SEMINGGU
Kamping
anak-anak kota selama sepekan di desanya membuat Minarsih, janda berusia 32
tahun, serasa memiliki suami lagi. Anak-anak cowok SMA itu diajarinya cara
melepas keperjakaan, setelah mereka memintanya. Kisah seks ndeso tapi asyik.
Chapter 1: Pengenalan Lingkungan
Pak Kadus Rugito berjalan tanpa sandal, sesekali tangannya mengangkat sarung
kotak-kotak yang dipakai. Lelaki 60 tahun itu nampak tergesa menuju perbatasan
hutan di kampung, lokasinya cukup jauh dari pemukiman warga.
“Waduh.. maaf ya pak, saya agak telat menyambut. Tadi ada warga yang anaknya
mau kawinan jadi saya urus sana-sini dulu,” Rugito menyalami pak Broto, tuan
tanah di kampung itu yang sudah sejak lama tinggal di kota.
Pak Broto terkenal dermawan di dusun itu, banyak membantu pembangunan tempat
ibadah, sekolah rakyat, dan juga memberi sembako saat paceklik melanda desa.
“Walah ya ndak apa-apa pak kadus, biasa saja. Oh ya ini Andi pak kadus masih
ingatkan.. sudah kelas dua SMA sekarang.. dan ini kawan-kawannya. Nah mereka
saya antar ke dusun ini biar tahu kehidupan desa, mumpung mereka masih libur,”
kata Broto, lelaki tambun, usianya sekitar 55 tahun.
“Wah.. wah den Andi sudah gede sekarang.. pangling saya den,” Rugito menyalami
Andi dan tiga kawan sebayanya, Hilman, Roni, dan Raju.
Pak Broto lalu menjelaskan pada Andi dan kawan-kawannya tentang Rugito, kadus
yang sangat rajin dan santun yang patut jadi panutan. Ia juga menjelaskan pada
Rugito bahwa Andi, anaknya akan berada di dusun itu selama sepekan bersama tiga
temannya itu, harapannya agar mereka tahu tentang kehidupan desa dan menghargai
orang desa.
“Saya hanya minta mereka dibolehkan mendirikan perkemahan di sini, tolong pak
kadus gembleng mereka untuk mandiri. Soal kebutuhan makan biar mereka upayakan
sendiri, ya mencari ikan, mancing di kali, nyari sayuran, sampai masaknya
jangan dibantu biar nggak manja. Nanti berasnya saja disediakan,” kata pak
Broto.
Andi dan kawan-kawannya mencari tempat datar mendirikan tenda, dan mulai
menyiapkan semua peralatan kamping. Pak Broto lalu meninggalkan anaknya itu dan
kembali ke kota.
Dua buah tenda berukuran 3 kali 3 meter berdiri saat menj***** petang, Kadus
Rugito ikut membantu anak-anak kota itu, sampai semua beres.
Rugito lalu mengajak anak-anak itu mampir ke rumahnya di pemukiman dusun. Di
sana ia menjelaskan lokasi sungai di dalam hutan yang bisa dipancing ikannya,
juga lokasi kebun sayur miliknya di tumpangsari hutan yang boleh mereka petik.
Malam itu Andi dan teman-temannya menginap di rumah Rugito dan berkenalan
dengan remaja sebaya mereka di dusun itu. Tapi, Rugito meminta remaja kampung
untuk tidak membantu apapun pada anak-anak kota itu selama kamping agar mereka
mandiri sesuai pesan pak Broto.
Pagi-pagi benar Andi dan tiga temannya kembali menuju perbatasan hutan tempat
tenda mereka berdiri, mereka membawa beberapa kilogram beras dan perabotan
masak-memasak dari rumah kadus Rugito.
“Ya elah.. benar-benar welcome to the jungle nih ndi.. elo sih pake nurut
segala sama bokap lo itu. Harusnya kita liburan ke Bali.. eh malah jadi tarzan
disini.. huh capek deh,” Hilman mengeluh sejadinya sambil melempar panci yang
dibawa.
“Iya nih.. mana perut keroncongan lagi nih,” Raju menimpali. Raju bertubuh
tambun dan doyan makan.
“Udah deh.. mendingan kita cari cara gimana biar ada lauk untuk makan… mana
belanja nggak bisa. Ada uang tapi orang desa nggak mau menjual apa-apa pada
kita karena perintah bokap gue. Ayo deh Raj.. cari ranting atau apa kek yang
bisa dibakar untuk masak,” kata Andi.
Keadaan terpaksa membuat mereka bergerak juga, daripada lapar. Tungku disiapkan
dari susunan batu, dan blar.. api pun menyala menanak nasi di panci. Untung
Raju membawa bekal beberapa bungkus mie instant yang bisa menjadi lauknya.
“Tuh kan enak
juga ternyata jadi tarzan begini.. ha ha..,” Andi menghibur teman-temannya itu.
“Enak.. tapi gue nggak kenyang nih makan segini,” gerutu Raju. Biasanya dia
makan dua piring, dobel porsi, tapi sekarang hanya dapat satu porsi.
Setelah sarapan keempat remaja itu menuju sungai untuk mandi dan mencuci
pakaian. Tapi sebelum mereka meninggalkan tenda, kadus Rugito datang bersama
Minarsih, anak perempuannya.
“Lho aden pada mau kemana? Sudah pada sarapan belum?,” tanya Rugito. Ia lalu
mengenalkan Minarsih pada empat remaja itu. Minarsih anak pertama Rugito sudah
empat tahun ini menjanda ditinggal mati suaminya kecelakaan, belum punya anak.
“Malam kemarin Asih belum sempat ketemu kalian karena dia membantu acara warga
yang mau kawinan. Nah sekarang untuk urusan masak dan makan biar Asih yang
membantu ya.. ndak apa-apa, bapak nggak akan bilang ke jur**** Broto kok..,”
Rugito merasa iba juga melihat Andi dan teman-temannya harus berusaha masak
sendiri. Lagipula di rumah Minarsih tidak terlalu banyak pekerjaan, karena
kembali numpang di rumah ortunya.
“Waduh.. jadi ngeropotin mbak Asih nih. Tapi oke deh pak, dari pada bobot saya
susut seminggu di sini.. ha..ha,” Raju senang karena kebutuhan makan bakal
terjamin.
“Iya. Nggak apa-apa dik, mbak biasa masak dan nyuci kok,” kata Asih. Minarsih
berpenampilan khas wanita desa, pakai kain dan baju berkancing dari kain bahan
kebaya. Wajahnya cantik dan sebagai janda yang masih muda tubuhnya juga semakin
subur dan semok. Tingginya 165 cm dengan porsi tubuh yang ideal, sedikit
montok. Payudaranya membusung menantang, pinggul lebar dan pantatnya padat
terbentuk dibalik kain yang dipakainya.
Hilman dan Roni tak lepas memandangi postur tubuh Asih saat itu. Andi juga
kadang mencuri pandang ke dada Asih. Hanya Raju yang pikirannya makan terus.
Kadus Rugito kemudian pamit pulang . Asih kemudian mengantar Andi dan
teman-temannya ke sungai sambil membawa pakaian empat remaja itu yang akan
dicuci.
Empat remaja itu langsung mencebur ke sungai dengan riang. Usia mereka
rata-rata baru 16 tahun, tapi badannya bongsor tidak seperti anak di desa.
Tinggi mereka melebihi tinggi Minarsih.
“Eh.. adik-adik ini mandinya dicopot dong bajunya biar sekalian mbak Asih
cucikan,” katanya melihat Andi dan kawan-kawannya mencebur tanpa melepas
pakaian.
“Wah.. telanjang pakai kolor aja nggak apa-apa kan mbak? Kan sepi disini?,”
Hilman menyahut senang sambil melepas baju dan celananya. Tiga lainnya juga
melepas pakaiannya.
“Ya ndak apa, wong nggak ada yang lihat di tengah hutan gini. Lagi pula warga
desa jarang ke sini karena sungai ini di kawasan hutan, mereka lebih dekat ke
sungai di desa,” kata Asih, ia memungiuti baju empat remaja itu di batu dan
mulai mencuci di temat berjarak empat meter dari lokasi mandi mereka.
Empat remaja itu mandi sambil gembira saling siram, Asih memperhatikannya
dengan gembira juga, ia ikut senang melihatnya.
“Mbak Asih… mbak ikutan mandi dong.. biar rame..,” teriak Hilman polos.
Seketika Raju berlari mendekati Asih yang masih jongkok mencuci dan
mendorongnya terceur ke sungai. Byurr.. tubuh Asih tenggelam di sungai yang
cukup dalam, saat tubuhnya naik kancing baju atasnya terlepas sehingga
payudaranya yang tidak tertutup BH sempat terlihat.
“Aduhhh Raju.. kamu nakal ya..,” Asih bersungut-sungut sambil membenahi
bajunya. Raju ikut mencebur dan mulai menyirami Asih dengan air, mereka tertawa
dan saling siram. Andi, Hilman dan Roni kemudian bergabung mendekat dan ikut
saling siram.
Asih protes karena kain dan bajunya basah terendam bersama tubuhnya. Sebab dia
tidak membawa baju lain, masak pulang dengan basah kuyup.
“Ya sudah mbak Asih bajunya dibuka aja, terus dijemur,”kata Hilman mejawab
protes Asih.
“Iya mbak. Bajunya dijemur aja biar kering, jadi pas selesai mandi bisa dipakai
lagi,”tambah Andi.
Asih berpikir sejenak. Benar juga usul mereka, lagipula meski telanjang
tubuhnya tak mungkin terlihat karena terendam di sungai, kebetulan sungai juga
agak keruh karena hujan kemarin.
“Ini tolong dijemurkan dik Andi..,” Asih menyodorkan kain dan bajunya ke Andi
agar Andi menjemurnya di bebatuan.
“Ya sudah kalian teruskan mandinya.. mbak sambil nyuci ya,” kata Asih. Sambil
berendam badan sebatas bawah leher, Asih melanjutkan mencuci pakaian dengan
hanya tangannya di atas batu sisi sungai. Sementara empat remaja itu kembali
saling siram, bernyanyi dan berteriak-teriak gembira menikmati dinginnya air
sungai dengan jarak menjauh dari Asih karena tak ingin mengganggunya.
Hilman menoleh Asih yang membelakangi mereka, pikirannya tiba-tiba teringat
film porno milik ayahnya yang pernah ditontonnya dengan curi-curi. Selama ini
ia hanya bisa membayangkan bagaimana bentuk tubuh wanita bugil yang dilihat
secara langsung. Ia mulai membayangkan tubuh telanjang Asih di balik air
sungai.
“Hey bro.. gimana ya bentuk susu dan mekinya cewek yang asli? Gue penasaran
nih..? gimana kalau kita minta mbak Asih liatin dikiiiit aja,” pikiran Hilman
yang mulai nakal disalurkan ke teman-temannya. Roni setuju, tapi Andi dan Raju
masih bertahan melarang, mereka takut Asih melaporkan ke bokap Andi dan kadus
ayah Asih.
Akhirnya mereka memutuskan membuat strategi. Andi, Raju dan Roni kemudian
berenang menjauh, cukup jauh dari posisi Asih yang masih sibuk mencuci,
sementara Hilman menjalankan aksinya.
“Masih lama nyucinya mbak…,” sapa Hilman dari belakang Asih.
“Eh dik Hilman ngaggetin aja. Ini celana kalian kok kotor banget sih, jadi lama
nyikatnya,” Asih sempat terkejut melihat kehadiran Hilman.
“Sini saya bantuin mbak,” Hilman meraih tangan Asih di batu sisi sungai.
“Ah nggak usah dik.. kamu mandi saja sana, nanti saya dimarahi bapak. Kan saya
disuruh membantu kalian,” Aish berusaha menahan tangan Hilman yang hendak
mengambil sikat dan celana panjang Raju yang dicuci Asih.
Mereka sempat saling rebut, dan hal ini membuat tubuh Hilman menyentuh tubuh
Asih yang sama-sama telanjang. Asih merasakan getaran saat siku Hilman
menyengol susunya, ia baru sadar kalau keadaannya sedang bugil.
“Uh.. maaf ya mbak.. saya nggak sengaja, kena deh itunya,” Hilman pura-pura
malu, tapi tubuhnya tidak menjauh dari Asih. Asih mendadak tersipu malu.
“Eh.. oh.. nggak apa dik.., asal jangan disengaja ya. Ndak baik itu,” kata Asih
seolah menasihati.
“Eng.. mbak.. saya boleh tanya, tapi jangan marah ya?,” kata Hilman.
“Tanya apa sih?,” jawab Asih sambil berbalik membelakangi Hilman dan kembali
sibuk menyikat celana yang dicucinya.
“Anu mbak.. apa kira-kira anunya cewek di desa sama dengan cewek kota ya?,”
Hilman melanjutkan dengan ragu-ragu.
“Ih dik Hilman ini. Anunya apanya? Susunya maksud adik?,” Asih berbalik lagi
menghadap Hilman. Hilman malu sambil mengangguk.
“Ya sama saja dong dik.. anunya dik Hilman juga sama saja dengan remaja di desa
sini kan?,” jawab Asih. Diam-diam Asih merasa lucu juga mendengar pertanyaan
itu.
“Eh.. anu mbak.. maksud saya…,”
“Hayo.. dik Hilman pernah ngintip cewek di kota mandi ya?,” kelakar Asih
membuat Hilman salah tingkah dan semakin malu. Tapi ia merasakan pancingannya
sudah mulai mengena pada Asih.
“Ah.. nggak kok mbak. Saya malah belum pernah lihat cewek telanjang sekalipun,
hanya pernah di pelajaran biologi liat gambarnya aja. Makanya penasaran
mbak..,” aku Hilman. Mendengart itu Asih jadi kasihan pada Hilman. Di desanya
rata-rata remaja pria sudah semua pernah melihat payudara wanita secara
langsung, meskipun hanya wanita setengah baya yang sedang mandi di sungai. Ia
lalu berpikir memperlihatkan susunya kepada Hilman untuk mengobati penasaran
anak kota itu. Lagi pula ia kan bukan gadis lagi, dan selama empat remaja itu
di dusunnya ia diminta kadus ayahnya membantu mereka mengenali lingkungan dan
kehidupan desa.
“Ya sudah..
kalau mbak liatin susu mbak gimana?,” tanya Asih.
“Ehmm.. mau mbak.. tapi mbak nggak marah kan?,” kata Hilman senang.
Asih tersenyum dan beranjak ke sisi sungai yang lebih dangkal agar tubuh
atasnya terentas, ia kemudian berdiri bersandar di batu sisi sungai. Mata
Hilman seperti tak percaya melihat susu montok Asih terpampang di hadapannya,
kental dan berwarna kuning langsat dengan puting coklat muda.
“Tuh sudah liat kan.. sudah ya,” kata Asih.
“Tu..tunggu bentar mbak…, emhh boleh dipegang ya mbak.. bentaaar aja.. ya..
boleh ya,” rengek Hilman, tangannya lalu menyentuh perlahan susu Asih mulai
dari pangkalnya diraba hingga puting susunya dijepit ringan dua jari.
“Hmm.. gimana.. sudah ya dik.., sama saja kan dengan di gambar?,” Asih merasa
merinding disentuh susunya, sebab selama empat tahun ini ia tidak pernah lagi
merasakannya sejak ditinggal mati suami. Mata Asih mengawasi teman-teman Hilman
lainnya, jangan-jangan yang sedang terjadi terlihat oleh mereka. Tapi ia lega,
tiga teman Hilman cukup jauh dan terhalang pandangannya dengan batu di tengah
sungai.
Saat Asih terlihat sibuk mengawasi temannya, Hilman menggunakan kesempatan itu,
ia semakin nekat meremasi susu Asih.
“Mbak.. kenyalnya enak ya..,” katanya sambil terus memijati putting Asih.
“Enghhmm.. sudah ah dikhh.., sudah ya,” pinta Asih sambil menepis tangan
Hilman. Tapi Hilman masih saja meremasi susu Asih.
“Eh mbak.. kok begitu megang susu mbak.. burung saya bangun sih?,” Hilman
bertanya kekanak-kanakan sambil terus meremasi Asih. Asih kembali merasa lucu
dengan pertanyaan Hilman, namun mendengar kata burung mebuat pikiran Asih tak
karuan dan merindukan melihat burung suaminya. Tadinya ia berpikir empat remaja
ini masih sangat kanak-kanak tapi mendengar Hilman mengaku burungnya berdiri
Asih jadi penasaran juga, sebesart apa sih burung anak usia belasan ini.
”Apa.. emang burung dik Hilman bangun sekarang?,” tanya Asih.
“Iya mbak.. nggak tau nih kenapa.., nih mbak pegang coba,” Hilman segera
menuntun tangan Asih ke penisnya yang terbungkus kolor.
Asih merasakan nafasnya memberat saat tanganya menyentuh penis Hilman. Remaja
ini bongsor dan atletis dibanding usianya yang masih belia. Penisnya juga sudah
sebesar penis pria dewasa umumnya.
“Tuh kan mbak.. bangun.. kenapa ya mbak?,” rengek Hilman.
“Emhh.. oh.. ini wajar dik.. normal. Kan di pelajaran biologi juga adik sudah
tahu..,” kata Asih. Sambil tangannya terus mengusapi penis Hilman, Asih seolah
menggurui menjelaskan kalau penis pria berdiri karena terangsang apalagi jika
menyentuh vital wanita.
“Sini dik.. nah kalau diginiin rasanya gimana?,” Asih menyusupkan tangannya ke
balik CD Hilman dan mulai mengocok pelan penis Hilman.
“Aduhh.. mbaakkhh enakhh..,”lenguh Hilman.
“Itu wajar dik.. nanti kalau sudah kawin baru deh dik Hilman rasain enaknya.
Karena kalau sudah punya istri, burungnya dik Hilman bisa bersarang di
sarangnya,” kata Asih. Ia tak sadar penjelasannya justru membuat
pertanyaan-pertanyaan menyusul yang menuntut dari Hilman.
“Sarangnya apa tuh mbak.., enghh.. terusin digituin mbak.. enakhh nih..,”
Hilman merasa penisnya sudah sangat tegang, tangannya terus meremasi susu Asih.
Nafas Asih mulai menyesak.. ia membayangkan penis itu penis suaminya yang sudah
siap mengantar kenikmatan padanya.
“Hhh.mm.. sarangnya namanya memek dik.. seperti punya mbak ini..sini dik Hilman
pegang ya..,” Asih menuntut tangan kanan Hilman ke s*****kangannya. Hilman bisa
merasakan lembutnya permukaan vagina Asih.
“Wah.. lembut sekali ya mbakhh.. kalau dipegangin gini mbak merasa enak juga
nggak kayak saya,” Hilman terus melancarkan tanya, sambil tangannya mulai
membelai-belai permukaan vagina Asih. Asih sedikit mengangkangkan kakinya
memberi ruang bagi tangan Hilman.
“Ngghhh.. sstt.. yahh enakhh dikhh.., sama enaknya..,” tubuh Asih mulai
menggelinjang dipermainkan gatal dan geli di vaginanya.
“Terus gimana selesainya mbak.. kalau burung saya bersarang di sarangnya
nanti?,” Hilman terus bertanya penasaran, pikirannya sudah melayang ke film
porno yang pernah ditontonnya. Penisnya kenikmatan karena tangan Asih semakin
liar mengocoknya.
“Emmhh.. kalau sudah masuk ke sarangnya.. nanti burung dik Hilman bisa
loncat-loncat di dalam.. teruss kalau mau selesai dia nyemprotin air..,” Asih
semakin terangsang dengan pertanyaan Hilman, CD Hilman dilorotkanya dan penis
Hilman dikocok semakin cepat.
“Ahh..sst.. geli banget mbakhh… auh.. kayak mau kencing nih.. ouh…, mbaakhh
enak juga khan..?,” Hilman melenguh merasakan kedutan di penisnya. Ekspresi
kenikmatan Hilman membuat Asih semakin teransang, apalagi tangan Hilman juga
semakin aktif mengosok permukaan vaginanya.
“Iya dik.. sstt enakhh juga mbakkhhh.. ahhkkss.. keluarin aja kencingnya nggak
usah ditahan,” Asih merasakan tubuh Hilman mulai menegang dan croottt… semburan
sperma Hilman muncrat ditangannya. Asih sudah terbakar birahi, pingulnya
bergoyang agar lebih merasakan gosokan tangan Hilman di vaginanya.
Tapi sebelum ia klimaks, Asih mendengar suara teman-teman Hilman mendekat. Ia
segera menyudahi aksinya dan kembali beranjak ke sungai yang lebih dalam agar
tubuhnya terbenam lagi.
“Eh..mbak makasih ya sudah ngajari saya.., jangan bilang ke yang lain mbak ya,”
Hilman malu-malu menghampiri Asih kemudian ia naik ke bibir sungai dan bersalin
pakaian.
Asih mengangguk, ia sendiri sangat malu menyadari apa yang barusan terjadi.
Tapi klimaks yang belum sempat diraih membuat pikiran Asih jadi tak karuan saat
itu.
Andi, Raju, dan Roni sudah berkumpul bersama Hilman dan sudah bersalin pakaian.
Asih menyuruh mereka ke tenda duluan meninggalkanya, agar tak terlihat saat ia
harus naik ke bibir sungai untuk kembali mengenakan kain dan bajunya
TAMAT