham dia tengah dilanda kebingungan, di
satu sisi dia segan menepis godaanku, di sisi lain dia tidak ingin terjerembab
dalam perzinahan bersamaku lagi.
Aku menggeserkan dudukku mendekat. Tanganku
memegang jemari tanganya. Wanita ini terkesiap dgn kenekatanku.
"Mbak..gak perlu takut..mbak bisa minta
apa aja dari saya.." Ujarku sambil menatap kedua matanya lekat2.
" Jangan den..dosa...."Jawabnya
ketakutan.
Tapi dia sudah terlambat, ciuman bibirku telah
mendarat di bibirnya. Aku memagut2 bibir itu pelan.
Wajahnya pucat pasi..antara kaget dan bingung
dengan apa yg dia tengah rasa. Aku kembali menciumi wajahnya, bibir kami
kembali bertemu, tanganku telah melingkar dengan manis di lehernya.
Dia hanya terdiam..tanpa reaksi. Tidak ada
penolakan, aku makin berani merapatkan tubuhku. Kali ini tidak hanya bibir dan
sekitar wajahnya, ciumanku mendarat di leher dan belakang telinganya. Mbak
Juminten bergidik, tubuhnya merinding.
Mendung semakin gelap diluar, petir sesekali
menggelegar diiringi deru angin kencang. Aku berdiri, kedua tanganku menggapai
tanganya, menariknya keatas kemudian membawanya melangkah mengikutiku, ke arah
kamar...
Mbak Juminten sama sekali tidak bereaksi, dia
kikuk mengikuti langkahku. Wajahnya takut2 melihatku ketika pintu kamar itu
tertutup rapat.
Ruangan kamar cukup gelap, hanya sebagian
tubuh atas kami yg terlihat jelas. Tidak perlu lagi berkata2, segera tuntaskan
apa yg ada dalam hati.
Aku membimbingnya utk berbaring diranjang.
Wajahnya menatapiku tanpa henti,menanti kejutan2 selanjutnya. Aku kembali
menciumi bibir itu, tidak ada balasan berarti darinya. Seluruh leher dan bagian
dadanya yg tertutup kaos itu habis ku kecup. Nafas mbak Juminten terdengar
menderu.
Tidak perlu lagi basa basi, aku segera melepas
habis pakaian yg dikenakanya. Hanya tertinggal bra dan celana dalam lusuh itu
menutupi. Tubuhku pun telah hampir telanjang, pakaianku berserakan di lantai.
Aku langsung menindih tubuhnya.
Mbak Juminten mendesah, jantungnya terdengar
cepat berdetak di telingaku, mulutku tengah puas mencium dan menggigit2
payudaranya yg lumayan besar.
Kulit kami saling menempel, bulu2 diperutku
mungkin membuatnya makin merinding. Tanganku telah kesana kemari meraba
tubuhnya, jemariku lincah menggosok2 sekitar selangkanganya.
Penisku telah sedari tadi diruang tamu
mengacung keras, diranjang ini dia semakin garang menempel dan kadang2
menggesek tepat ditengah2 selangkangan mbak Juminten. Dia makin terbuai oleh
rangsangan dariku. Wanita ini siap sedia untuku hari ini, aku sangat beruntung.
Akhirnya kami sudah sama2 siap tempur. Vaginya
sudah terkuak lebar dan basah. Permainan lidahku tadi di situ telah membuatnya
tanpa sungkan2 merintih dan mencengkram erat kepalaku.
Pahanya terkulai lebar ke samping, aku sudah
bersiap menusuk. Sedikit demi sedikit batang itu terbenam diiringi dengan
rintihan mbak juminten dan desis yg keluar dari mulutku. Kami berpelukan erat
ketika penis itu telah berhasil menyentuh dasar vaginanya. Oh my gosh, nikmat
sekali.
Kami kembali berpagutan, pelan2 aku menarik
ulur selangkanganku. Mbak Juminten hingga memeluk pantatku merasakan sensasi
itu.
"Nikmatilah mbak,nikmati yg sudah lama
tidak kau rasakan. Usiaku memang terlalu muda untukmu, tapi aku sanggup
memberimu kepuasan," ujarku dalam hati.
Aku ingin menikmati moment ini lebih lama, aku
mengaduk2 kewanitaanya perlahan dan lembut. Suasana begitu romantis.
"Uhh..uhh..shhh..hhhh..." Mbak
Juminten mendesah setiap kali aku menusuk selangkanganya. Tanganya lembut
memeluk punggungku.
Kami terus berpagutan, pantatku meliuk2
menghantam. Makin lama gerakanku makin cepat. Tenagaku seperti tidak habis
membawanya pada kenikmatan. Mungkin lebih dari 15 menit berlangsung, mbak
Juminten mulai kewalahan. Jepitan pahanya makin kuat sementara pantatnya tidak
henti bergerak ke atas menyambut penisku, nafasnya sudah tersengal. Mungkin
tidak lama lagi mbak Juminten mencapai klimaks.
"Buuuk..ibuuuk..di manaaa...rini pengen
pipis.." Tiba2 suara anaknya terdengar nyaring di depan pintu kamar.
Kami yg tengah melambung terkesiap kaget dan
melepas pelukan. Sekejap saja kami telah berdiri, saling bertatapan dalam
kebingungan.
"Buu...ibuuu.."Lanjut
bocah itu.
Damn it..aku menyumpah dalam hati.
"Iya sebentar naaaak..pipis aja di
dapur..ada kamar mandi di situ..ibu lagi beresin kamar..sebentar lagi
keluar.." Jawab mbak Juminten panik berusaha memungut pakaianya yg
berserakan di kasur.
"Iya bu.." Jawab bocah itu.
"Nanti baring aja lagi di kamar, ibu
nanti nyusul.."Jawabnya sambil berusaha meraih celana dalamnya.
Aku menahan tanganya, "biar aja
mbak..tanggung sebentar lagi.." Ujarku.
"Jangan..nanti dia curiga.."
Jawabnya menepis tanganku.
"Nggak..sebentar lagi..tenang
aja.."Seruku.
"Jangan Den.." Jawabnya, tapi
kalimat itu terpotong.
Aku menarik tubuhnya, nafsuku sudah memuncak.
Aku mendorong tubuh telanjangnya menghadap meja kecil di hadapan kami. Dengan
sekali kibasan seluruh benda2 kecil di atasnya berlompatan jatuh ke lantai
dengan suara yg berisik.
"Den..nanti den...sabar.." Jawabnya
kebingungan.
Aku tidak memperdulikan ucapanya. Tubuhnya ku
dorong merapat ke pinggir meja, kedua kakinya aku paksa untuk melebar,
pantatnya aku tarik ke belakang. Posisi mbak Juminten sudah menungging di
depanku, belahan pantat itu mempertontonkan lubang anusnya.
Aku menjadi kian brutal, pantat besar dan
bahenol itu ku angkat, bagian vagina dan rambut2 halus itu terpampang didepan
selangkanganku. Penisku langsung mendekat, langsung menghujam masuk.
Pemandangan dibawaku membuatku makin bernafsu.Batang penis itu perlahan
menghilang diantara bongkahan pantatnya.
O gosh..nikmat sekali, aku mendesis2 menahan
geli. Segera saja tubuhku menyodok2 dengan kuat. Tubuh mbak Juminten maju
mundur terpapar seranganku. Sebentar saja dia kembali merintih.
Permainan kami berlangsung cepat, kekagetan
tadi itu menambah selera, bunyi gesekan kemaluan kami mengiringi. Mbak Juminten
memutar2 pinggulnya berusaha segera meraih akhir perjuangan. Peniskupun sudah
seperti ingin meledak.
Tubuhku semakin kuat menekannya kedepan, mbak
Juminten gemulai memutar pantatnya kesana kemari, makin liar dan binal dan
akhirnya dia meraih klimaks.
"Uhhhh...uhhh...dennn....aduuuhh..uuhh..huhhu..huhu
uu..uuhh.." Jeritnya sambil terisak.
Kedua pahanya mengejang kaku,kepalanya hingga
terbaring dipermukaan meja sambil terus merintih tiada henti. Cairan hangat
kewanitaanya membasahi penisku di dalam.
Aku ingin segera merasakan hal yg sama,
sodokanku makin cepat melabraknya.Beberapa kali ayunan akhirnya pantatku
berhenti bergerak bersiap meregang, tanganku kuat mencengkram pinggulnya.
"Cabut den..cabut...jangan
didalem.."Serunya panik.
Aku masih sempat menarik penisku keluar tepat
ketika spermaku datang menerjang.
"Ahhhhh....mbakkk..oooh...shhh..ahhh..."Jeritku
ketika sperma itu menyemprot panas tepat diatas bongkahan pantat bahenol mbak
Juminten.
Sebagian mendarat di dalam belahan pantatnya,
mengalir turun menelusuri permukaan anusnya. Jari tangan mbak Juminten
menyelusup dibagian situ, menahan aliran sperma itu mendekati vaginanya dan
menyekanya dengan cepat.
Kami terkesima dengan nafas tersengal. Nikmat
masih menjalari benak kami dalam bisu. Akhirnya permainan ini usai.
Aku terduduk lemas di pinggir ranjang menatap
mbak Juminten yg masih berdiri dari belakang, badanya limbung memegang
pinggiran meja. Cairan sperma itu berkilauan pada bagian pantatnya. Juga
terlihat cairan putih kental dari dalam vaginanya yg tertahan bulu lebat kemaluan
mbak Juminten.
Hujan telah reda ketika kami duduk di ruang
tamu. Bocah kecil itu tengah serius menonton tivi di belakang kami. Dia tidak
menyadari bahwa ibunya baru saja telah bertarung hebat di kamar bersamaku.
Mata kami yg hanya berbicara saat itu, apa yg
sudah terjadi tadi membungkam kami tenggelam dalam pikiran masing2.
Semenjak hari itu hubungan kami berada dalam
suasana yg baru. Usaha katering yg kujanjikan berjalan sukes, taraf hidup mbak
Juminten meningkat lebih baik.
Hingga hari ini mbak Juminten masih menemani
gairah mudaku yg tak kenal batas. Ada terbersit dalam hati untuk menikahinya
suatu hari nanti, biarlah waktu yg menentukan akhirnya. Udara dingin perkebunan
teh ini membuat kami terus larut.
TAMAT