Pacarku Dan Sahabatnya 02
Aku meneruskan
permainanku dengan Liani. Gadis itu sudah sampai ke puncak syahwatnya… kini
giliran aku. Perlahan-lahan aku mulai memompa lagi … kemaluanku naik turun
menggesek kemaluan Liani yang basah itu. Bunyi crek.. crek.. crek.. creeeek… terdengar ke segenap
ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara itu… tidakkah akan sampai ke telinga mereka
berdua yang sekarang sudah ada di kamarnya?
“Terusin aja, Bang….. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik Liani seolah
hendak menghapus keraguanku. Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini dengan
irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian creett…cretttt… sambil menekan
aku keluarkan air maniku di dalam kemaluan Liani yang mencengkram erat itu. Oh
nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani
mengenakan pakaiannya. Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia merapikan
rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas telah beroleh
kenikmatan yang selama ini didambakannya. Seraya membetulkan tali beha dan
menyempalkan payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalam…. Nanti Cenit kusuruh keluar, ya!”
Aku hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari
hadapanku. Sementara aku duduk termangu sambil menghisap sbatang rokok. Tak
lama kemudian Cenit keluar menemuiku, kali ini tidak memakai busana yang
dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang berwarna pink.
Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi. Aku menelan ludah…
pasti dia bakal marah karena kelakuan kami tadi.
Dia hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tampak tanda-tanda
emarahan di sana. sejenak dia hanya diam.. kemudian tiba-tiba dia bangkit dan
‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak
marah, bahkan setelah melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin
dipuaskan juga.
“Cenit… maafkan.. aku telah…” belum sempat kuselesaikan kalimatku dengan bernafsu dia mencari
bibirku dan menciuminya dengan garang. Oh,… gelagapan aku dibuatnya. Aku tidak
tahu, apakah dia marah atau sudah terangsang…. Aku balas ciuman itu, lidahnya
terjulur dan bertemu dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin
berkelindan seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air liurku,
meneguk dan menelannya. Setelah puas giliran aku yang menghisap cairan mulut
itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling memandang selama beberapa saat.
Tanpa banyak berkata-kata dia menurunkan gaunnya ke bawah, menampakkan dua
gumpal buah dada yang tidak memakai beha. Putting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali melihat kalian berdua tadi…. ” katanya terengah sambil
mengasongkan kedua susunya ke arahku. Aku pun menyambut, tangan kiriku meremas
dan mulutku mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba gerakankuterhenti.
Dengan wajah kaget Cenit menatapku heran. Aku lupa mematikan puntung rokok yang
ku hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan kamipun melanjutkan permainan hangat
ini. Buah dada besar montok dan kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Cenit mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan rambutku.
Masih dalam posisi duduk ia mengangkang .. melepas gaunnya yang sudah setengah
terbuka…. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga gundukan vaginanya yang tebal
dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak
pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalir…. Bahkan dia menyuruhku
untuk memegangnya… jemariku menyelusup ke liang senggama Cenit, hangat dan
sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh klentitnya yang merah dengan ujung jemariku.
“Akhh….” Cenit melolong tertahan.
“Geli, Kak!”
desahnya tersentak. Kemudian sembari memeluk leherku, dan mencium keningku dia
mengajakku ke dipan tempat aku dan Liani tadi bercinta.
Tak banyak cingcong kurengkuh dan kugendong tubuh hangatnya ke dipan itu. Di
sana dia kubaringkan. Tapi ketika aku hendak membuka celana, tiba-tiba ia
mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Aku heran, apa yang akan dia
perbuat.
“Bukalah celanamu, Kak!” katanya tak sabar sembari menarik resleting celana
panjangku. Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia
memegangi pangkal kemaluanku yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Cenit sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.
Ia turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke arah
dipan, menyuruhku berbaring disana. Aku menurut. Setelah aku berbaring, Cenit
pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas. Perlahan dia menekuk
tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan, Kak.” Pintanya dengan nada gemas. Ia memegang batang kelaminku itu
dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar dia
menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke tubuhnya.
“Ehhhhh…. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu
ibunya. Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepat… oh…
batang kemaluanku di cengkram dan di gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang aku lakukan…. Tapi kali ini aku menerima saja, karena
tadi sudah lumayan capek meladeni Liani. Kali ini Cenit yang giat
menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk lebih dalam.
Sembari memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek
crek crek terdengar lagi… kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan
kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Aku terus berbaring sembari meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu.
Cairan vagina terasa terus merembes dari kemaluan Cenit. Dia sudah sangat
terangsang. Liang kemaluannya sangat basah dan panas. Sesekali ia menekan dan
menahan. Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluanku dengan vaginanya.
Terang saja aku pun semakin keenakan.
Diam beberapa saat menahan tekanan, dia pun mengendurkan dan memulai lagi
gerakan naik turunnya. Aku terus meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal
itu menekan ke arah dadaku, hampir membuatku sesak nafas. Tapi aku pasrah.. lha
wong enak rasanya.
Selama sepuluh menit Cenit bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya.
Tubuhnya semakin basah oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi keringat
sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke ujung hidung dan menitik
menimpa wajahku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang tergerai..
Aku mencoba memiringkan kepala mencoba mengurangi titikan keringat di wajahku.
Pada saat itulah kembali aku terkesiap. Di ujung ruangan, di pintu kamar Cenit,
tegak sesosok tubuh perempuan menatap kami dengan matanya yang bulat.
Mata besar milik Rinay, teman sekost Cenit. Dia menatap kami tanpa berkedip.
Tangan kanannya tertangkup di dada. Sementara yang kiri tampak meremas-remas
ujung gaun tidurnya yang di atas lutut.
Ketika kami saling memandang… dalam posisi Cenit masih di atas dan asyik dengan
empotan-empotannya. Perlahan tangan kiri Rinay mengangkat ujung gaun merahnya.
Terus terangkat ke atas menampakkan paha gadisnya yang padat…
Entah sadar entah tidak gaun itu sudah sedemikian terangkat, sehingga aku bisa
melihat celana dalam yang tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir celana dalam
itu… menampakkan segumpal tumpukan daging berbulu dengan celah merah di
tengahnya.
Ujung jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan memutar-mutarnya
sedikit. Ya ampun… kemudian dia menatapku.. dengan mata setengah terpejam.
Saat itulah Cenit menengadah…. Dan menyurukkan kepalanya ke leherku, memelukku
kuat dan mulai mendesah berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah
kemaluanku mau ditelannya sampai habis.
“Kak.. enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Cenit berdenyut hebat, tubuhnya
bergetar tak kuasa menahan nikmat… nafasnya sangat memburu… dan..
Dia pun lunglai dalam pelukanku…. Sementara air mani gadis itu mengalir tak
tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian perutku.. aku peluk
gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf setelah ia tadi
sangat tegang menikmati puncak orgasmenya.
***
Sampai beberapa menit kami masih berpelukan, kejantananku yang masih tegang itu
masih berada di dalam ’sangkar’-nya. Cenit diam tak bergerak dalam pelukanku,
sepertinya dia lupa ada sesuatu yang bersemayam dalam tubuhnya.
Perlahan gadisku ini mengatur nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda…
perlahan dia bangkit dan melepas persetubuhan kami. Lambat ia mengangkat
pantatnya ke atas. Perlahan alat kelaminku itu keluar dari vagina Cenit. Ketika
sudah keluar seluruhnya…. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang
kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti bunyi
plastik lengket yang basah akan di lepas..
Clep..crrrllek. Cenit tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan
kemaluannya atau karena lendir yang begitu banyak melumuri batang kemaluanku.
Ia pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya
menampakkan kepuasan yang tiada terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti baru
sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai. Dan berjalan ke belakang
rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana dalam ku.
Belum sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Cenit sudah kembali. Membawa
sehelai kain sarung dan menyuruhku mengenakannya. “Pakai ini aja, Kak!” katanya
seraya mengambil celana panjang dan kolorku, melipatnya dan merengkuhnya dalam
dada. Kemudian ia pun kembali ke belakang.
Tak lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas minuman, kalau tadi Liani
membawakanku segelas air putih, kali ini Cenit menyuguhiku dengan teh manis.
Aku segera mereguknya karena merasa kehausan, bayangkan saja melayani dua
wanita secara bergilir tanpa istarahat sama sekali. Capek donk!
Ketika aku meminumnya, alis mataku terangkat, minuman apa ini? Rasanya kok
pahit banget? Sebelum sempat bertanya Cenit berkata perlahan, “Itu sari dari
akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu pasti
bakal melek semaleman, kataku sesudah menelan tegukan terakhir. Gadis itu hanya
tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur semaleman… besok kamu kan nggak kerja,
tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah jam kemudian kami masih ngobrol di ruang tamu. Masih terbayang-bayang
permainan kami berdua barusan. Tak disangka begitu bernafsunya Cenit,
sampai-sampai kuat main di atas hampir setengah jam lamanya, sementara aku
anteng aja di bawah.
Tiba-tiba Cenit bangkit…
”Kak,” katanya,
“Aku ke dalam
sebentar.” Aku mengiyakan saja, kupikir dia mungkin mau sedikit merapikan
dandanannya yang agak amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu kamarnya
aku melewati kamar Liani yang hanya dihalangi secarik kain gorden, diam-diam ku
singkap tirai kamar itu. Tampak Liani tertidur pulas, masih mengenakan gaun
yang tadi, pahanya yang terbuka nampak putih dan mulus.
Kamar berikutnya adalah kamar Rinay, hmmm… jantungku berdegup agak kencang. Apa
yang dilakukannya tadi ketika aku dan Cenit sedang menikmati seks? Entahlah,
aku tak tahu. Tapi aku pengen tahu sedang apa dia sekarang?
Perlahan kusingkapkan juga tirai pintu kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya
masih tampak rapi, bantal tersusun di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak
ada di biliknya? Sedikit heran aku terus m*****kah menuju kamar Cenit.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata
Cenit lagi, bergegas aku pun masuk ke kamarnya…
Oh di sini rupanya Rinay, dia sedang tidur telungkup di dipan Cenit, sementara
cewek ku itu sedang menyisir rambutrnya menghadap ke cermin. Tanpa mengacuhkan
aku dia pun menyuruhku duduk di dipan dengan gerakan tangannya.
Dipan ukuran single itu lumayan sempit, apalagi sekarang sudah ada Rinay yang
tidur di sana. Cenit berbalik menghadapku, ditatapnya aku dengan tajam.
Kemudian perlahan dia mengalihkan pandangannya ke tubuh temannya yang masih
telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnya…. Aku ikhlas aja, yang
penting…. Dia bisa juga ikut merasakan ….”
Aku melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Rinay!? Tubuh perempuan sintal
yang sedang tertelungkup ini? Cenit mengangguk pasti.
“Kami lihat apa yang kalian lakukan, Rinay pun lihat kita tadi… kami bertiga
bersahabat, resminya kamu memang milik aku… tapi.. berbagi antar sahabat tak
ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama tidak dengan yang lain
selain mereka.”
Dalam hati aku cuma bisa mengangkat bahu. Kalau dia sudah mengikhlaskan
temannya, dia tidak marah apalagi jadi membenci aku, lagi pula kalau dengan
begitu dia jadi terangsang dan menikmati juga, apa salahnya.
Aku berpikir cepat, katakanlah malam ini adalah semacam sex party, dan aku
menjadi rajanya sementara menjadi ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih.
Hehehe. Kebetulan aku ingin mencobai juga tubuh Rinay yang berkulit sawo terang
ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Cenit, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan singel Rinay terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup baru, dia
memang belum lama kost di rumah ini, mungkin baru setengah tahun. Aku berbaring
dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang dipenuhi poster Cenit sambil
memikirkan apa yang telah kudapat malam ini.
Mula-mula Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian Cenit yang memintaku
untuk memuaskannya, dan sekarang Rinay, gadis paling pendiam yang jarang
ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan ku pula… hehehe.. dasar gede
milik, yeuh
Semilir halus wangi parfum masuk ke hidungku.Terdengar pintu kamar terbuka,
perlahan Rinay masuk ke kamar itu. Seperti orang baru bangun tidur. Ia langsung
duduk di dipan itu, “Ada apa, Kak?” tanyanya seolah tak mengerti. Aku
tersenyum, pandai juga dia menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Cenit tadi..”
Kedua bola mata gadis itu membulat… menatapku seolah tak percaya. Terus terang
saja, dia cantik juga. Rambutnya yang ikal itu dibiarkannya tumbuh sampai
sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’ tapi tak mengurangi kesegaran dan
pesona cantik yang terpancar di wajahnya.
Aku menarik gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa berat karena ia seperti
menolak, tapi kemudian malah dia yang merangsek dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Cenit marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga….”
“Kamu bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku. Aku
mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya terpejam,
tubuhnya melunglai, dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih erat.
Ia membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya kulumat… beberapa kali ia
mengeluh nikmat. Terasa tubuhnya bergetar ketika aku mulai merengkuhnya.
Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan liku tubuh gadis itu.
Semakin lama tubuh itu terasa panas, setiap gumpalan dan tonjolan dagingnya
terasa begitu membara dipenuhi gairah terpendam.
Aku membaringkan tubuhnya sementara kedua tangannya terus melingkar di leherku.
Nafasnya terdengar agak memburu, gadis ini sudah mulai terangsang. Kuperiksa
bagian kemaluannya dengan jemariku. Ternyata belum cukup basah, masih terasa
agak kering. Kucumbu dia terus supaya gairahnya lebih menggelora….
Entah berapa lama kami saling mencium saling menyusup dan berkelindan, aku
pulang suka buah dadanya. Sangat kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi putting
susunya sangat kecil, hanya sebesar biji kacang hijau. Tampak sekali putting
itu sudah mengeras.
Ketika kuremas-remas buah dadanya, wajah gadis itu menengadah, matanya terpejam
rapat, bibir agak terbuka. Setiap remasan adalah rangsangan bagi tubuh segar ini.
Semakin intensif aku meremas, semakin intens juga dia menikmatinya. Ketika
kuraba kemaluannya, lendir pelicin yang kental sudah mulai keluar.
Perlahan aku mengusap-usap jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak
kutekan agar menyentuh bagian klentitnya. Tuibuhnya menggelinjang karena geli.
Perlahan tapi pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan
mengakibatkan jembut-jembut halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Rinay sudah
siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal kemaluanku aku pun memasukkannya.
Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti menembus lipatan daging
hangat yang basah oleh lendir.
Creep…. Masuklah aku ke tubuh Rinay. Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan
nikmatnya gesekan di kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat terangsang
dengan gadis ini, mungkin ini bukan yang pertama baginya, tapi… dia
melakukannya seperti baru untuk pertama.
Sepuluh menit pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan
rutin. Sementara Rinay pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di
leherku. Nafasnya semakin lama semakin memburu, tubuhnya semakin panas.
Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin membanjir.
Kota kecil ini memang lumayan panas meski di malam hari, apalagi rumah kost itu
tidak berAC, tubuhku pun kembali berkeringat. Tapi kami tak peduli, kami terus
berpelukan menikmati pergumulan itu.
Kami masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan
penisku secara berirama di liang kemaluannya yang pasrah itu. Gadis itu
memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang bersimbah peluh.
‘Crekecrekecrek…’. Sepuluh menit lamanya aku menggesek-gesek kemaluan Rinay
dengan kemaluanku. Terasa punyaku semakin menegang keras. Kemudian aku menekan…
Rinay membalas dengan mengempot ke atas. Menggerakkan pinggulnya
berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku naik turunkan lagi pantatku
beberapa kali, kemudian kutekan dalam-dalam….
“Ahhh…,” gadis itu mendesah nikmat. Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas,
sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan kemaluannya yang
hangat terasa semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum
mencapai puncak. Aku akan membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku pun semakin aktif mengocok dan menekan memek Rinay. Tulang kemaluan kami
beradu, bibir kemaluanya yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa
hangat dan sangat basah karena lendir mani Rinay sudah melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat..
“Ooohhhhh….”
Aku membantunya dengan menekan semakin dalam. Rinay pun membenamkan tubuhnya ke
kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring dengan mengalirnya air
mani prempuan itu dengan lebih deras. Merembes dari lipatan-lipatan
kemaluannya.
“Enak sekali, Kak…eigh oh…!”
Berbarengan dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut
seiring dengan menyemburnya air maniku di liang senggama gadis itu. Sementara
liang senggama Rinay pun menggepit-gepit tak terkendali karena tak kuasa
menahan nikmat yang luar biasa.
Kami masih berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam
dalam pelukanku, tubuhnya sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa
menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan.
Perlahan gadis bangkit itu duduk dari posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar
di wajahnya yang cantik. Sekilas ku lihat memek Rinay yang masih merah dan
bibirnya tampak membengkak, cairan-cairan lendir masih menetes dari sela
kemaluannya.
“Enak, Rinay?” gadis itu mengangguk. Kemudian ia mengusap keringat yang menitik
di dadaku. “Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,” katanya sambil
mengelus lembut dadaku yang memang penuh dengan keringat.
Beberapa saat lamanya kami kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit
itu. Rambutnya yang ikal dan panjang itu kubelai. Ia bergerak, menyusupkan
tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang, dia ingin tidur di dadaku,
katanya. Beberapa saat kemudian Rinay pun jatuh tertidur, tak menyadari air
liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku pun segera terbang ke alam mimpi.
Entah jam berapa kami terbangun. Ketika itu aku dan Rinay masih berpelukan,
sementara di luar terdengar suara-suara seperti sedang bernyanyi. Oh, ternyata
hari sudah siang. Itu adalah suara Cenit yang sedang bernyanyi kecil, sementara
di kejauhan terdengar suara orang sedang mandi, barangkali Liani sedang
membersihkan tubuhnya.
Rinay pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah dadanya yang kenyal itu
menempel erat di dadaku. Dari ruang tengah terdengar Cenit sepertinya sedang
menyapu lantai. Sementara dari bibirnya terdengar nyanyian yang sekarang sedang
populer.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan
masuklah Cenit ke dalam kamar, menatap kami yang masih bugil hanya berselimut
kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura tidur sambil memeluk Rinay lebih erat. Gadis itu terkikik… tapi
dia juga pura-pura meneruskan tidurnya. Cenit berlagak marah dan menarik kain
sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang setelah
beristirahat total beberapa jam. Tapi kalah cepat, Cenit sudah menangkap batang
kemaluanku dan mengusap-usap dengan jemarinya.
“Oh, jauh lebih besar dari g****g sapu ini… pantesan enak sekali.” Guraunya
sambil tergelak sendiri. “Ya udah, kalau kamu pengen lagi, Rinay. Tuh mumpung
lagi berdiri…”
Hampir tak kuat aku menahan tawa dengan canda Cenit, tapi tampaknya Rinay
menanggapinya dengan serius, dia menggerakkan pantatnya, memelukku dari atas
dan mengempot ke bawah. Bibir kemaluannya terasa menempel di batang kemaluanku.
“Tuuh, kan! Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Rinay. Enak kok!” sergah Cenit
sambil memegangi pinggang gadis itu, menolongnya mengangkat panta, aku pun
memegang pangkal kemaluanku, menghadapkannya ke memek Rinay yang hangat.
“Udah pas belum?” tanya Cenit, Rinay mengangguk, perlahan Rinay menurunkan
pantatnya, maka…. Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek Rinay.
“Main dari
atas enak, lho Rinay! Tekan aja biar lebih kerasa…” bisik Cenit agak keras.
Seperti tak peduli kehadiran Cenit di kamar ini, kami mengulangi permainan
semalam, tapi kali ini Posisi Rinay ada di atas. Kusuruh gadis itu menegakkan
tubuhnya. Ia menurut dan mendorong tubuhnya dengan meletakkan telapak tangannya
di dadaku.
Sekarang posisinya berubah, aku berbaring sementara Rinay duduk mengangkang di
atasku. Alat kelamin kami telah menyatu, ketika ia sudah duduk dengan benar,
nampak memeknya seperti sedang mengulum kemaluanku sampai ke pangkalnya.
Kelentitnya nampak menonjol dan cairan itu kembali mengalir membasahi
jembut-jembut halusnya.
Kami saling pandang sementara masih bersatu, bibir Rinay tersenyum, beberapa
kali ia menyibakkan rambutnya yang kusut. Perlahan dia mulai mengayun,
gerakanya seperti orang sedang naik kuda. Naik turun berirama.
Semenit aku lupa dengan kehadiran Cenit di sana. ternyata ia berdiri di
belakang Rinay, memperhatikan kami yang sedang bercinta dengan gaya seperti
itu. Gadis itu menyeringai lebar menampakkan sederetan giginya yang putih
bersih.
Kemudian tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha putih dengan buah dada
besar di baliknya. Ia pun membuka beha itu, melemparkannya ke sudut kamar,
menarik rok panjang, membuka celana dalam sampai akhirnya bugil sama sekali.
Ia pun menyerbu ke arahku, membenamkan wajahku di susunya yang besar dan
kenyal, meremas-remas kepalaku dengan jemarinya. Sementara Rinay terus asyik
mengayun-ayunkan pantatnya naik turun.
Aku memeluk punggung Cenit, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal. Cewek
itu mendengus-dengus ketika putting susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Cenit sambil meremas. Aku setuju, dia
sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Rinay, yang
mengocok-ngocok dari atas….
Cenit melepas pelukannya dan naik ke atas ranjang, mendudukkan pantatnya di
dadaku mengangkang lebar menampakkan memeknya yang tercukur rapi. Gundukan
dagingnya putih mulus dan kemerahan, bibir kemaluannya tebal dan dipenuhi
cairan kental dan hangat.
Ia memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku. Kemudian mulai menekan ke
arah mukaku. “Ahh… ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi. Mengganyang habis kue
pie lembut dan basah itu. Cenit segera merintih-rintih ingin segera melepas
nikmat. Sementar di belakangnya Rinay tiba-tiba mengempot dan menekan ke
bawah,. Tubuhnya ambRinay ke depan, menimpa punggung Cenit yang sedang menekan
mukaku.
Wajahku semakin tertekan oleh gumpalan memek Cenit, sementara pahanya menggepit
kedua pipiku dengan kuatnya. Akkkh… aku hampir tidak bisa bernapas. Ya ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Cenit menekan, Rinay mengempot, dan… aku sesak nafas!
Terdengar suara rintihan panjang berbarengan, Cenit dan Rinay sedang dirasuki
kenikmatan. Terasa memek Rinay berdenyut-denyut sembari melepaskan cairan
kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh cairan memek Cenit yang
juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua tubuh cewek itu lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk
berbarengan ke tubuhku. Berat sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan sekaligus,
montok-montok lagi.
Seperti menyadari hal itu, Cenit dan Rinay pun bangkit, perlahan Cenit turun
dari ranjang, sementara Rinay pun perlahan mengangkat pahanya, kedua tangan
bertumpu pada dadaku.
Saat itulah kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar seperti
bunyi plastik lengket yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku masih menegang dan
basah bergelimang cairan memek Rinay.
Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berbuat apa, karena aku belum lagi mencapai
puncak gadis-gadis ini sudah menghentikan permainnya, ketika itulah tiba-tiba
Liani masuk ke dalam kamar, melihat kepada Rinay dan Cenit yang sedang
mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap
kejantananku yang masih berdiri dengan perkasa, merah dan mengkilat bermandikan
cairan kemaluan Rinay.
“Kasihkan sama Liani, Kak!” kata Cenit sambil menyempalkan susunya yang montok
itu ke balik beha. Wajah Liani semburat memerah. Mungkin dia tadi mendengar
lolongan Cenit dan Rinay yang berbarengan menahan geli dan enak. Aku tak tahu
apakah dia juga sudah terangsang dan ingin di gelitik nikmat lagi?
Tampaknya iya, ia mengangkat roknya menampakkan kedua paha yang padat dan putih
mulus. Sementara Rinay dan Cenit bergegas keluar kamar, meninggalkan kami
berdua saja di sana. semerbak wangi harum tubuh Liasni menusuk hidungku. Gadis
ini baru selesai mandi.
Liani naik ke ranjang bersiap-siap hendak memasukkan kejantananku ke memeknya
yang, ya ampun, ternyata sudah bengkak merekah merah dan basah pula. Tapi siapa
tahan menahan tubuhnya yang tinggi montok itu setelah tadi ditindih oleh dua
gadis montok sekaligus.
Aku bangkit duduk, mendorong sedikit tubuh Liani, gadis itu seperti kaget. Tapi
dia menurut. Kemudian kusuruh ia berdiri dan … ini dia aku ingin merasakan
sesuatu yang lain.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan menumpukan tangannya di dipan. Posisinya
sekarang menungging di depanku, Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi,
dari belakang disela-sela bongkahan pantatnya, nampak kemaluannya membelah.
Cairan kental menitik-nitik banyak sekali.
Meski nafasnya ditahan, aku tahu gemuruh di dadanya sudah sedemikian hebat.
Tampak dari buah dadanya yang menggelantung itu bergetar-getar menahan dentaman
jantungnya yang meningkat dahsyat.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani sudah siap untuk kutusuk dari
arah itu. Liani semakin menunggit menampakkan bongkahan pantat dan memek yang
merekah. Aku maju menyorongkan kejantananku ke arah belahan nikmat itu.
Creepp.. kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang
senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan
gerakananku.
Egghh.. aku mencoba lagi dan menekan lebih kuat ke depan. Akhirnya… masuk juga.
Oh, rasanya seperti dipilin-pilin. Aku menekan lagi… kemaluan kami semakin
berjalin, tapi bongkahan pantat Liani seolah menahan gerakanku sehingga aku
harus menekan agak lebih kuat.
“Emhh….” rintih Liani tertahan.
“Tekan ,
Bang…. Emmghhh”
Aku bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku rasanya
seperti dicengkram. Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih buah dada Liani,
meremas keduanya dari belakang. Hangat besar dan sangat kenyal. Putingnya
kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis itu menggelinjang hebat dan
semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi agar kejantananku masuk lebih dalam.
Tubuh kami semakin berkeringat ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun
menekan dan menggosok-gosok lagi dinding memek Liani yang merapat. Agak sulit
main dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami menikmati
permainan itu. Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan tubuhku.
Ketika sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Rinay
masuk berkelebat, seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke ujung
dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan di sana.
Kami tak mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan ke
depan sementara Liani menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah begitu menyatu
erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun menegang dan basah oleh keringat
yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat, semakin lama semakin hebat.
“Aghhh…hhhh” aku menggeram menahan rasa. Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat
menyerang kemaluanku. Liani merintih tak kalah dahsyat… bahkan lebih hebat dari
erangan Cenit dan Rinay berbarengan.
“Bang… agh! Enak banget,…oh Aku gak tahan lagi!”
amar kulihat Rinay mengenakan celana dalamnya…. Ketika itu pula aku dan Liani
saling menekan hebat… menahannya dan merasakan detik-detik penuh kenikmatan.
Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya.
Memeknya menyempit dan … srrr….. keluar banjir yang hebat. Tubuhnya bergetar
menahan rasa geli yang luar biasa. Aku pun menekan semakin dalam.
Mmhhh… berkali-kali kemaluanku seperti meledak dalam cengkraman memek Liani.
Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis itu menyempit dan menggenggam
kemaluanku kuat-kuat ketika ia pun melepas nikmat di pagi nan cerah itu.
Rinay mendehem kecil ketika kami menyudahi permainan itu dengan rasa puas.
Liani menjatuhkan tubuhnya yang basah oleh titik keringat di dipan, menelentang
dengan nafas masih terengah-engah. Bibir kemaluannya nampak membengkak, merah
dan berkilat penuh dengan lendir. Rinay pun diam-diam keluar dari kamar, di
dekat pintu ia menyibakkan rambut ikalnya, menjeling ke arahku, setelah itu ia
pun berlalu.
TAMAT