MBAK TITIS
Namaku Dimas. Aku tinggal di kota jogja. Ceritaku ini terjadi pada tahun 2001. Pada waktu itu aku masih kuliah di sebuah PTN
terkenal di jogja. Aku ambil cuti kuliah
untuk bekerja di sebuah radio swasta yang baru berdiri. Waktu itu aku bekerja sebagai kru produksi. Pekerjaannya sangat sederhana yaitu merekam
lagu, membuat iklan radio, dan mempersiapkan segala hal yang sifatnya off-air. Pemilik radio itu namanya Bapak Damian. Dia mempunyai istri yang sangat cantik. Aku biasa menyebutnya dengan Ibu Titis.
Ibu Titis tingginya kira-kira 170cm, bahkan lebih tinggi dari suaminya. Ibu Titis bekerja di sebuah perusahaan swasta
di jogja. Sejak pertama kali masuk kerja
di radio itu, aku udah kepincut dengan Ibu Titis. Ibu Titis ini berparas sangat cantik, mungkin
sensual. Tinggi kira-kira 170cm, berat
50kg. Payudaranya tidak besar, sama
sekali tidak besar. Tapi justru
payudaranya yang kecil itu yang membuatku sangat penasaran. Aku selalu terobsesi dengan payudara yang
kecil.
Ibu Titis suka memakai pakaian yang seksi. Baju-bajunya selalu tanpa lengan dan sering
memakai rok yang sedikit di atas lutut. Pernah suatu ketika, aku sedang santai di
kantor karena tidak ada order pembuatan iklan. Aku hanya duduk di balik meja marketing. Ibu Titis baru pulang dari kantornya. Aku perhatikan beliau turun dr mobil dan
ketika melintas di dekatku
"Selamat siang, Bu. Jam segini kok
udah pulang Bu?", sapaku.
Ibu Titis tersenyum.
"Iya Mas. Ini mau nganter Bapak ke
Bandara. "
Aku seketika merasa senang. Terus
terang, aku ga suka ama bosku. Bawaannya
cerewet mulu. Tapi aku mencoba bersikap
biasa aja.
"Oh, rapat lagi ya bu di Jakarta?", tanyaku asal-asalan.
"Iya, Mas. Mau nyelesein urusan
frekuensi katanya. " Ibu Titis menjawab sambil berlalu dengan meninggalkan
senyum yang sangat manis.
Tak berapa lama, Pak Damian dan Ibu Titis keluar dari rumah membawa beberapa
koper.
"Mas, nanti malam jangan lupa matiin pemancarnya ya. ", pesan Pak
Damian padaku.
"Siap
Pak", jawabku sambil berlagak kayak prajurit.
"Hati2 pak", sambungku lagi.
Setelah beliau
berdua pergi, aku masuk lagi ke ruang operator untuk ngecek properti. Iseng aja si benernya. Abis di kantor lagi sepi. Marketingnya pada keluar semua. Yang ada cuma 1 penyiar yang lagi bertugas,
ama aku doang. Abis itu aku duduk lagi
di meja marketing.
Selang 1 jam, Ibu Titis udah
nyampe lagi di studio. Waktu ngliat, Ibu
Titis cantik sekali. Bajunya merah
berkerah agak rendah dan memakai kulot. Aku langsung kesengsem abis. Ibu Titis ga langsung masuk ke rumah tapi
mampir dulu ke studio. Melihatku duduk
Ibu Titis bertanya apakah semua order iklan sudah selesai. Aku jawab aja udah. Kupikir abis nanyain Ibu Titis langsung masuk ke
rumah eh ternyata malah nyamperin ke mejaku. Pas nyampe di depanku, Ibu Titis meletakkan
sikunya di meja dan meraih majalah yang ada. Posisi tubuhnya membungkuk di depanku. Seketika gaunnya terbuka sehingga aku dengan
jelas melihat payudaranya yang kecil terpampang di depan mataku.
Ya ampun, ternyata ada juga payudaranya. Tanpa ba bi bu, penisku langsung berdiri. Pemandangan ini yang selalu kutunggu. Payudaranya masih tertutup beha putih tapi itu
sudah cukup untuk membangkitkan penisku.
"Marketingnya lagi keluar semua, Mas?"
Aku kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena aku
baru sadar kalo aku baru terbengong-bengong menyaksikan payudara istri bosku. Dan aku tau banget kalo Ibu Titis tau apa yang
barusan aku lakukan. Aku malu setengah
mati. Mukaku langsung terasa panas.
"Iya, Bu", jawabku cepat sambil mengalihkan pandanganku.
"Nanti, Pak Min ijin ga masuk. Mas
Dimas tolong bantuin beres-beres ruang siaran ya", katanya sambil
menegakkan tubuh dan berjalan menuju pintu. Aduh, Pak Min nih ijin melulu deh, umpatku
dalam hati. Pak Min itu orang yang
dipekerjakan untuk membereskan kantor, semacam OB gitu.
"Iya, Bu" jawabku lagi.
"Ya, udah. Ibu masuk dulu ya",
katanya lagi sambil berlalu dengan tetap memberikan senyum. Kali ini aku benar-benar deg-degan. Takut kalau-kalau Ibu Titis berpikir untuk
mendepakku dari perusahaan. Sekali
dilaporin ke suaminya, habislah aku.
Ah biarin aja lah. Kalo emang dipecat ya
tidur aja di kost. Hehehe. . . Yang lebih memenuhi kepalaku justru payudara
Ibu Titis yang tadi kulihat. Sumpah,
indah banget. Ingin sekali aku
menelanjangi Ibu Titis dan mengulum puting payudaranya. Aku membayangkan apa kira2 warna puting
payudaranya. Ahh. . . Memikirkannya aja aku udah ngaceng gini.
Singkat cerita, malamnya aku lagi-lagi harus lembur nungguin penyiar terakhir
kelar. Gara-gara Pak Min nih. Bete juga nungguin ampe tengah malem kalo ga
ngapa-ngapain. Aku masuk lagi ke ruang
produksi. Masang headphone di telingaku.
Aku puter aja musik tahun 80an. Lumayanlah, musiknya agak melow-melow gitu
jadinya asik di dengerin sambil ngantuk. Kulirik jam tanganku, masih jam 11. Huh, masih 2 jam lagi. Lagu2 yang kuputar membuatku terbuai. Entah kenapa, bayangan payudara Ibu Titis
tiba-tiba nyantol lagi di kepalaku. Tanpa bisa kutahan, senjataku segera mengacung
memenuhi celanaku. Dudukku menjadi tidak
tenang. Kuelus pelan senjataku yang
masih terbalut celanaku. Kuperhatikan
sejenak situasi sekitarku. Lampu di
ruanganku sudah sejak tadi kumatikan sehingga tidak ada yang tau kalo aku masih
ada di situ. Kualihkan pandanganku ke
ruang siaran. Mbak Rani, penyiar
terakhir hari ini, masih bercuap-cuap aja di depan miknya.
Aman, pikirku. Kubuka retsleting
celanaku dan segera kuturunkan sedikit celanaku. Otomatis senjataku yang dari tadi tersekap di
dalam mengacung dengan gagahnya. Kukocok-kocok pelan penisku sambil
membayangkan payudara kecil Ibu Titis. Indah banget. Pengen rasanya menyentuh, meremas, mengulum
putingnya. Beberapa lama aku terpejam
sambil tanganku tetap mengocok penisku pelan. Aku bayangkan ibu Titis dengan rambutnya yang
sebahu, bibirnya yang selalu merah. Aku
ingin sekali bibir itu mengulum penis. Sesekali aku mendesah sambil menyebut Ibu
Titis. Akhh. . . Ibu Titis. . .
Tiba-tiba di penisku ada benda lain yang menempel. Dan ketika kubuka mataku, kaget setengah mati
karena ada tangan lain yang menyentuh penisku. Dan lebih kaget lagi karena itu adalah tangan
Ibu Titis yang sedang berjongkok di samping kursi yang aku duduki. Spontan aku segera melepas tanganku dan
mencoba menarik celanaku. Tapi tangan
ibu Titis yang satunya menahanku.
"Dimas, biarian aja. Ibu juga
pengen megang kok", katanya sambil tersenyum.
"Ma. . . maaf bu. . . ", kataku terbata sambil tetep berusaha menarik
celanaku.
"Dimas, biarin aja", kata Bu Titis lagi.
"Sekarang mas Dimas tetep duduk aja dan jawab pertanyaan ibu",
perintahnya sambil tetep tangan kanannya menggenggam penisku. Kagetku berangsur pulih, aku mengangguk sambil
berusaha menenangkan diri. Ibu Titis
menggeser tubuhnya dan sekarang sudah berada tepat di depanku dalam posisi
jongkok dengan tangannya tidak lepas dari penisku. Aku merasakan nikmat yang luar biasa ketika
tangannya dengan halus meremas penisku.
"Menurut kamu, ibu cantik ga", tanya ibu Titis dengan menatap mataku.
Aku bengong sesaat, tapi segera menganggukkan kepalaku.
"Ibu cantik", jawabku pendek. Mendengar jawabanku ibu Titis tersenyum kecil
sambil memutar tangannya di penis. Ahh.
. . Sumpah rasanya luar biasa.
"Mas Dimas jg ganteng", kata ibu Titis tapi kini tidak memandangku
lagi. Matanya justru melihat ke penisku.
Aku berusaha sepenuhnya menguasai diriku.
Tiba-tiba lidahnya menjulur dan menjilat
bagian belakang penisku dari pangkal sampai ke ujung. Oughh. . . Jilatannya menimbulkan sensasi yang luar biasa
yang membuatku meregang menahan kenikmatan.
"dan, jangan panggil ibu lagi kecuali di depan bapak sama karyawan yang
lain. Panggil aja Mbak. Ngerti!" sambungnya lagi.
"i. . . iya bu. . . Mbak", jawabku pendek.
Entah kenapa perasaan senang menyelimutiku. Dia adalah istri bosku. Gila neh! Dan lagi2 Mbak Titis menjilat
penisku pelan. Aku hanya diam saja
menikmati sensasinya. Mbak Titis
kemudian memasukkan penisku lama ke dalam mulutnya. Lama sekali ditahan di dalam mulutnya sebelum
Mbak Titis menaikturunkan mulutnya. Aku
diam saja karena tidak tau harus ngomong apa. Mbak Titis pun masih asik dengan penisku di
mulutnya. Sesekali bibirnya turun ke
pelirku dan mengisap dengan kuat. Mimpiku jadi kenyataan.
Kulirik arlojiku, udah jam 24. 40. Artinya 20 menit udah mau selesai siarannya. Aku agak panik karenanya. Tapi kenikmatan di penisku mengubur habis
kepanikanku. Mbak Titis masih terus
menghisap penisku. Dan tangan kanan
kirinya sekarang menyusup di balik kemejaku, mengusap halus putingku. Segera saja aku melenguh keenakan. Aku tidak terlalu khawatir dengan suaraku
karena ruang produksi di desain kedap suara. Perlahan aku mulai berani untuk bereaksi. Aku ulurkan tanganku untuk meraih kepalanya
mencoba membelai rambutnya. Tapi
ditepisnya tanganku. Akhirnya aku diam
saja membiarkan Mbak Titis bermain dengan penisku. Payudaranya yang kecil menggesek pelan di
kedua lutuntuku. Semakin lama Mbak Titis
semakin cepat naik turun di penisku. Dan
aku merasa ada sesuatu yang mau keluar. Kedua tanganku mencengkeram pegangan kursi.
"Mbak. . . Sshh. . . Sshh. . . Mau kkeluar Mbak. . . ", kataku setengah
mendesis.
Mbak Titis terus saja menghisap penisku. Sampai suatu saat aku tidak dapat lagi menahan
dan muncratlah air maniku.
Crooottt. . . crooottt . . . sshhh. . . ahhhh. . .
Pantatku sampai terangkat dr kursi karena kenikmatan. Banyak sekali mani yang kukeluarkan. Emang udah lama gak kukeluarin sih. . . Sekalinya keluar di mulutnya Mbak Titis. Gimana ga banyak coba. . . Kulihat Mbak Titis masih tetap mengulum
penisku dan menghisap semua mani yang ku keluarkan.
"Oh Mbak. . . Enak banget",
desisku lagi. Mbak Titis menjilati
penisku sampai bersih. Rasanya geli
banget. Setelah bersih, Mbak Titis
berdiri dan melepas headphoneku.
"Nanti
kalo dah selesai beres2 jangan lupa taro kuncinya di rumah ya", bisiknya.
Aku hanya mengangguk pelan belum pulih dari kenikmatanku. Setelah Mbak Titis keluar dr ruanganku aku
segera membereskan celanaku. Tanpa
sempat mikir aku segera membereskan ruangan dan berjalan menuju ruang siar
karena Rani pun sudah selesai siaran.
"Halo mas, loh mukanya kok merah gitu", sapa Rani sambil membereskan
form request di meja.
"Hehehe. . . panas banget nih. . . AC ruang produksi lagi macet", jawabku
sambil pura-pura membereskan mik. Padahal aku grogi setengah mati takut ketauan
boongnya.
"Oh. . . Ya udah mas. Aku balik dulu ya", kata Rani.
"Iya deh. Ati-ati ya. . . ",
sahuntuku cepat berharap Rani segera pulang.
Setelah, mematikan semua komputer dan lampu, segera ku kunci semua ruangan. Setelah itu aku naik ke lantai 2 untuk
mematikan pemancar dan menyerahkan kunci studio. Ketika akan menyerahkan kunci studio, aku baru
ingat kalo yang akan menerima kunci nanti adalah ibu Titis alias Mbak Titis. Karuan aja aku jadi deg-degan. . .
"Gerbang depan udah di kunci, mas", sebuah suara membuyarkan
lamunanku.
"Belum Mbak", jawabku setengah berteriak. Celingukan aku mencari sumber suara. Rupanya Mbak Titis sudah tau kehadiranku.
"Dikunci dulu, trus ntar kuncinya bawa ke sini ya, mas!"
Sesaat aku bingung sambil berjalan turun menuju pintu gerbang. Pikiran kotor menyerbu otakku. Siapa tau Mbak Titis minta ditemenin. Wah, pucuk dicinta ulam pun tiba neehhh. . . Bergegas aku mengunci pintu gerbang dan naik
lagi menyerahkan kunci.
Sesampai di dalam rumah aku tidak menemukan siapa pun. Dimana Mbak Titis, pikirku. Kulangkahkan kakiku ke ruang tengah. Kosong juga. Wah, di mana nih. Perlahan aku berjalan ke dapur sambil berharap
cemas. Kalo udah pada tidur ya aku
pulang aja. Sampai aku dikejuntukan oleh
sepasang tangan yang melingkar dipinggangku dari belakang.
"malam ini temenin Mbak ya", terdengar bisikan di telingaku.
Tanpa basa-basi aku segera memutar tubuhku dan di depanku telah berdiri Mbak
Titis dengan paras yang sangat cantik. Wajah Mbak Titis persis di depanku. Hidungku nyaris bersentuhan dengan hidung Mbak
Titis. Terasa hangat di wajahku ketika
Mbak Titis menghembuskan nafas. Aku
benar-benar dibuat terpesona.
Mbak Titis sudah berganti pakaian dengan kimono warna pink. Matanya sayu menatapku. Entah keberanian dari mana yang mendorong
wajahku sehingga bibirku mengecup lembut bibir Mbak Titis. Tidak ada perlawanan dari Mbak Titis. Bibirku terus bermain di bibir Mbak Titis
beberapa lama. Kurasakan tangan Mbak
Titis meremas lembut kemejaku. Aku
mencoba melingkarkan tanganku di punggung Mbak Titis. Kuusap perlahan punggungnya sambil terus
memainkan bibirku. Lidahku mulai menerobos
masuk ke dalam mulut Mbak Titis. Bibir
Mbak Titis lembut sekali, wangi dan itu membuatku semakin bernapsu.
Lidahku semakin liar bermain. Kuciumi
lagi bibirnya, hidungnya, matanya, keningnya, pipinya, dagunya. Dan semuanya terasa lembut. Napas Mbak Titis semakin memburu. Tanganku bergerak ke bawah mencari2 tali
kimono. Setelah ketemu, kuloloskan
talinya pelan. Ketika berhasil
kulepaskan, kimono tersebut merosot sedikit menjuntai ke lantai.
Kumundurkan tubuhku dan nampaklah pemandangan yang sangat indah yang sering
kubayangkan selama ini. Mbak sudah tidak
memakai bra dan cd. Payudara yang selama
ini hanya ada dalam imajinasiku kini terpampang jelas di hadapanku. Tampak puting yang kecil berwarna coklat dan
merah muda pada ujungnya. Bener-bener
sesuai ama yang kuharapkan. Payudaranya
kecil, mungkin ukuran 34a. Tapi aku suka
banget ama yang segitu.
"Dimas Kenapa berhenti?", ucapnya lirih seraya matanya yang sayu
memandangku. Tanpa pikir panjang
kuhampiri Mbak Titis dan berlutut di depannya. Aku membungkuk dan mencium lembut jari kaki
sebelah kirinya sementara tangan kananku membelai lembut betis kanan Mbak Titis.
Yang kudengar saat itu hanya lenguhan
nikmat dari Mbak Titis. Kudongakkan
kepalaku menatap Mbak Titis. Mbak Titis
hanya menatapku sayu dengan nafas yang memburu. Kuarahkan perhatianku lagi ke bawah. Kuciumi lagi kaki kiri dan kanan berganti
sementara tanganku mengusap lembut betisnya. Mbak Titis terus mendesis sampai suatu saat
Mbak Titis hampir terduduk karena menahan kenikmatan dari ciuman dan belaian di
betisnya.
Aku bangkit dan kusandarkan tubuh Mbak Titis di tembok dapur dengan posisi
tubuh berdiri. Aku berlutut lagi dan
kini yang menjadi sasaranku adalah pahanya. Kuciumi pelan paha kanan Mbak Titis. Tangan kanan Mbak Titis mencengkeram tembok. Kuciumi terus mulai dr atas lutut sampai
mendekati pangkal pahanya. Tercium aroma
yang membuatku semakin mabuk asmara ketika menciumi sekitar pangkal paha. Mbak Titis berusaha mengatupkan pahanya tapi
aku menahannya dengan kedua tangan supaya tetap terbuka. Ciumanku pindah ke paha yang kiri sementara
tangan kananku bergerak ke atas ke wilayah perut dan mengusap pelan dengan
ujung jariku. Mbak Titis semakin
mendesis tidak karuan.
"Oh. . . Mas. . . Shh. . . sh. . . "
Ciumanku terus naik mendekati pangkal pahanya. Dengan gerakan sedikit menyentak kurenggangkan
lagi paha Mbak Titis.
Oughhh. . . Mbak Titis melenguh panjang
menerima perlakuanku yang tiba2. Kupandangi sejenak gundukan di depanku. Jembutnya lebat sekali dan baunya wangi. Sambil tetap memegangi kedua lutut Mbak Titis,
kujulurkan hidungku menyapu jembutnya. Tubuh Mbak Titis bergetar menerima sapuan
hidungku. Tampak samar belahan daging
dan kucoba menjilat pelan membelah hutan jembut yang lebat itu.
"Ouhh. . . Mas. . . ",
tangannya meraih rambuntuku dan menjambak pelan. Lidahku terus menjilat mencari-cari daging
nikmat. Kurasakan ada cairan menempel
dilidahku. Gurih terasa di muluntuku. Muluntuku pun mulai menghisap gundukan indah
Mbak Titis.
"oh. . . Sshh. . . Sshh. . . Mas. . . enak banget mas. . . ", desah Mbak Titis.
Desahan itu membuatku semakin ganas. Penisku sudah tegang dari tadi tapi aku masih
ingin bermain dengan Mbak Titis. Hisapanku di vagina Mbak Titis semakin liar. Sementara Mbak Titis meliuk-liuk menerima
serangan di vaginanya.
"mas. . Kamu kok pinter banget sih.
. . ", kata Mbak Titis manja. Aku
hanya tersenyum aja mendengarnya.
Perlahan ciumanku naik ke perut Mbak Titis. Tidak lama di situ aku berniat untuk langsung
menyerbu tetek Mbak Titis. Aku segera
bangkit. Kupandangi sejenak tetek Mbak
Titis yang sedari tadi belum kusentuh sama sekali. Lalu kupandangi wajah Mbak Titis, titik2
keringat bermunculan di keningnya. Kumajukan wajahku ke arah tetek Mbak Titis,
tanpa mengalihkan pandangan dari matanya. Sampai di tetek yang sebelah kiri kukecup
pelan putingnya. Mbak Titis mendongakkan
wajahnya menerima sensasi kecil di putingnya. Kukulum puting tetek kiri Mbak Titis. Terasa hangat di dalam muluntuku. Mbak mulai mendesis lagi.
"terusin mas. . . terusin",
Aku semakin gencar mengulum puting tetek Mbak Titis. Sesekali kusedot dengan keras.
"Ahh. !" Mbak Titis berteriak kecil.
Aku melirik ke tetek yang sebelah kanan. Segera kuarahkan bibirku ke puting kanan. Perlakuanku beda kali ini. Aku menyerbu tetek kanan Mbak Titis dengan
sangat liar sementara tangan kananku meremas-remas dengan kuat tetek yang kiri.
Menerima perlakuanku yang berubah
drastis, Mbak Titis berteriak keras dengan menggoyangkan kepalanya kiri kanan. Keliaranku itu bertahan selama 10 menitan
sementara penisku sengaja kugesek-gesekkan ke vagina Mbak Titis.
Mbak Titis terus menerus meracau. Tidak
jelas apa yang diucapkan. Aku sudah
tidak tahan lagi. Segera kubalik tubuh
Mbak Titis kupaksa untuk menungging. Mbak Titis menahan tubuhnya dengan tangan di
tembok. Kuarahkan penisku ke vagina Mbak
Titis. Pelan aku coba menerobos liang
vagina Mbak Titis. Agak susah juga
mencari posisi lubang vagini Mbak Titis. Setelah beberapa saat akhirnya penisku sudah
berada dalam jepitan vagina Mbak Titis.
"Mbak. . . " aku menahan sebentar penisku. Mbak Titis melenguh panjang.
"ouhh. . . hss. . . mas. . . "
aku segera menarik penisku pelan sampai tersisa kepalanya dalam vaginanya. Lalu kutusuk lagi dengan gerakan cepat. Mbak Titis lagi-lagi melenguh panjang. Kulakukan berulang kali sampai 15 menit. Tanpa berganti posisi aku percepat gerakanku. Tanganku kubiarkan bebas menggantung. Penisku terus kupacu di dalam vagina Mbak
Titis. Sampai suatu ketika tubuh Mbak
Titis mengejang hebat dan Mbak Titis melolong hebat merasakan orgasme
pertamanya. Tubuh Mbak Titis masih
bergetar beberapa saat. Aku harus
menahan tubuhnya karena seperti mau terjatuh ke lantai. Sebenarnya aku juga sudah hampir sampai tapi
sekuat tenaga aku bertahan. Aku tidak
mau permainan ini cepat selesai.
Kudiamkan sebentar penisku di dalam vagina Mbak Titis dan membiarkan Mbak Titis
mengatur napasnya, menikmati orgasmenya.
Beberapa saat kemudian, aku melanjuntukan lagi serbuanku ke vagina Mbak Titis.
"Oh. . . uh. . . oh. . . uh", suara Mbak Titis keenakan.
"Mas, enak banget", tambahnya lagi. Tangan kirinya meraih tangan kiriku dan
meletakkannya di teteknya. Spontan
kuremas tetek Mbak Titis. Sensasi di dua
wilayah sensitifnya membuatnya menggelinjang ga karuan. Sodokanku di vaginanya kupercepat sementara
remasanku semakin kuat di teteknya. Akhirnya, aku mengeluarkan senjataku yang
terakhir. Tangan kananku yang bebas
kuarahkan ke lubang anusnya. Kuludahi
anusnya dan kuusap keras bagian anus Mbak Titis. Sekarang 3 bagian sensitifnya habis aku garap.
Mbak Titis semakin melolong tidak karuan.
Kepalanya terayun-ayun menambah
keseksiannya. Badannya terus terguncang-guncang
menerima sodokan penisku. Aku pun mulai
kacau merasakan sensasi di penisku.
"Mbak, enak banget Mbak", cerocosku.
"heh. . . uh. . . terusin mas. Ahh. . . "
Jariku mencoba menerobos ke liang anus Mbak Titis. Aku tidak berani terlalu dalam. Takut menyakiti Mbak Titis. Penisku masih terus menghunjam di vagina Mbak
Titis. Sampai akhirnya aku merasakan
gelombang sangat kuat yang siap menerobos keluar dari penisku.
"Mbak. . . Aku dah mo keluar Mbak.
. . Mphhh. . . "
Iiiiyyaaaa maasss. . . mbak juga. . . aaayooo masss. . . "
Kupercepat gerakanku. Penisku terus
menerobos vagina sampai akau tidak kuat lagi menahan gejolakku. . .
Croot. . . croot. . . croot. . . Ah. . .
Ah. . . Ah. . .
Gerakan penisku kuhentikan di dalam vagina Mbak Titis. Dan tubuh Mbak Titis pun bergetar sangat hebat.
Tangan kirinya mencengkeram tangan
kiriku yang bermain di teteknya dengan sangat kuat.
"AHHH. . . DIMAAASSSSHHHHH",
teriaknya memenuhi ruangan dapur.
Kujatuhkan kepalaku ke punggung Mbak Titis. Kutarik penisku pelan-pelan, dan kuhunjamkan
lagi ke dalam vagina Mbak Titis tapi dengan gerakan yang sangat pelan. kedua tanganku meremas lembut tetek Mbak Titis.
Nikmat banget. Sumpah nikmat banget. Kuciumi pelan punggung Mbak Titis sementara
Mbak Titis masih berguncang-guncang menerima orgasmenya.
Setelah beberapa saat, aku tetap membiarkan penisku bertahan di dalam vagina
Mbak Titis. Lalu, pelan-pelan kutarik
penisku. Mbak Titis melenguh merasakan
gesekan pelan di vaginanya.
"Mbak. . . Nikmat banget. Mbak cantik sekali", bisikku pelan.
"Dimas. . . Kamu hebat. Hhh. . . mbak nggak ngira kamu mau ama
mbak", katanya sambil membalikkan tubuhnya dan kini duduk terkulai lemas
di lantai.
Aku tersenyum aja mendengarnya.
"Kapan-kapan, kalo mbak pengen, Dimas mau ya nemenin Mbak lagi?"
"Mmmmm. . . Siap Mbak! Apapun buat
Mbak!", jawabku sambil berkelakar.
Itu adalah kisah pertamaku dengan Mbak Titis, istri bosku. Setelah hari itu, selama empat hari aku
nemenin Mbak Titis tiap malam. Ga jadi
nyesel deh, Pak Min banyak ijinnya. Ijin
terus aja Pak Miiinnn. . . Setiap bosku
keluar kota aku selalu menemani Mbak Titis dan memberinya kepuasan. Demikian juga Mbak Titis memberiku pengalaman,
dan sensasi-sensasi baru lainnya.
TAMAT