Namaku Surti
"Nggak,
Mbak Surti. Baru juga selesai keliling. Duduk dulu Mbak, aku mandi
sebentar" sahut Jamal, salesman keliling yang setiap mampir ke kota ini
selalu memanggilku untuk memijatnya. Ini kali yang keempat aku dipanggilnya.
Jamal masuk ke kamar mandi sementara aku duduk di kursi melepas penat. Kuseka
sekitar leher yang berkeringat, kurapikan baju dan rok. Tak lama kemudian Jamal
keluar berbalut handuk. Tinggi tubuhnya sekitar 170 cm lumayan kekar dan
berotot.
"Saya permisi cuci tangan ya, Mas," pintaku sambil menuju ke kamar
mandi.
"Silahkan, Mbak."
Selesai cuci tangan kudapati Jamal sudah tengkurap di ranjang tanpa melepas
handuknya. Aku mendekat ke bagian kakinya.
"Tumben pakai handuk, Mas?" Tanyaku. Biasanya Jamal pakai celana
pendek atau CD.
"Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga hari keliling belum sempat nyuci
Eee, biar lebih gampang mijatnya, naik ke ranjang aja, Mbak" kata Jamal.
Ranjangnya memang agak besar sehingga susah dapat memijat dengan enak kalau
tidak naik. Aku naik ke ranjang dan berlutut di kiri Jamal. Mulai memijat
telapak kaki, terus naik ke arah betis hingga paha. Ikatan handuk Jamal yang
agak kencang menutupi paha agak menyulitkan memijat bagian itu.
"Maaf Mas, handuknya tolong dilonggarkan"
Jamal mengangkat perutnya dan membuka simpul handuknya sehingga handuk itu
sekarang jadi longgar bahkan disisihkannya ke samping kiri-kanan hingga seperti
selimut yang menutup pantat. Aku dapat merasakan di balik handuk itu tidak ada
apa-apa lagi yang dikenakan Jamal. Jantungku, janda 40 tahunan ini, jadi
berdegup agak keras. Tapi aku coba tidak berpikir buruk karena pernah tiga kali
memijat Jamal dan pria itu selalu sopan. Agak hati-hati kupijat bagian paha dan
pantatnya. Beberapa kali handuk itu tergeser sampai kadang-kadang tak mampu
lagi menutupi. Beberapa kali pula kubetulkan letaknya namun sempat pula
terlihat pantat Jamal, bahkan ceruk hitam di antara pangkal pahanya. Dadaku
jadi berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai, lalu kupijit bagian pinggang ke
atas. Ia menggeser lututnya.
"Kelihatannya cape sekali, Mas?" sapaku mencairkan suasana diam.
"Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya tambah sedikit aja. D****gan
sekarang lagi sepi Mbak," jawab Jamal.
"D****gan batik, Mbak sendiri gimana?"
"Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak sepi nggak bakalan saya jadi
tukang pijit"
"Tapi pijitan Mbak enak lho"
"Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma belajar dari teman-teman"
"Bener lo Mbak, kalau nggak masak aku jadi langganan Mbak Kalau malam
sampai jam berapa, Mbak?"
"Saya nggak terima pijit malam Mas. Pokoknya sebelum maghrib sudah harus
sampai rumah. Saya nggak mau anak-anak saya tahu pekerjaan sampingan ibunya.
Mereka hanya tahu saya jualan batik di pasar"
"Ooo kenapa mesti malu, Mbak?"
"Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan kalau anak-anak saya ketahuan
teman-temannya punya ibu tukang pijit? Sudah, sekarang balik Mas"
Jamal memutar tubuhnya, tentu saja handuknya ikut terlibat pantatnya sehingga
nampaklah bagian depannya yang polos. Beberapa saat sempat kulihat zakar Jamal
yang mulai tegang. Buru-buru kubantu Jamal menutupinya, namun tetap saja
tonjolan itu membentuk pemandangan yang bikin dadaku berdesir. Bagaimana pun
aku tetap wanita yang beberapa tahun silam pernah melihat hal demikian pada
diri suamiku yang telah tiada. Dadaku berdegup semakin cepat, tubuhku agak
gemetar. Buru-buru kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal.
"Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau lagi dipijat wanita memang
selalu gitu sih Mbak"
"Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki" Aku coba bergurau.
Pemandangan demikian buat tukang pijit perempuan memang bukan hal aneh lagi.
Malah kadang beberapa pria yang sudah tak bisa menahan nafsu memegang tanganku
dan menempelkan pada batangannya. Tapi dengan halus aku berusaha mengelak. Satu
dua kali kuremas benda di balik celana dalam itu tapi setelah itu kulepaskan
lagi.
"Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki Mbak?"
"Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang nakal"
"Nakal gimana, Mbak?"
"Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga mijit hihihi"
"Lalu Mbak juga mau hehehe..?"
"Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut"
"Apa ada yang pernah maksa Mbak?"
"Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk-peluknya Ya aku marah
dong"
"Apa dia sampai meng anu Mbak?"
"Nggak sampailah Mas,
Saya buru-buru keluar kamar"
Pijitanku sampai ke paha Jamal. Mau tak mau bagian handuk yang menonjol itu
selalu terpampang di depan mataku. Malah kadang tonjolan itu seperti sengaja
digerak-gerakkan Jamal. Lebih-lebih sewaktu tanganku bergerak di sekitar paha
dalamnya dan mengenai rambut-rambut lebat di situ.
"Ufhh maaf, ya Mbak terus terang aku jadi terangsang lo setiap dipijit
Mbak, Adikku jadi bangun terus" Jamal berterus terang tapi dengan nada
bergurau.
Hal ini membuatku tersenyum. Aku percaya pria ini tidak bakal berbuat
macam-macam, toh sudah tiga kali kupijat tanpa kejadian luar biasa.
"Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri saja. Eh, maaf" tanpa sengaja
tanganku menyenggol telur dan sebagian penis Jamal sehingga pria itu mendesis
sambil mengangkat pantat dan menegakkan adiknya sehingga handuknya tergelincir
ke arah perut. Batang keras kaku itu segera saja membuat mataku agak terbelalak
karena ukuran panjang dan besarnya yang agak luar biasa. Mungkin sekitar 20 cm
dengan diameter 3 cm. Cepat kututup dengan handuk namun bayangan benda itu di benakku
tak kunjung hilang.
"Kalau aku nggak bisa nahan diri gimana, Mbak?"
"Jangan bikin saya takut ah, Mas" Aku menekan dada Jamal dan mulai
memijat ke arah pundak. Mata kami bertatapan dan Jamal tersenyum. Aku buru-buru
menunduk.
"Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi tukang pijit lo"
"Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas, karena d****g batik tambah
sepi"
"Eh, Mbak, aku tanya serius nih, tapi maaf ya sebelumnya"
"Tanya apa Mas?"
"Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang terangsang kayak aku gini, apa
Mbak nggak ikut terangsang?"
"Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih"
"Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya Mbak kan juga wanita yang masih
butuh seks kan? Apalagi Mbak sudah menjanda beberapa tahun"
"Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu"
"Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak sudah mati rasa sama seks. Iya
kan?" Aku diam saja, cuma pipiku terasa panas. Pijatanku di bagian dada
jadi melemah dan tanganku bergeser turun ke perut Jamal.
"Iya kan, Mbak?" Mendadak Jamal semakin berani dengan memegang kedua
tanganku yang sedang memijit perutnya. Kuangkat kepala dan coba menentang
tatapan Jamal sambil berusaha menarik tangannya. Tapi pegangan Jamal begitu
kuat, jadi aku pilih diam.
"Akh aku malu Mas.."
"Malu kenapa Mbak?"
"Masak soal gituan dibicarakan sama Mas?"
"Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah sama-sama dewasa." Jamal tetap
memegangi tangan. Aku diam saja dengan wajah menunduk. Pada dasarnya aku memang
pemalu.
"Mbak lihat sini dong"
"Kenapa, Mas?"
"Terus terang nih ya, aku pingin memeluk Mbak, boleh nggak?"
Aku terjengak mendengar permintaan Jamal. Tak mampu bersuara. Perlahan Jamal
bangun dan duduk mendekatiku, dipegangnya punggungku.
Katanya, "Sudah sejak pertama ketemu dulu aku ingin sekali memeluk. Boleh
kan, Mbak?"
Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin kuat memeluk punggungku dan menarik ke
arah dirinya. Aku yang dalam posisi bersedeku jadi kurang kuat bertahan
sehingga mau tak mau tubuhku tertarik ke tubuh Jamal. Hanya tanganku saja yang
coba menahan supaya tubuh tidak terhempas ke tubuh Jamal.
"Jangan, Mas"
Tapi aku tak
berdaya menahan ambruk tubuhku ketika Jamal kembali menjatuhkan tubuhnya ke
ranjang sambil tetap memeluk. Tubuhku menimpa tubuhnya yang segera menguncikan
pelukan ke tubuh sintalku tambah ketat. Wajah kami demikian dekat.
"Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak," Jamal berbisik dan ia
memang tidak melakukan apa-apa lagi selain memeluk tubuhku di atasnya. Aku jadi
bingung, mau berontak atau tidak?
"Ah, biarkan saja dulu, toh dia tidak melakukan apapun selain
memeluk" pikirku sambil berusaha lebih santai. Toh aku pernah mengalami
perlakukan lebih kasar dari ini. Aku pernah ditindih pria yang kupijat dan
diremas-remas tetekku. Beberapa lagi malah memaksaku mengonani sampai pria itu
terjelepak lemas setelah ejakulasi. Perlakuan Jamal yang sekarang ini hanya
memelukku termasuk lembut. Entah kenapa dengan pria ini aku tak banyak
memberontak. Apa karena aku diperlakukan dengan halus? Atau karena aku menyukai
Jamal? Atau? Ah, tiba-tiba aku merasakan bibirku dingin karena menyentuh sesuatu.
Kubuka mata dan ternyata Jamal tengah mencium bibirku.
Ufh aku segera menggelengkan kepala menghindari bibir Jamal. Namun bibir pria
itu dengan gigih mengejar, bahkan tangan kanannya ikut membantu menahan
kepalaku hingga tak bisa menggeleng lagi. Aku pilih mengatupkan mulut dan mata
rapat-rapat ketika bibir Jamal menggerayangi. Lidah pria itu berupaya menerobos
masuk, tapi kutahan dengan katupan gigi.
"Buka bibirnya dong, Mbak" bisik Jamal. Aku menggeleng sambil
berusaha mendorong tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan tubuhku dengan kuat
malah sekarang kakinya ikut melibat pahaku dan tubuhnya bangun mendorong tubuh
kenyalku sampai terbalik. Sekarang gantian aku telentang sementara tubuh polos
Jamal di atasku. Bibir Jamal terus memburu bibirku. Dengan posisi di bawah
ruang gerakku semakin sempit. Kecapaian membuat perlawananku kendor.
"Jangan, Mas" bisikku lemah.
"Nggak apa-apa, Mbak, aku cuma ingin ciuman" Desis Jamal sambil
bibirnya terus memaksa bibirku membuka, sementara lidahnya pun menembus katup
gigiku. Rasa takut, malu, marah dan bingung melandaku. Aku takut Jamal memaksa,
memperkosaku. Aku juga malu karena sebagai janda tidak seharusnya diperlakukan
begini. Aku ingin marah namun tak berdaya dibanding tenaga Jamal. Aku jadi
bingung mau bertindak apa. Dadaku yang membusung pun jadi sesak ditindih tubuh
kekar Jamal. Dengan nafas agak memburu, aku akhirnya tak mampu lagi
mempertahakan katupan gigi. Kubiarkan lidah Jamal menerobos menjilati
langit-langit mulutku. Bibir kami berpagutan semakin ketat. Air liur dan ludah
pun membanjir dan mau tak mau ada yang tertelan. Jamal benar-benar menggila
dengan ciumannya. Sepuluh menit lebih ia mencium, menjilat, menyedot lidahku
tanpa lepas. Akibatnya, aku jadi ikut terbawa iramanya. Aku yang janda ini lama-kelamaan
ikut mengimbangi tingkah Jamal. Ya, aku yang melihat Jamal tidak melakukan hal
lain kecuali mencium, akhirnya membalas ciuman hot Jamal.
"Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin berciuman. Tidak lebih" pikirku
sambil lidahku memasuki rongga mulut Jamal, dan mendadak disedot dengan kuat
oleh Jamal seperti hendak ditelan.aku jadi gelagapan.
Agak lama barulah Jamal melepaskan lidahku, lalu beralih menciumi sekujur
wajahku. Dari mata, hidung, pipi, dahi, telinga, sekitar leher, dagu sampai
akhirnya balik lagi ke bibir manisku. Selama setengah jam lebih aku hanya manda
saja diciumi pria yang menurutku tidak berniat buruk ini. Ya, dibanding
pria-pria lain yang pernah memaksaku, Jamal tergolong lembut. Dan entah kenapa,
ada rasa suka dengannya. Apa karena kegantengannya, apa karena usianya yang
masih muda, atau karena aku memang butuh sentuhan lelaki setelah beberapa tahun
ini tak lagi kurasakan?Bahkan, aku hanya mendesah "Jangan, mas"
ketika merasakan jemari Jamal mulai meremasi payudaraku yang masih menantang
ini. Namun aku tak berusaha memberontak. Toh Jamal hanya meremas dari luar,
pikirku. Sementara bibir pria itu terus melumati bibirku. Tangan itu terus
bergerilya, satu persatu kancing bajuku dilepasnya.
"Jangan, mas" Desisku lagi tanpa menolak dengan serius.
Toh, aku masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH itupun diremas tangan Jamal
berkali-kali. Kadang membuatku sakit, namun juga memberi rasa lain yang nikmat.
Mataku malah terpejam erat ketika jemari Jamal bergerilya di bawah BH dan
menggapai putingku.
"Egh jangan, mas" Aduuh nikmatnya.
Toh, dia hanya
memainkan payudaraku, tak apa-apa, pikirku semakin menikmati. Aku justru hampir
tak merasa ketika baju dan behaku sudah dilempar Jamal entah kemana.
Yang terasa kemudian adalah payudaraku kiri-kanan bergantian diremas dan
dihisap Jamal. Digigit-gigit, dikemot, disedot, "dimakan", dimainkan
putingnya oleh lidah yang lihai dan tubuhku semakin tergial-gial ketika perut
pun ditelusuri lidah berbisa Jamal.
"Aduh, aku tak tahan. Tak apa, toh Jamal hanya menjilati perutku"
pikirku lagi menerima perlakuan nikmat itu.
Malah tanganku kini ikut meremasi kepala Jamal yang terus turun dan turun
mencapai pusarku. Menjilati pusarku yang berlubang kecil, kemudian meluncur
turun lagi, membuat geli sekaligus nikmat.
"Jangan, mas" lagi-lagi aku hanya mampu mendesiskan kata itu ketika
terasa rok panjangku perlahan tertarik ke bawah.
Karet elastis di bagian perut tak mampu menahan tarikan itu, apalagi aku
berpikir,
"Biar saja, toh aku masih pakai celana dalam"
Sekarang tinggal segitiga pengaman melekati tubuh polosku. Terasa pahaku
dikangkangkan dan sesuatu terasa mengelus-elus daerah vitalku. Sesaat kemudian
aku kembali merasa tubuhku ditindih Jamal yang menekan-nekankan penisnya ke
CD-ku. Mulut kami berpagutan lagi. Tangan Jamal meremas-remas payudara lagi.
"Aduh aku tak tahan lagi" Kubalas perlakuannya yang liar dan aku tak
mampu lagi mendesis,
"Jangan,
mas" ketika dengan cepat tangan Jamal menyabet CD hitamku dan
melorotkannya ke bawah terus melepasnya dari kakiku.
Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu yang panjang besar memasuki gua
garbaku. Mula-mula perlahan dan agak sulit, menyakitkan. Namun lama-lama
semakin dalam, lalu semakin cepat dan cepat keluar masuk, naik turun. Disertai
lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku yang memaksa pahaku terkangkang
selebar-lebarnya. Rasa sakit pun berubah jadi nikmat.
Aku lupa segalanya, tak ingat siapa pria yang sedang menyetubuhiku. Jamal,
salesman keliling, yang katanya berasal dari Bandung kubiarkan menyebadani,
menggauli, menyenggamai, menembus, mengocok dan menggumuli tubuhku. Aku terlena
dan yang ada hanya rasa nikmat yang harus kunikmati sepuasnya. Mumpung ada
kesempatan, mumpung ada yang memberi, mumpung aku butuh, mumpung aku haus,
mumpung ada yang memuasiku. Tubuhku masih butuh seks, libidoku masih tinggi,
bibirku masih butuh diciumi, payudaraku butuh disedot-sedot, vulvaku butuh
penis yang tegar panjang perkasa. Aku masih punya nafsu seks yang harus
dipenuhi. Aku tak mau hidup gersang.
Dan, aku pun masih bisa orgasme ketika hunjaman zakar Jamal yang bertubi-tubi
mencapai klimaks. Genjotan pantatnya begitu kuat membuat penis itu terbenam
dalam-dalam di vulvaku yang sempit. Nikmat bertemu nikmat dan jreet jreet jreet
kurasakan sperma Jamal menyemprot, sementara hampir bersamaan aku cepat-cepat
menggamit paha Jamal sambil mengejan menumpahkan mani. Tubuh kami
terkejang-kejang kelojotan sambil mengejan menggelegakkan sperma dan mani
bertubi-tubi. Kedua kelamin kami yang bertemu saling berdenyut-denyut,
meninggalkan kesan mendalam sehingga kami lama tidak melepaskannya. Kubiarkan
burung Jamal itu tetap mendekam di sarangku meski lendir membasahi di
mana-mana.
"Maaf ya, mbak, aku lupa diri," bisik Jamal.
Aku diam memejam, nafasku tersengal-sengal menahan beban tubuh polos di atasku.
Sementara penis Jamal masih terbenam, aku hanya bisa kangkangkan paha dan
merasakan denyut-denyutnya yang masih tersisa.
"Mengapa ini terjadi?"
Aku membatin tak habis mengerti bagaimana persetubuhan ini berlangsung begitu
saja, padahal selama jadi pemijat aku selalu menghindarinya. Ya, selama ini ada
cap bahwa setiap wanita pemijat pasti bisa diajak main seks. Aku berusaha keras
menepis sebutan itu, namun akhirnya bobol juga hari ini. Justru dengan Jamal,
pria yang sudah jadi langganan.
"Kalau sudah begini, apa bedanya aku dengan pelacur?"
Aku masih terbengong-bengong dengan pemikiranku, ketika kembali terasa tubuh
Jamal menekan-nekanku.