BU SISKA IBU ANGKATKU
Aku terdiam
melamun di ruang kerja eksekutif kantor pusat X group ini sambil memandangi
satu-satunya foto masa SMA yang kumiliki. Saat ini, diperusahaan milik seorang
Konglomerat ternama di Nusantara itu aku menduduki jabatan yang begitu
strategis, aku direktur SDM, umurku tak lebih dari 29 tahun. Di ruangan sebelah
kiri dari ruanganku adalah ruangan Direktur Utama group bisnis besar yang
berkantor di sebuah pencakar langit bilangan MH Thamrin, ia tak lain adalah ibu
angkatku sendiri. Orang memanggilnya Bu Siska, nama lengkapnya Francisca
Katherine S. Beliaulah yang sejak aku berumur 14 tahun mengangkatku sebagai
anak dan mengantarkan aku pada kehidupan maha mewah seperti saat ini. Umurnya
sudah memasuki 47 sekarang, perawakannya bongsor, putih, sedikit gemuk sesuai
tinggi badannya yang 169cm.
Saat itu hari minggu pagi dan aku baru saja menyelesaikan tugas dari beliau
yang memang mendesak untuk dikerjakan karena keesokannya ada recruitment cukup
besar untuk sebuah pabrik kami di Jababeka. Biasanya hari minggu kuisi dengan
jalan-jalan bersama beliau, tapi minggu ini kami semua sibuk dan beliau harus
berada langsung kantor cabang kami di Tangerang untuk mengawasi langsung
persiapan kerja senin keesokannya. Karyawanku di bagian SDM sudah kuperintahkan
utk pulang setelah merampungkan tugas-tugasnya. Jam menunjukkan pukul 10.30
WIB, tinggal aku sendiri diruanganku yang luas ini, melamun membayangkan review
perjalanan hidupku sejak 15 tahun yang lalu.
Rasanya aku hampir tak mempercayai dengan umur yang dini ini hidupku begitu
sesak dengan dinamika. Terlahir dari sebuah keluarga miskin di propinsi kaya
minyak bagian timur Indonesia, Bapakku meninggal saat aku masih dalam
kandungan, menyusul setahun kemudian ibuku sakit keras dan meninggal, jadilah
aku yatim piatu. Kakak perempuanku yang mengasuhku waktu itu berumur 18 tahun
menikah dengan seorang PNS di propinsi itu yang mengasuh aku sejak bayi.
Aku tumbuh dalam keluarga kakakku yang miskin juga, namun sukurlah kakakku
mampu menyekolahkan adik-adik dan anaknya hingga aku SMP. Setelah itu kakakku
merasa bebannya terlalu berat hingga aku diserahkan pada keluarga kaya Bu Siska
yang pada waktu itu tinggal di daerah sama. Bu Siska dan Suaminya, pak Jimmy,
memang berasal dari daerah itu. Mereka punya perusahaan tambang yang cukup
berkembang hingga saat ini menjadi salahsatu yang terbesar di Indonesia bahkan
di dunia. Karena hanya memiliki dua anak yang semuanya perempuan, Bu Siska
dengan senang hati menerima aku untuk tinggal dan sekaligus menjadi saudara
angkat kedua anaknya, Rani dan Rina. Rani berumur sama denganku sedangkan mbak
Rina lebih tua 5 tahun. Keluarga itu memang sangat menginginkan anak laki-laki,
namun oleh sebuah masalah kesehatan, Papa Jim (begitu aku memanggil bapak
angkatku) tidak mampu lagi memberikan keturunan. Mbak Rina dan Rani juga sangat
menyayangiku. Kehadiranku ditengah keluarga mereka semakin membuat cerah
kondisi keluarga itu, hingga pada suatu saat tragedi keluarga (yang sebenarnya
menurutku adalah anugerah) itu terjadi.
Ketika aku dan Rani berusia 15 tahun, setamat dari SMP, keluarga itu memutuskan
untuk pindah ke Jakarta. Om Jim memiliki beberapa rumah mewah di Menteng dan
Pondok Indah. Bisnis keluarga itu juga telah berkembang pesat hingga kebanyakan
transaksinya harus dilakukan di Jakarta. Sebelum itu, aku dan Rani sudah sering
pula diajak dalam perjalanan bisnis Bu Siska ke Jakarta. Om Jim lebih sering
bepergian sendiri ke luar negeri sehingga aku dan Rani lebih dekat dengan Bu
Siska daripada dengan Om Jim, sedangkan Rina waktu itu sudah kuliah di London.
Aku dan Rani bersekolah di tempat yang sama di Jakarta, SMA di kawasan elite
Menteng tempat anak-anak pejabat tinggi negara dan konglomerat bersekolah. Aku
dan Rani dekat sekali, kami tidak saja merasa seperti saudara, tapi sudah lebih
jauh dari itu. Ia merasa aku pacarnya, sebaliknya aku juga merasa Rani adalah
pacarku. Bu Siska tahu itu dan tak pernah mempermasalahkannya. Ia mengerti, aku
dan Rani tidak memiliki hubungan darah, lagi pula keluarga itu sangat mengerti
bahwa akau adalah anak yang baik. Prestasiku di sekolah sangat bagus, tak
pernah meleset dari rangking 3 besar yang membuat mereka semua bangga padaku. Kalau di rumah aku lebih sering
membaca buku dan mengajari Rani pelajaran yang ia tidak mengerti dengan baik.
Kadang-kadang aku tertidur di kamar Rani yang berada persis di samping kamarku.
Lantai 3 rumah luas itu. Di luar kamarku juga ada teras yang menghadap kebun
belakang halaman rumah, aku dan Rani sering “pacaran” disana. Dan Bu Siska
sering menggoda kami dengan mengatai “romeo dan juliet mabok!”. Tapi ia tidak
marah, malah seringkali di waktu luangnya, Bu Siska membuatkan jajanan utk kami
berdua. Sesekali ia juga sempatkan untuk bergabung ngobrol maslah-masalah
ringan seputar study kami.
RANI, CINTA DAN SEKS PERTAMA
Aku ingat hari itu di bulan November, aku dan Rani sedang berduaan di teras
kamar Rani, kami ngobrol lepas soal teman-teman centil kami di sekolah. Aku dan
Rani waktu itu duduk di kelas 2 SMA, Rani jurusan Biologi dan aku di kelas
Fisika. Rani duduk di pangkuanku, aku memeluk sambil sesekali menciumi rambut
hitam sebahunya dari arah belakang.
“Say, kamu tadi ada di perpustakaan ya?” tanyaku pada Rani, oh ya sejak dua
tahun sebelumnya, aku mulai memanggil Rani dengan sebutan “sayang”. Itu pula
yang menyebabkan keluarga itu menyebut kami “Romeo & Juliet”.
“Iya, emang kenapa” Kamu cemburu?” jawabnya enteng,
“Ngga sih, hanya saja kalau aku yang begitu pasti udah disemprot”.,”
“Iyaiyamaaf, aku ngga
ngapain kok”,Ia mendaratkan sebuah ciuman di
pipiku. Dan untuk pertama kali dalam hidupku aku membalas ciuman itu di
bibirnya, bukan ciuman tapi melumat. Hanya beberapa detik tapi cukup untuk
membuatnya gemas dan melotot penuh arti.
Selepas ciuman pertama itu ia menatapku, tatapan serius yang cukup sulit untuk
diartikan. Ada senyum terbersit di bibir tipisnya namun warna muka yang berubah
merah itu bisa mengacaukan perasaan orang yang ditatapnya.
“Kamu marah say?” aku mengeratkan pelukan di pinggangnya.
“mmm.. hhh,” ia bangkit dan berbalik menghadap aku, tapi
kemudian memeluk. Ada beberapa titik air mata terasa menetesi belakang leherku.
Kulepaskan pelukan dan menatapnya, ah si cantik saudara angkatku, pacarku,
cantik sekali !
“Kamu jahat”,” ia memberanikan diri memelukku lagi.
“Kenapa sayaaaang?” aku jadi tidak mengerti
“tadi kamu juga duduk bareng sama si Mira, aku lihat waktu jalan ke
perpustakaan, kamu ngerayu dia kan” Kamu ngga sayang aku lagi! Kamu jahat!”
“ya ampuuun.Sayanggitu aja dicemburuin.. iiiihhh,
kan dia cuman minta tolong ditulisin rumus kimia itu,” aku membelai rambutnya.
“sedekat itu untuk sekedar nanya rumus?”
“Iya”
“iya aku minta
maaf lagi deh, tapi sumpah demi Allah aku ngga ada apa-apa ama dia,” kucium
lagi pipinya, terus ke bibir.
“mmmhhhh..benar?” ia
melepaskan lumatanku sambil merengek manja.
“Beneerrsueeerrr”!!!” aku melumat lagi, kali ini ada desiran geli di bawah sana.
Sehari-hari aku memang sering memeluknya, tapi kali ini terasa lain, ada gelora
dan sayang yang lebih terasa. Kami terus berciuman, melumat, tanganku masuk ke
dalam bajunya yang berkancing depan.
“Boleh?” kataku meminta ijin.
“he eh”,” Rani mengangguk lemah, dan inilah pertama kali dalam hidupku
merasakan penjelajahan tubuh wanita dengan tanganku. Kancing pengait BH nya
yang juga di depan itu kulepas dan tergapailah bukit payudaranya yang cukup
ranum. Rani memang memiliki payudara besar seperti ibu dan kakaknya, mungkin
secara genotip keluarga ini punya bentuk payudara yang besar membusung.
“Auuuhhhffff”..sayaaangg...kamu yakin ?”
ia menatapku sejenak untuk meyakinkan bahwa
ini pasti akan lebih jauh dari sekedar petting. Ini yang pertama bagi kami, aku
menariknya ke kamar, kami menuju tempat tidurnya yang luas. Ranilah yang lebih
dulu melepas celana pendekku, lalu baju kaus putih yang keukenakan, dan
terakhir Cdku. Kini aku bugil dihadapannya, Rani langsung mendekap
“Aku pasrah sayang,” sejenak ia menghentikan eksplorasi itu, mencium pipi dan
melumuri wajahku dengan lidahnya
“aku yakin kita memang dijodohkan untuk ini, dan hari ini, detik ini, jadilah
orang pertama yang?”“.,” ia terdiam tak melanjutkan. Kemudian ia terduduk di
hadapanku.
aku meloloskan daster tipis itu dari tubuhnya, lalu Cdnya, Bhnya dan hmmm,
saudara angkatku, pacarku, kekasihku, alangkah indahnya tubuhmu.
“untuk cinta kita, sayang, kamu harus janji nggak akan ninggalin aku,”
“Aku bersumpah, sayang”..,” Dan terjadilah peristiwa itu, pelan dan lembut
sekali, Rani menghantarkan aku ke daerah pangkal pahanya yang ternyata sudah
banjir itu, dengan pasrah Rani menyerahkan seluruh jiwa r****ya untukku, aku
juga mengakhiri keperjakaanku. Penis ku yang baru kali ini merasakan hal itu
otomatis mendorong masuk, Kami sama-sama mabuk asmara. Dengan penuh kasih
sayang kusetubuhi saudara angkatku yang telah begitu baik padaku itu. Saat itu,
dengan air mata berderai, diiringi rintihan Rani dan cumbuanku, darah
perawannya mengalir deras, aku jadi tak tega pada awalnya.
“kenapa nangis sayang?” kuhentikan gerakanku, penisku masih terbenam dalam
liang vagina yang baru saja tertembus penis untuk pertama kalinya itu.
“yang pelan aja sayang, punyaku sakiiit banget,”
“apa kita berhenti dulu?”
“jangan say, aku rela, aku bahagia bisa mempersembahkan kehormatanku buat
kamu,” tangisnya terus mengalir seiring kata-kata mesra itu. Aku yang tak tahan
untuk terus berdiam, kugoyang perlahan sambil terus mengecup bibir indahnya.
“iyyyaaahhhh sayaaaanggg oooouuuffff. pelaaan-pelaaaann mulai”enaaakkkhhh
ooouuhhh..aku sayang kamuuuuhhh”
“akuuuuhhh jugaaahhhh.sayaaaanggg oooohhhhhh” sambil terengah-engah menikmati
goyanganku aku mencoba menjawab cumbuan kata-kata mesra dari bibir mungil itu.
“Boleh aku diatas, yang?” pintanya setelah beberapa saat aku menindihnya dengan
gaya konvensional.
“iyaaahhsayang, ayo.. kamu juga
harus puas”.,”
“kamu masih lama, kan?”
“hh..ehh,” kuangkat tubuhnya sambil merebahkan
diriku ke samping, kemaluan kami masih terpaut. Kini ia berada diatasku,
mengangkang disana, betapa menggairahkannya posisi ini kalau dilihat dari
bawah, susunya berayun-ayun mengundang tanganku menjamahnya, aku meremas, rani
sudah tak merasa sakit lagi. Ganti ia yang banyak mendesah, malah kini
berteriak-teriak histeris sambil menghempaskan pantatnya dengan keras, aku
pasif saja menikmatinya, hanya tangan dan bibirku terus memainkan payudaranya
yang kencang dan ranum itu.
“aku..ooouuhhhh sampaaaaiiii ”
”.aaaaahh.. sayaaaaanggggg”
Rani menjerit
keras, diiringi dengan hempasan yang sangat kuat kearah pinggangku, penisku
otomatis menghujam keras dan mentok di dasar liang rahimnya. Berdenyut disitu
dan dengan segala sisa ten****ya Rani menjambak rambutku, menunduk dan menyedot
bibirku keras, lalu pindah ke dadaku, ia menggigit disitu.
“aku jugaa” jerit ku panjang karena mendadak penisku seperti tersedot nikmat
dalam vaginanya, tak dapat lagi kutahan cairan spermaku meluncur dengan deras
di dalam liangnya.
Tergolek lemas kami berdua, masih berpelukan, berebut mengambil nafas kepuasan
yang terpancar di wajah kami berdua. Rani Bahagia sekali. Dan dasar pemula,
kami masih saling merangsang, lagi dan lagi, seperti tak ada hari esok. Waktu
merayap tak terasa selama 4 jam lebih kami melakukannya. Sore hingga malam
harinya kami saling tindih, saling rengkuh, darah perawannya berceceran di
sprei, di karpet dan di sofa. Akhirnya kami tertidur.
Sejak saat itu aku dan Rani jadi semakin ketagihan, hubungan kami tak lagi
seperti saudara, tapi lebih sebagai suami istri. Di sekolah kami saling
mengawasi, kasih sayang kami jadi benar-benar tak bisa dipisahkan, walaupun
kami masih melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Rupanya Bu Siska mengetahui
perubahan pada diri anaknya, namun tetap saja ia menyayangi kami berdua. Bahkan
sesekali ia menyuruhku tidur di kamar Rani saat ia tidak dirumah. Dan kalau
kami makan bersama, Rani selalu mengambilkan makanan dimeja itu untukku. Ia tak
lagi canggung di depan keluarganya, bahkan kini Papa Jim seringkali menyindirku
dengan bertanya, “istrimu sehat, bud?” maksudnya tak lain adalah anaknya sendiri si Rani. Kalau bicara
denganku Papa Jim memang lebih sering menggunakan terminologi “istrimu”
daripada “anakku si Rani”. Sewaktu dia mendapatkan lembar ulangan Rani yang
buruk nilainya malah dia langsung menelponku dengan mengatakan
“aduh bud, gimana istrimu itu, nilai kok hancur begitu?”.
Ah
beruntungnya aku. Tapi aku yakin, keluarga itu tidak pernah tahu bahwa aku dan
Rani sudah melakukan hubungan badan layaknya suami istri. Mereka paling hanya
melihat tingkah kami yang mesra itu tanpa tahu sejauh mana hubungan kami.
Dua bulan setelah itu keluarga itu mengalami ujian yang sangat berat. Dari Rani
aku mengetahui rahasia keluarganya yang sebelumnya gelap gulita bagiku.
Ternyata Papa Jim memiliki simpanan yang cukup banyak, perjalanan bisnisnya
keluar negeri atau keluar daerah selama ini hanya jadi kesempatan baginya untuk
menjalin affair dengan banyak wanita. Bu Siska sebenarnya sudah mengetahui
semua itu sejak awal namun ia tak kuasa begitu memikirkan keharmonisan
keluarganya. Sebagai seorang ibu yang mencintai keluarganya ia lebih
mementingkan keutuhan rumahtangga daripada ego pribadi kepada suaminya itu.
Ternyata selama itu pula keluarga Bu Siska menyembunyikan disharmoni
keluarganya dariku, bahwa kemesraan antara Bu Siska da Papa Jim hanya sandiwara
untukku saja. Rani mengakui ia telah kehilangan figur bapak pada diri papanya
dan oleh karena itulah ia begitu mendambakan saudara pria, dan begitu aku
memasuki kehidupannya ia langsung menumpahkan segala perasaan sayangnya
kepadaku. Mbak Rina juga memutuskan utk study luar negeri karena merasa muak
dengan papanya, mereka bertiga sudah merasa tak lagi memiliki ayah atau suami
sejak mengetahui rahasia papanya itu.
Ternyata pula perusahaan besar itu adalah milik keluarga Bu Siska, Papa Jim
awalnya hanyalah seorang karyawan disana yang karena pernikahannya dengan Bu
Siska mendapat jabatan direktur. Entah kenapa semenjak mengetahui cerita
tersebut dari Rani, aku jadi ikut-ikutan menjustifikasi Papa Jim. Kini ia tak
lebih baik dari seorang bajingan tengik yang tak tahu diri. Akhirnya pada bulan
itu juga, aku lupa tanggalnya, terjadi pertengkaran yang hebat antara Bu Siska
dan suaminya. Banyak kata-kata sumpah serapah yang keluar dari mulut Papa Jim,
sedang Bu Siska tampak lebih bisa menguasai diri. Tapi ujungnya mereka
memutuskan untuk bercerai dan Papa Jim tidak diperkenankan lagi menduduki
jabatan diperusahaan itu, alias dipecat!
Aku menghela nafas panjang mendengar penuturan Rani, sore itu setelah semua hal
yang berkaitan dengan perceraian dan kepergian Papa Jim dari rumah itu, kami
(aku, Rani dan Bu Siska duduk santai di beranda belakang lantai dua rumah itu.
Bu Siska segaja membiarkan anaknya menuturkan semua rahasia itu padaku, ia
hanya terdiam sambil menyandarkan kepalanya di dadaku. Kami bertiga memang
lebih akrab lagi sejak peristiwa perceraiannya. Aku dan Rani sepakat untuk
saling membantu menghibur mamanya agar cepat melupakan kenangan buruk itu. Aku
duduk berselonjor kaki di lesehan empuk beranda itu, bersandar di tembok. Di
pundak kananku ada kepala Bu Siska sedang Rani tiduran dengan kepalanya diatas
pahaku.
Tak ada perasaan apa-apa waktu itu karena hal yang sangat lumrah bagi kami
bertiga yang hampir tiap sore curhat ditempat itu. Sampai kemudian Bu Siska
menyuruh Rani agar masuk tidur karena terlihat matanya yang sembab menahan
tangis ketika bertutur tadi. Rani pun mengiyakan dan beranjak ke kamarnya.
Tinggal aku dan Bu Siska disana, ia masih bersandar di bahuku, lama kelamaan
mungkin karena pegal, ia pindah dan berbaring di pahaku. Akupun sudah terbiasa
dengan hal itu, kubelai rambutnya yang sebahu, lebat dan hitam terawat.
Keharuman tubuhnya menyeruak seketika ia mengangkat tangannya membelai pipiku.
“Bud..,” panggilnya pelan
sekali.
“Iya Bu.,”
“Ibu sayang sama kamu, ibu sudah menganggap kamu seperti anak ibu sendiri,”tangannya masih
membelai pipi kiriku dengan lembut,
“Terimakasih Bu, Budi juga sangat sayang pada ibu, Mbak Rina dan Rani,”
“Dan ibu juga ingin kamu benar-benar menjaga Rani dengan baik, ibu tahu kalian
tak sekedar main-main dengan hubungan kalian kan?”
“Bu, dari mana ibu tahu hubungan kami?” aku terkejut juga, wajahku berubah
pucat membayangkan apa yang akan ia katakan kepadaku mengetahui hubunganku
dengan Rani. Aku khawatir sekali jangan-jangan ia marah dan memutuskan hubungan
itu, lebih parah lagi jika ia mengusirku dari rumahnya. Wah bakalan buyarlah
masa depanku.
Tapi melihat sikapnya yang biasa saja aku jadi sedikit tenang dan berharap tak
akan ada apa-apa saat itu. Bu Siska masih memejamkan mata dan membelai pipiku
manja.
“Ibu juga pernah muda Bud, ibu tahu hubungan kalian sudah jauh. Kalian sudah
layaknya suami istri, itu ibu bisa mengerti. Dan ibu tidak mempermasalahkan itu
karena ibu sangat menyayangi kalian berdua,” katanya lirih. Aku meraih telapak
tangan Bu Siska dan menciumnya sebagai rasa hormatku kepadanya. Sebenarnya
waktu ia mengatakan tahu hubunganku sudah jauh itu, jantungku terasa mau copot,
namun kelembutan belaian tangannya di pipi kiriku membuat aku jadi mengerti
betapa ia sebenarnya benar-benar merestui hubungan kami.
“Terimakasih bu, saya berjanji jika diberi umur panjang maka sayalah orang yang
akan menjaga dan bertanggungjawab untuk Rani, sebenarnya saya malu mengatakan
itu kepada ibu. Karena tanpa masalah itupun saya merasa sangat berhutang budi
kepada ibu dan keluarga,” aku membelai kepalanya dan mencium kening wajah
cantik jelita itu.
“ada satu hal yang mengganjal dihati ibu Bud, itu yang ingin ibu katakan kepada
kamu. Tapi besoklah, ibu tidak ingin Rani atapun Rina mengetahui hal itu dulu.
Sebaiknya kita bicarakan besok saja di kantor, karena hal ini butuh waktu yang
lama untuk kita bicarakan,” ia beranjak bangun dan merapikan dasternya, Bu
Siska lalu mencium pipiku dan beranjak pergi.
“ibu mau siapkan bahan kerja dulu, besok sepulang sekolah tolong kamu telpon
ibu ke kantor ya? Tuh temeni
istrimu bobo dulu,” katanya mengakhiri pembicaraan,
“Trims Bu,” aku mengangguk sambil berfikir apa yang akan dibicarakan oleh Bu
Siska besok hingga harus merahasiakannya pada “istriku” si Rani. Adakah rahasia
lain lagi yang akan ia katakan kepadaku? Ah, aku melangkah gontai ke kamar “kami”, sejak sebulan ini aku memang tak
pernah lagi tidur di kamarku. Sejak perceraian Bu Siska aku tiap malam menemani
Rani tidur, dan kami tentu saja secara rutin melakukan “ritual-ritual” layaknya
suami istri di kamarnya. Kami sudah banyak punya koleksi blue film yang setiap
habis belajar malam kami tonton berdua untuk selanjutnya dipraktekkan langsung.
Kami yang dulunya melakukan hubungan badan karena rasa cinta itu kini tak
sekedar meresapinya tapi mengembangkannya dengan berbagai variasi. Aku yakin,
dibandingkan pasangan lain di dunia ini mungkin aku dan rani adalah pasangan
yang paling aktif, bayangkan sehari rata-rata kami bermain 3 sampai 6 kali yang
dalam tiap rondenya paling cepat 45menit. Dan Rani yang kutahu adalah tipe
wanita yang multi orgasme, dalam satu ronde permainan yang nonstop ia sanggup
meraih 3 sampai 4 kali orgasme.
BU SISKA, MY FAVE SEX PARTNER
Keesokannya saat sedang belajar di kelas, aku menjadi tak konsentrasi.
Pikiranku berkecamuk dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh ibu
angkatku itu nanti. Beberapa item pelajaran bahkan tidak sama sekali masuk
dalam otakku, padahal sebulan lagi kami akan menghadapi ujian akhir yang akan
sangat menentukan koordinat arah pendidikan tinggi yang diinginkan. Akhirnya
jam satu siang tiba juga, aku yang biasanya menunggu Rani untuk pulang bersama
(karena kami pakai satu mobil antar jempt yang sama) kini harus berbohong
dengan mengatakan bahwa aku harus ke tempat temanku yang lagi sakit keras dan
absen beberapa hari. Rani memang tak satu kelas denganku, jadi ia tidak mungkin
tahu hal itu, dan ia selalu percaya padaku.
Taksi membawaku menyusuri jaran lebar dan padat di Kawasan Thamrin, memasuki
sebuah gedung pencakar langit, mungkin yang tertinggi di Jakarta. Aku sampai
juga di kantor ibu yang ada di lantai 28 gedung itu. Seorang petugas keamanan
rupanya sudah dipesan untuk mengantarku dari loby ke ruangannya yang luas.
Masih dengan seragam sekolah lengkap dengan tas pundak penuh buku, aku masuk
dengan perasaan yang masih bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan ibu angkatku
ini.
Pintu ditutup perlahan dan dengan penuh hormat, satpam perusahaan tadi pamit melangkah
keluar ruangan ibu. Tinggal aku dan dia di dalam ruangannya.
“Duduk dulu Bud, ibu ke toilet sebentar,” katanya menyambutku dengan nada datar
sambil berlalu membuka pintu kamar mandi yang ada disana. Tinggal aku yang
masih termenung menebak-nebak apa yang akan dibicarakan ibu denganku. Namun
hanya 5 menit kemudian ibu sudah keluar dari kamar mandinya, dengan senyuman
yang penuh misteri ia langsung duduk disampingku, memeluk, hal yang sangat
biasa ia lakukan terhadap satu-satunya anak angkat pria yang ia miliki ini.
“sebenarnya ini bukan kehendak ibu untuk membicarakannya, tapi sebagai orang
tua, ibu merasa tertuntut untuk mengjak kamu musyawarah,” itu kata pembuka dari
ibu setelah mendaratkan ciuman hangat di pipi kananku.
“dan karena kedekatan kalian, ibu merasa tak ada orang lain yang lebih berhak
untuk diajak bicara tentang Rani selain kamu, sebab kamulah orang yang paling
dia sayangi saat ini,” lanjut ibu. Tangan kanannya masih merangkul pundakku.
Sebuah cara yang selama ini yang menunjukkan bahwa aku adalah anak lelaki
kesayangannya.
“jadi ini tentang Rani, Bu?
Tapi kenapa ibu bilang ini rahasia kita berdua.. Saya bingung,” jawabku sambil menundukkan kepala
kearah dada ibu.
“ini memang pendapat ibu sendiri yang ibu pikir tak boleh diketahui oleh Rani,
dan ibu melakukannya karena ibu tahu kalau Rani sendiri takkan sanggup
mengatakannya kepada kamu,”
“tentang apa sih bu?” aku tambah tak mengerti. Giliran aku memeluk pinggul ibu.
Kami jadi berdekapan.
“ini tentang pendidikan Rani, sejak SMP dulu, dia ingin sekali melanjutkan
pendidikannya di luar negeri?”“,”
“Haaah !!!” aku terhenyak kaget. Tapi ibu yang mempererat pelukannya, kini
malah membelai lembut kepalaku yang bersandar di dadanya.
“Reaksi kamu itulah yang ditakutkan oleh Rani, dia sangat sayang sama kamu tapi
kamu kan tahu juga kalau dia itu orangnya sangat haus ilmu, kalian punya
kemiripan. Sama-sama haus ilmu, sama-sama anak pintar dan itu membahagiakan
ibu,”
“jadi Rani takut mengatakan ini kepada saya langsung, bu? Kenapa?”
“Rani takut mengecewakan kamu dan ibu,”
“apa hubungannya bu? Bukankah saya akan selalu menemaninya kemanapun?” aku
memotong sebelum ibu melanjutkan.
“Ia ibu tahu itu, tapi Rani juga memikirkan ibu yang akan ditinggal sendiri
disini, dia sangat memikirkan keadaan ibu disini sehingga merasa kasihan kalau
harus meninggalkan ibu sendiri disini,”
“ah.. saya baru mengerti bu,
jadi Rani takut ibu kesepian tidak ada yang menemani disini kalau saya juga
ikut ke luar negeri, tapi. hmmmm, gimana ya? Sulit juga masalahnya, saya juga
tidak tega kalau harus membiarkan ibu sendiri disini, saya merasa wajib menjaga
ibu”.,”
“terimakasih sayang, itulah masalahnya, ibu pasti kesepian jika ditinggal
sendiri, tapi ibu juga tidak boleh menghalangi niat anak-anak ibu untuk
mendapatkan pendidikan yang kalian inginkan. Jadi ibu bingung.., ibu sangat
menyayangi kalian, ibu pikir tak akan sanggup jauh dari kalian,” kembali ibu
mencium pipiku.
“jadi
bagaimana solusinya Bu.. Saya rasa Rani juga berpikiran sama dengan ibu, dia
pasti tidak mau meninggalkan ibu sendiri disini,”
“tapi Rani juga sangat sayang pada kamu..dan dia pasti sedih kalau… mmmmm…,”
“kalau apa bu.. Kalau kami berpisah?” aku tahu arahnya meski ibu canggung
sekali mengatakannya.
“itu juga masalah, Bud. Kalian sudah sangat dekat, Rani sepertinya takut kalau
kalian jauh, kamu akan…“ ibu
tak melanjutkan. Canggung lagi rupanya, karena jelas itu adalah tuduhan
untukku. Aku juga termenung sesaat memikirkan hal itu. Bagaimana tidak, aku dan
Rani sudah layaknya suami istri, bagaimana hari-hariku tanpa Rani? Apa iya aku
bisa tahan rasa kangenku pada “istriku” itu?
Apa iya aku sanggup hanya membaca emailnya saja? Dan apa iya aku sanggup menahan rasa ingin
melakukan “ritual rutin” kami? Ah aku
bingung juga! Sepertinya ibu membaca pikiranku.
“yang paling ibu takutkan adalah kalau hal ini sampai merusak hubungan pribadi
kalian, bud. Ibu tidak mau itu terjadi, ibu sangat berharap hubungan kalian ini
bisa dipertahankan..,” berhenti lagi.
Ibu yang
sekarang menaikkan kepalaku dari dadanya, dengan telapak tangannya yang lembut
ia mendongakkan wajahku kearahnya seolah meyakinkan aku untuk secara tegas
menjawab pertanyaannya. Akupun semakin mengeratkan pelukanku di pinggang ibu.
Sesaat kami saling diam sambil menatap, dengan pandangan penuh misteri. Aku
yang kemudian memindahkan pelukan tanganku ke pundak ibu. Kepalaku bersandar di
pangkal lehernya, menghindari tatapan ibu.
“Ayo, sayang, putuskan sekarang. Apakah kamu mau meninggalkan ibu untuk
menemani istrimu.. Atau kamu nggak tega meninggalkan ibu dan memilih menemani
ibu dan melanjutkan kuliah disini?”
“siapa yang akan menjaga Rani disana Bu?”
“kan ada Rina, daftarnya juga di Universitas yang sama”..,”
“Ooo, begitu?.” Aku terdiam lagi. Membayangkan “istriku” yang kurang dua minggu
lagi akan meninggalkanku.
“saya yang takut kehilangan Rani, Bu. Saya memang tidak bisa melupakan Rani,
tapi apa iya Rani juga begitu?”
“sebenarnya pertanyaan itu juga yang ada dalam benak Rani, kalian memang saling
menyayangi, Rani juga takut kehilangan kamu, dia takut kamu berpaling dari
dia,”
“ah.. nggak ada alasan..,”
kataku keluar setengah bergumam sambil mencium pipi kanannya.
“ih anak ibu, kamu tuh nggak PD banget sih” Liat tuh di cermin, hmm”cakep kan”
Perempuan mana sih yang nggak mau sama kamu?” ibu mencubit kedua pipiku dan
mengarahkan wajahku kearah cermin lebar di salahsatu dinding ruangan.
“iih ibu, bikin GR aja..,”
aku berpaling kearahnya dan mencubit, bukan di lengannya seperti kebiasaanku
kalau bercanda. Tapi di pantatnya, cukup keras karena aku gemas juga.
“auuuu... sakit sayang!!” ibu menjerit, menatapku
lucu sambil memonyongkan bibirnya,
“hehehe...ibu cantik deh kalau monyong
begitu,” candaku.
Tangan ibu meraih remote control audio dari atas meja kerjanya. Menyalakan
audio ruangan itu, dan jadilah kami berdansa pelan diiringi beberapa symphony
bethoven & mozart yang romantis. Aku memeluk pinggulnya dan ibu mendekap
erat dadaku keatas sehingga otomatis dada besarnya tersaji sedikit dibawah
daguku. Bu Siska memang lebih tinggi 3-4cm dari aku. Entah karena romantisnya
dansa kami atau gerakan ibu yang kadang menggoyang dadanya itu, penisku yang
sedari tadi tidur itu mulai beranjak bangun dan mengeras hingga menimbulkan
cembungan yang rupanya dirasakan juga oleh Bu Siska. Tapi ia diam saja, saat
aku membuka mata malah kulihat ia terpejam seperti menikmati suasana itu.
Pinggulnya justru semakin sengaja digerakkan menggesek cembungan ditengah selangkanganku
itu.
Aku bingung harus bagaimana, apalagi aku adalah tipe pria yang cepat sekali
terangsang. Biasanya kejadian semacam ini hanya berlangsung sesaat saja dan ibu
biasanya langsung mengelak kalau menyadari aku mulai terangsang. Tapi inikali
berbeda, ibu malah semakin membiarkan dadanya menggencet ketat di dadaku.
Adakah ini berarti Bu Siska juga sedang birahi” Sudah beberapa bulan hampir
setahun setahuku ibu tak mendapat sentuhan lelaki.
Ditengah batinku bertanya-tanya tentang keanehan itu, tiba-tiba ibu membuka
matanya. Lalu entah apa yang menggerakkan wajah itu mendekat ke arah bibirku.
Aku masih penasaran dan bingung, kukecup pipi kirinya, namun wajahnya seakan
mengarahkan gerak yang lebih sensual dari biasanya, telapak tangannya kini
mendekap kedua pipiku.
Aku terdiam, memejam, dan hanya sesaat setelah itu kurasakan sebuah kelembutan
menyentuh bibirku, aku pasrah saja tak berani menolak, tapi tak hanya sampai
disana. Sekujur badanku merinding merasakan gejolak aura lidahnya yang berusaha
memasuki rongga mulutku, bibirnya menjepit bibirku. Aku biarkan saja ketika
bibir itu kini berhasil menjepit dan menyedot lidahku. Pikiranku masih
berkecamuk antara percaya atau tidak terhadap apa yang kami lakukan saat ini.
Bu Siska sudah mulai mendesah, terdengar nafasnya mulai memburu. Dekapan
tangannya di kepalaku sudah terlepas, entah kapan dan aku tak menyadari ketika
membuka mataku, belahan jas kerja Bu Siska ternyata sudah terbuka, sebelah
tangannya menuntun tanganku kearah gundukan payudara berlapis BH putih berenda
yang ukurannya my God, diatas rata-rata!
“ Bu… mmm,” aku mencoba bicara namun secepat itu pula ia kembali menyumbat
mulutku dengan sebuah ciuman. Dan lebih ganas dari sebelumnya, Bu Siska sudah
tidak lagi menahan desahannya. Kali ini ikat pinggangku ia lepaskan, lalu
zipper celana sekolah itu dan tasss”.celana abu SMA itu melorot sampai setengah
paha.
“Ibu.. please.,” aku kembali bicara.
Tapi tanganku
malah memberi remasan lembut pada buah dadanya.
“teruskan sayang aaauuuffffhhh..,” hanya itu yang terdengar dari desahannya
yang semakin keras saja.
Aku jadi tak berani lagi bicara, kubiarkan ibu bertambah liar dengan melukar
pakaianku. Dan kalaupun aku mampu menolak, hal itu tidak akan aku lakukan.
Karena beberapa saat kemudian otakku mulai dikuasai oleh egoisme birahi yang
seakan bersorak; “Ayo, Bud, setubuhi perempuan cantik didepanmu!!! Bukankah
selera seksualmu lebih besar pada wanita paruhbaya seperti ini???Dan
kapan lagi kamu akan membalas jasa Bu Siska yang telah memberimu kehidupan
mewah seperti ini?“
Petanyaan-pertanyaan tadi seperti menuntun tanganku untuk lebih jauh menuruti
nafsu Bu Siska yang sudah pasti tidak dapat lagi dibendung. Dan seperti mencari
pembenaran atas kejadian itu, batinku yang lain menjawab; “sudah lah, Bud.
Nikmati saja. Bukankah kamu juga tak kalah sayang pada Bu Siska” Kamu juga
mencintainya kan” Lupakan sejenak istrimu itu, dua lebih baik daripada satu dan
yang ini adalah kunci masa depanmu!!!” Aku tak mampu lagi berpikir logis,
segala bayangan tentang Rani hilang entah kemana, yang ada kini adalah
kemolekan tubuh calon mertuaku, ibu angkatku yang mungkin juga akan segera jadi
kekasih gelapku!!!
Pakaianku terlepas sudah seluruhnya, entah kapan Bu Siska mempretelinya dari
tubuhku. Aku telanjang dan terduduk di sofa panjang ruang kerja yang luas itu.
Kupejamkan mata, tak berani melihat Bu Siska yang baru saja beranjak dari
mengunci pintu ruang kerjanya. Dan bak penari striptease, dari arah pintu ia
berjalan sambil melepaskan satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya.
Uhhfff”.kini aku yang terbelalak, sebelum melepaskan roknya, Bu Siska sudah
melepas celana dalam putih, dan sesampainya didepanku dengan sekali langkah
tubuh montok dan sedikit gemuk itu terpampang jelas di depanku. Ia berjongkok
tepat dihadapan tempat aku duduk, lalu kembali memeluk. Kali ini aku yang
menyambut dengan ciuman penuh kerinduan. Kunikmati bibir Bu Siska yang terus
mendesah. Tanganku meraba dan sesekali meremas bongkahan payudara besarnya.
Memilin putingnya bergiliran, lalu mencium dan menjilati lehernya.
“aaauhhh sssssshhhhh aaaahhhh. saaayaang..”
hanya desahan itu yang bisa diucapkannya.
Tangan kiri Bu
Siska meraih batang kemaluanku dan meremas lembut.
“ooooohhhh.. Bu.. ssshhhh aaaauuhhhh,” desahanku juga mulai keras. Dan kami
semakin liar. Kutarik tubuh ibu ke sofa. Ia berbaring sambil tersenyum,
sepertinya mengundang aku untuk segera memuaskan dahaga asmara yang
sesungguhnya terlarang itu. Baiklah, ibu angkat, aku bertekat akan membuatnya
berteriak-teriak dan memohon supaya aku segera dan lagi dan lagi
menyetubuhinya, akan kubuat calon mertuaku ini mengemis untuk dipuasi oleh
calon menantu sekaligus anak angkatnya ini!!! Akan kusetubuhi engkau dengan
keras”!!!! Dan sekarang terimalah birahi anak angkatmu ini!!! Bersiaplah untuk
menampung cairan sperma yang biasanya hanya ditampung oleh anakmu!!!
“Ayosayang,
kemari, sentuhlah ibu, ibu mau sayang ayooouuuhhh.,” kali ini ibu memohon agar
aku segera menindihnya. Tapi nanti dulu, bukankah ibu mau dipuaskan lebih dari
apa yang saya berikan pada anakmu?
Aku meraba pangkal paha Bu Siska, sudah basah dan becek disana, kasihan ibuku
ini, mungkin delapan bulan ini pemenuhan birahi tak sebanding dengan produksi
sel telurnya. Aku merunduk disitu dan dengan buas langsung membuka pahanya,
menjulurkan lidahku dan menjilat permukaaan vagina yang berbulu sangat lebat
itu.
“Oooowwwhhhhh..yessss..sayaaangggg..aaaahhhh,”
Jari-jariku
sibuk mengucel-ucel bibir kemaluannya, lidahku terus menusuk-nusuk dan membelai
dinding kemaluan wanita paruhbaya yang ternyata tak kalah menariknya dengan
istriku itu. Sesekali bibirku menggigit pinggiran bibir kemaluannya yang
cembung dan gemuk, memberikannya sensasi kebuasan birahi anak angkatnya yang
polos ini.
“aaaauuuuwww..uuuoooooooohhhh”
jeritnya saat aku menggigit biji klitorisnya yang membengkak karena rangsangan
hebat itu. Aku tak peduli lagi pada teriakan histerisnya, aku yakin dinding
ruangan itu sedemikian tebalnya sehingga kalaupun ada yang menembakkan pistol
disini pasti akan terdengar sayup-sayup saja.
“oooooohhh..yeeesshhhhhgigit sayang oooohhh
gigit lagi yaaaahhh..,” ia malah minta aku meneruskan mengulum biji
clitorisnya. Aku asik saja, cairan yang terus semakin deras mengalir dari liang
vaginanya habis kusedot dan kuminum. Seperti daerah vagina milik Rani, kemaluan
Bu Siska juga tampak sangat terawat. Tak tampak noda kotor setitikpun pada
bagian itu. Hanya saja baru kali ini aku mengetahui bahwa ternyata lebatnya
bulu kemaluan Bu Siska membuat penialainku pada bentuk vaginanya lebih baik
dari milik istriku itu.
“Ayo sayang, setubuhi ibu sekarang, hooooouuuhhh.ibu sudah ngga tahaan” pintanya memelas.
Aku menuruti
meskipun biasanya kalau aku melakukannya dengan Rani, tentu aku minta
di-karaoke dulu sebagai imbalan aku menjilati vaginanya. Tapi kali ini aku
canggung untuk meminta, karena dalam keadaan begini aku masih menaruh rasa
hormat pada ibu angkatku itu.
Kuambil posisi diatasnya, Bu Siska mengangkang, sebelah kakinya menjutai jatuh,
sebelah lagi dinaikkan ke sandaran sofa. Kemaluanku memang sudah keras sejak
tadi, kini sudah menempel dan siap masuk dan mengoyak bibir vagina Bu Siska.
Telapak tanganku memegang kedua buah dada besar itu dan seketika ia menarik
pinggulku mendekat. Lalu dengan keras aku menghujamkan penisku sejadi-jadinya
dan sreeeeppp”.bleesssss?”.untuk pertamakalinya aku merasakan sensasi
menyetubuhi wanita paruhbaya yang selama ini mengasuhku itu.
“aaaaaaahhhh..“ jerit Bu
Siska keras sekali sampai menghentikan tusukanku yang baru masuk itu.
“uuuffff”kenapa bu?” aku terhenyak juga.
“punya kamu besar sekali, uuuuhhhh..ibu nggak pernah mengalami dimasuki segede ini
sayang..tapi coba yang pelan sayang, ibu agak nyeri,” katanya masih mendekapku.
Sepasang
kakinya mengikat pinggulku hingga penisku tertahan didalam.
Kuberikan ia ciuman untuk merangsang nafsunya, bibirku menyedot putting susunya,
dan beberapa detik setelah itu jepitannya melonggar. Tangannya malah menuntun
pinggulku naik turun secara perlahan. Bu Siska mulai mendesah dan menikmati
goyanganku.
“Oooouuhhhsayaaaang..enaaaak.saayaaaang..,”
tak henti-henti ia memuji kenikmatan dari penis besarku yang kini menggesek
dinding-dinding vaginanya. Aku juga sebenarnya tak kalah nikmat. Apa yang
selama ini kurasakan dari Rani memang enak juga, tapi sensasi kenikmatandari
liang vagina dan tubuh montok Bu Siska memberiku pelajaran berharga bahwa
ternyata kepiawaian dan pengalaman lebih mampu menciptakan sensasi kenikmatan
yang lebih dahsyat ketimbang besaran liang vagina. Hehehe itu teori baru!
Aku terus menggenjot dengan perlahan dan teratur, Bu Siska membuat suasana
romantis dengan memberi ciuman mesra bertubi-tubi, mengulum bibirku dengan
sepenuh hati. Matanya yang terpejam semakin mengguratkan warna kecantikan alami
seorang ibu. Akupun terlena dengan pesona itu, baru aku sadar bahwa ternyata
kecantikan ibu angkatku ini benar-benar luar biasa, bahkan kalau mau jujur, Bu
Siska jauh lebih cantik dari kedua anaknya. Rasa nikmat dari pertautan kelamin
kami terus menjalari seluruh urat sarafku, memenuhi rongga sanubariku dengan
berjuta kenikmatan biologis. Tak terasa waktu berlalu hampir tigapuluh menit.
Pelukan kaki dan tangan Bu Siska di pinggangku yang semakin erat dan tiba-tiba
itu menunjukkan tanda sesaat lagi ia akan mencapai orgasme.
“uuuuuuffff”..sayaang, boleh hhhhhh.ibuminta diatas?” pintanya setengah mendesah. Aku
mengerti dan segera menghentikan kocokan penisku di vaginanya.
“ooooouuuuhbaaaiiikBu,”
Kali ini aku yang berbaring, Bu Siska langsung mengangkangi pahaku, liang
vaginanya yang sudah becek itu menganga tepat diatas kemaluanku yang
mengacung-acung seperti tak sabar ingin segera masuk. Punggungku bersandar pada
sandaran sofa sehingga dengan mudah mulutku meraih putting susu Bu Siska yang
sedang berusaha memasukkan kembali penisku kedalam vaginanya. Saat sedang asik
meremas dan menghisap putting susu Bu Siska itulah dengan cekatan ibu
menggenggam penisku dan mengarahkannya tepat di bibir kemaluannya dan sreeep
bleesss”..
“aaaaahhhhh.nikmatnyaaooouuhh..,”
“mmhhhhibuuuuaaaaauuuhenaaaak” jeritku tak kalah seru dengan jeritannya.
Bu Siska yang
kini asik menaik turunkan pinggulnya untuk meraih kenikmatan dari gesekan
relung kelaminnya. Sesekali gerakannya berubah dari turun naik menjadi maju
mundur, lebih nikmat lagi saat ia memutar-mutar dengan poros kelaminnya yang
terpaut dengan penisku. Alangkah sensualnya ketika aku melirik kearah kelaminku
yang terjepit bibir vagina Bu Siska yang ikut keluar masuk dan membelai, vagina
itu penuh sesak oleh buah pelirku yang berukuran diatas rata-rata itu.
“hooohhh..saaayannng.kamuhhhh masih aaahhhh lama aauuufff sayaaaang?”
“Iyaaah Buuuhhh, ooohhh kenapaaahhh, aaaahhh, enaaakkkhhh ooohhh,”
“Ibuuuooooohhh
sudaaahga tahaaan, ooohhf..”
“aaaaaaakhhhhhh….” lolongnya panjang sekali
Seketika itu
tiba-tiba Bu Siska menggenjot keras sekali, semakin cepat, dan rupanya ia
mengalami orgasme yang begitu dahsyatdiiringi hempasan keras pangkal pahanya
kearah penisku. Aku yang sudah tahu hal itu dari kebiasaanku dengan Rani segera
memberikan remasan yang keras pada kedua buah dada Bu Siska. Kira-kira semenit
kemudian badannya jatuh menimpaku. Nafasnya tersenggal-senggal, tubuhnya lemas
lunglai terkapar sudah. Kelaminku yang masih mengeras mengganjal dalam
vaginanya yang banjir.
“ooouuhhhh..sayang, kamu belum
keluar ya? Maapin ibu ya,
Bud. Ibu egois, maklum sudah delapan bulan lebih ibu tidak merasakannya,” Bu
Siska mulai berbicara setelah nafasnya agak teratur.
“Nggak apa-apa Bu, yang penting ibu puas dulu,” aku menciumnya
“Jangan gitu dong, sayang. Beri ibu kesempatan beberapa menit lagi ya” Ibu akan
buat kamu puas sebentar lagi,” ia balas mencium mesra.
“Kamu kok bisa lama ya, sayang” Ibu nggak nyangka kamu sekuat itu,”
“Ngga tau deh, Bu, mungkin karena saya suka dan sayang ibu kali ya?”
“ahhh… masa? Bisa aja kamu, sayang, benar kamu suka sama
ibu? Suka apanya ayo?”
“Suka yang ini,” jawabku singkat sambil menerkam buah dadanya.
Mungkin benar
karena buah dada ini aku jadi begitu semangat, ukurannya yang besar dan ranum
dengan bentuk yang sangat menantang itu membuatku jadi merasa lain saat ini,
apalagi dengan “penemuan” bahwa ternyata wajah ibu jauh lebih cantik dari kedua
anaknya itu. Atau aku memang punya selera yang lebih pada wanita STW seperti Bu
Siska.
Bersambung ke